Karena Riri juga Istimewa
Oleh : Riami Zahra Muslida (Kadiv. Kaderisasi FLP Metro)
Tak seperti biasanya, Riri kali ini pulang sekolah dengan wajah murung. Entah apa sebabnya. Bahkan sepanjang jalan ketika dijemput ayah, ia sama sekali tak menggubris sapaan ayahnya. Sesampainya di rumah, Riri langsung berlari menuju kamar. Ibu yang sejak tadi membaca buku di ruang tamu, heran melihat tingkah aneh putrinya itu.
“Ada apa sih, Yah?” tanya ibu heran.
Ayah hanya mengangkat bahu pertanda tak mengerti. Ibu bergegas menghampiri Riri.
“Ri, buka pintunya sayang. Makan siang dulu, Ibu sudah memasak telor dadar kesukaanmu,” pinta ibu sambil mengetuk kamar Riri.
“Riri nggak mau makan, Bu.” ucap Riri dari dalam.
“Ada apa, Nak? Riri sakit? Nggak biasanya Riri kayak gini,” tanya ibu lembut.
“Pokoknya Riri nggak mau makan!” sahut Riri ketus.
Ibu perlahan membuka pintu kamar Riri yang tidak dikunci. Ibu menghampiri Riri, membelai lembut kepala Riri yang masih berbalut jilbab mungilnya.
“Riri nggak mau cerita sama Ibu?”
Riri sesenggukan menelungkupkan wajahnya di bantal. Lama ia terdiam. Hingga kemudian, perlahan ia mengangkat wajah sembabnya.
“Bu, apa benar suara Riri jelek ya?” tanya Riri tiba-tiba.
“Ada apa Sayang, kok tiba-tiba tanya gitu?” ibu balik bertanya.
“Kata temen-temen, suara Riri jelek. Riri nggak punya bakat nyanyi. Riri nggak bisa ikut pentas seni di ulang tahun sekolah nanti. Padahal kan Riri pengen ikut tampil di acara itu. Kata Bu Guru, kalau mau tampil kudu mempersiapkan seni yang mau ditampilkan, yang paling menarik nanti akan dapat hadiah dari sekolah. Sedangkan Riri nggak bisa nyanyi, apalagi menari,” tukas Riri yang masih sesenggukan.
“Suara kita itu anugerah Allah. Kalau Riri berpikir suara Riri jelek, itu sama saja tidak mensyukuri nikmat Allah. Allah menciptakan manusia dengan kelebihan masing-masing. Kalau Riri nggak punya bakat nyanyi, itu berarti Riri punya kelebihan di bidang lain. Coba dipikirkan lagi, kira-kira Riri bisa nampilin apa buat pentas seni besok. Seni nggak cuma nyanyi sama nari aja kok,” ucap ibu.
Riri diam berpikir.
“Ya sudah, sambil berpikir, sekarang Riri makan siang dulu ya? Ntar sakit, nggak jadi tampil lagi.” Ujar ibu.
Riri mengangguk cepat, “Iya Bu, Riri laper. Hee..” ucapnya sambil meringis.
***
Malam harinya, seperti biasa ibu menemani Riri belajar. Sambil menanyakan nilai dari tugas yang ia dapat pagi tadi di sekolah.
“Tadi pagi, Riri dan temen-temen disuruh buat puisi sama Bu Gina, guru Bahasa Indonesia. Dapet nilai 90 lho, Bu.” cerita Riri bangga.
“Iya? Mana coba Ibu liat?” ibu penasaran.
Riri memberikan buku tugasnya ke ibu, dan memang ia mendapat nilai 90 untuk puisinya berjudul ”Aku Cinta Negeriku”.
Ibu tampak berpikir serius, dan…
“Waah… sekarang ibu punya ide. Gimana kalau Riri bikin puisi untuk ditampilin di pentas seni sekolah. Ibu yakin, bakat Riri ada di bidang ini. Gimana Sayang?” ujar ibu dengan semangatnya.
