Misinah

Ukiran Tinta : Tinta Tumpah_Sedamai

7035df644a533e4f30bba7379302f075

Cukuplah memperjuangkan apa yang diyakini kebenarannya, sebagai petarung!
***
Siapa bilang, petarung hanya milik Buya Raden Intan dan Imba? Sosok pahlawan asal tanoh ladow yang bertarung melawan VOC, Belanda di tahun 1825-1860. Kita semua adalah petarung, bahkan jauh sebelum kita lahir dan menjejakkan diri di mayapada ini. Berjuta-juta sel bakal calon janin berebut untuk menjadi manusia, dan hanya satu sel terkuatlah yang memenangkan pencalonan tersebut. Jadi, pantaslah jika kita memang berpunya jiwa petarung. Terlebih untuk sebuah cita-cita mulia; menjadi seorang guru.
1979

Tersebutlah, di sebuah desa bernama Banjarrejo. Di kejauhan berkilo-kilo dari gunung anak krakatau. Sebuah gunung, yang memiliki legenda tak sembarang legenda. Pada mulanya Pulau Krakatau besar yang biasa disebut dengan nama Gunung Krakatau adalah sebuah Gunung Krakatau purba yang memiliki ketinggian sekitar 2000 mdpl dengan lingkaran pantainya sekitar 11 km dan radius sekitar 9 km2.

Namun ledakan dahsyat yang terjadi sekitar 416 M ini telah menghancurkan tiga perempat tubuh gunung tersebut dan menyisakan tiga pulau besar, yaitu Pulau Sertung, Pulau Rakata, dan Pulau Panjang, serta sebuah kaldera di tengah ketiga pulau tersebut. Sebelum tahun 1883 muncullah dua buah gugusan gunung yang bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuatan yang kemudian lama-kelamaan bersatu dengan Pulau Rakata dan biasa disebut dengan Gunung Krakatau saja.

Pada tahun 1880, yang disebut masa strombolian, aktivitas vulkanis berlangsung selama beberapa bulan, dan Gunung Perbuatan aktif mengeluarkan lava. Setelah periode itu, tidak ada aktivitas vulkanis hingga akhirnya muncul tanda akan adanya letusan pada bulan Mei 1883.

Lalu pada tanggal 27 Agustus 1883 Gunung Krakatau meletus. Menurut catatan sejarah yang hingga kini selalu dipromosikan jajaran pariwisata Lampung, Gunung Krakatau meletus sangat dahsyat, menggemparkan dunia. Semburan lahar dan abunya mencapai ketinggian 80 km. Sementara abunya mengelilingi bumi selama beberapa tahun. Dilihat dari Amerika Utara dan Eropa, saat itu cahaya matahari tampak berwarna biru dan bulan tampak jingga (oranye).

Letusan gunung ini menghasilkan debu hebat yang mampu menembus jarak hingga 90 km. Letusan itu pun berdampak terjadinya gelombang laut sampai 40 m vertikal dan telah memakan korban sekitar 36.000 jiwa pada 165 desa baik di Lampung Selatan ataupun pada barat Jawa Barat. Dan karena letusannya itu telah melenyapkan Gunung Danan dan Perbuatan dari muka bumi dan menyisakan tiga pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Sertung, dan Pulau Rakata besar, serta sebuah kaldera yang terletak di tengah ketiga pulau tersebut yang berdiameter 7 km.

Empat puluh tahun kemudian lahir keajaiban baru. Sekitar tahun 1927 para nelayan yang tengah melaut di Selat Sunda tiba-tiba terkejut. Kepulan asap hitam di permukaan laut menyembul seketika di antara tiga pulau yang ada, yaitu di kaldera bekas letusan sebelumnya yang dahsyat itu. Kemudian pada tanggal 29 desember 1929 sebuah dinding kawah muncul ke permukaan laut yang juga sebagai sumber erupsi. Hanya dua tahun setelah misteri kepulan asap di laut itu, kemudian muncullah benda aneh. “Wajah” asli benda aneh itu makin hari makin jelas dan ternyata itulah yang belakangan disebut Gunung Anak Krakatau.

Tapi misteri Gunung Anak Krakatau tidak sampai di situ. Gunung ini memiliki keunikan tersendiri, sebab gunung ini selalu menambahkan ketinggiannya sekitar satu senti tiap harinya. Gunung Anak Krakatau yang semula hanya beberapa meter saja, sekarang sudah dapat mencapai 230 mdpl dan sejak munculnya pada tahun 1927. Gunung ini tercatat telah meletus sekitar 16 kali sejak Desember 1927 sampai Agustus 1930 dan 43 kali sejak 1931-1960 dan 13 kali sejak 1961-tahun 2000.

Di sebuah desa bernapas Jawa, tinggalah keluarga sederhana. Keluarga itu terdiri dari suami, istri, dan ketiga anak yang kesemuanya adalah perempuan. Pada masa itu, seperti banyak ditemukan di pelosok-pelosok. Perempuan hanyalah seonggok manusia yang selalu terikat dengan urusan 3R. Sumur, dapur, dan kasur. Tahun itu memang masih terselimuti tudung penjajah yang menggilas wanita, seperti sesuatu yang tak begitu berharga.