“Ide Ibu bagus juga, tapi apa nanti temen-temen dan Ibu Guru suka dengan puisi Riri?” tanya Riri ragu.
“Dicoba dulu donk, Nak. Siapa tahu justru penampilan Riri yang paling menarik, karena paling unik dan berbeda dari yang lain, malam ini coba Riri tulis puisinya, besok latihan baca sama Ibu. Gini-gini Ibu dulu juga pernah juara 1 lomba baca puisi se-kabupaten waktu SMP dulu,” ucap ibu meyakinkan.
“Wah… Asyik….!” Riri bersemangat.
Riri akhirnya mengangguk mantap, dan segera meraih pena dan bukunya untuk menulis puisi.
***
Keesokan harinya, Riri kembali bersemangat berangkat ke sekolah. Dengan senyum cerianya. Di sekolah nanti, ia akan bilang ke Ibu Guru kalau ia juga akan tampil di pentas seni. Dan pulangnya, ia akan berlatih membaca puisi dengan ibu. Semuanya harus dipersiapkan dengan matang.
Hingga hari yang ditunggu pun tiba. Riri terlihat cantik dengan kostum birunya. Ia sudah siap untuk menampilkan yang terbaik yang ia bisa. Begitu pula dengan teman-temannya, yang mayoritas akan menampilkan nyanyian dan tarian daerah. Penampilan pertama sudah memasuki panggung pentas, Riri mendapat giliran terakhir sesuai nomor urut pendaftaran.
“Dan penampilan yang terakhir, adalah pembacaan puisi berjudul Guruku Pahlawanku, oleh Riri Permata Sari…” seru pemandu acara dengan lantang.
Riri segera naik ke pentas, meraih microphone yang diberikan padanya.
“Guruku Pahlawanku. Karya, Riri Permata Sari,” suara Riri mantap menyeruak penasaran penonton.
Ia baca dengan penuh penghayatan seperti yang ibu ajarkan pada Riri.
“Jasamu tiada berbalas
Meski kadang hidupmu di bawah sederhana
Kau tetap mengajari kami dengan ketulusan
Demi kebangkitan negeri” ucap Riri mengakhiri puisinya.
Ada yang merespon dengan senyuman takjub, ada yang sibuk memotret, ada pula yang bertepuk tangan dengan kencangnya ketika Riri menyelesaikan puisinya. Ibu yang duduk di deretan kursi penonton, tak hentinya tersenyum melihat penampilan anaknya itu.
Penghujung acara pun tiba, saatnya pengumuman siswa yang pentas seninya akan mendapat penghargaan. Semua mata tertuju pada pemandu acara.
Pemandu acara mulai mengumumkan juara ketiga penampil seni terbaik. Semua orang bertepuk tangan. Tampak seorang laki-laki maju ke panggung menerima piala dan hadiah.
“Juara kedua, pempil seni terbaik adalah….” seru pemandu acara membuat berdebar hati yang mendengarnya.
“Putri Cantika!” seru pemandu acara.
Mata Riri mulai memerah, rasanya ia ingin menangis. Riri berharap ia yang jadi pemenangnya.
“Riri tenang ya, masih ada satu lagi pengumuman…” ucap ibu lembut.
“Dan, siswa yang mendapatkan penghargaan penampil seni terbaik pertama, adalah … RIRI PERMATA SARI dengan pembacaan puisinya berjudul Guruku Pahlawanku!” seru pemandu acara.
Riuh tepuk tangan penonton menyemarakkan kemenangan Riri. Riri seakan tak percaya mendengarnya.
“Ibu, itu Riri?” tanya Riri bahagia.
“Iya, sayang..” ibu memeluk Riri bangga, “Kalau kita mau berusaha, selalu ada jalan kan, Sayang. Malah Riri bisa jadi juara. Karena setiap orang diciptakan dengan keistimewaan masing-masing,”
Riri pun menerima piala penghargaan dari kepala sekolah. Teman-temannya kini tak lagi meremehkan Riri yang tidak pandai bernyanyi, karena sekarang semua tahu bahwa Riri juga istimewa.