Salah satu dari ketiga putri keluarga sederhana itu, dan mungkin hanya dialah yang paling nyeleneh diantara penduduk sana. Dialah, yang bercita-cita untuk sekolah dan melanjutkan sampai ke perguruan tinggi. Ia ingin sekali menjadi guru. Misinah namanya. Nama yang sederhana, sesederhana kehidupan keluargaanya. Ia seorang anak dari keluarga Jawa yang turut bertransmigrasi ke tanoh ladow. Bapaknya hanya seorang petani buta huruf, yang selalu terpanggang sinaran teja. Sedang, ibunya, hanyalah seorang ibu rumah tangga yang setia menemani si suami pergi mengani-ani padi di sawah. Namun, ibunya selalu berpesan padanya,”Nak, meski orangtuamu buta huruf, cita-cita tak boleh hanya sekedar hidup dan bisa makan! Kucing pun tahu hal itu! Masalahnya, kamu itu manusia!”

“Tapi, aku anake wong ora nduwe, buk’e. Aku hanya seorang wanita.” ucap Mis suatu hari.

“Kalau wanita, memangnya kenapa?”

“Menikah saja sepertinya sudah cukup. Ndak perlu tinggi-tinggi. Ujung-ujungnya nanti ngurusi dapur.”

Lewat remang malam yang dikerlipi gemintang. Cahaya langit saat itu sangat benderang, dengan dewi malam yang sempurna bercahaya. Tiada tertandingi cahayanya, dengan suatu apapun. Rumah-rumah penduduk saat itu hanya dicerahi lampu ublik yang asapnya hitam mengepul, menyesapi sawang-sawang di langit-langit bambu.
Ibunya tersenyum. Senyum ibunya, bak senyum rembulan yang purnama. Nyala cahaya pada senyuman ibunya lebih menerangi hatinya.

“Nak, bercita-citalah setinggi langit! Walau kita miskin, kau harus punya cita-cita. Karena dialah satu-satunya harta berharga kita. Bukannya, dulu kamu pernah bilang tho, mau jadi guru. Katamu, guru itu seperti malaikat Jibril yang mendatangi Rosul dan mengajari Rosul berbagai hal dengan IlmuNya. Kamu pengen tho jadi malaikat, meski tak bersayap?”

“Inggih Buk’e. Mis, pengen banget jadi guru. Beratusan tahun kita dijajah Londo. Kita sangat tertinggal dengan negara-negara luar. Mis, pengen ngajari orang-orang supaya bisa baca tulis. Biar mereka setidaknya tidak mudah dibodohi. Mis juga, pengen … ibu sama bapak, bisa … membaca.” ucap Mis berat.

“Tapi ….” Mis jadi putus asa. Ia teringat senyum kecut para tetangga yang sering mencibirnya ketika berangkat atau pulang dari sekolah.
Mis hanya bisa mendesah. Semoga desahannya didengarkan bayu. Disampaikan kepada orang-orang yang sering menganggapnya, percuma seorang wanita bercita-cita tinggi.
1982

“Mau ke mana, Mis?” ucap Kiyah saat berpapasan di jalan. Jalanan saat itu masih berupa tanah dan batu. Jika hujan tiba, maka tanah kemerahan akan menjadi lembek dan lengket dinjak. Menempel di alas sepatu atau sandal. Transportasi saat itu masihlah jarang, motor di daerahnya hanya beberapa saja, apalagi berupa mobil. Ada kereta sapi, karena yang menarik kereta tersebut adalah sapi. Atau lebih tepatnya gerobak sapi. Karena hanya sebuah papan-papan yang di desain untuk mengangkut barang. Sepeda bisa dihitung dengan buku-buku jari. Hari masih redup, suasana masih pekat dan gelap meski sudah pukul 06.15 Wib. Ia bertemu kawan SD-nya yang sedang membantu mendorong gerobak bapaknya menuju ke sawah.

“Mau kemana, Mis? Sudah rapi benar sepagi ini.”

“Alhamdulillaah, aku masuk kuliah. Hari ini mau ke kampus.”

“Kampus? Tempat apa itu, Mis?”

“Tempat kuliah. Aku mau jadi guru, Yah!” Mis sumringah.

“Haduh Mis, Mis, buat apa kamu sekolah terus? Bapakmu itu cuma wong cilik. Mending kamu bantu ibumu ke pasar, jualin hasil tani bapakmu.”

“Saya ini juga sedang membantu orang tua, Yah.”

“Bantu apa maksud kamu?”

“Sekolah.”

Kiyah tersenyum kecut.

“Jangan sampai, sampeyan jadi perawan tua, Mis. Lihat teman-teman kita sudah menikah. Akupun sudah dilamar Wardi. Sedang sampeyan, entahlah ….” Kiyah menggelengkan kepala.

Lalu Mis mencoba tersenyum, dan bersegera menapakkan kakinya mendahului mereka. Setiap hari Mis dan beberapa yang lain berjalan kaki menuju tempat perkuliahannya. Dalam perjalanan menuju tempat perkuliahan, kebanyakan orang-orang yang berjalan bersama Mis, adalah kaum laki-laki. Hanya tiga orang perempuan saja yang terlihat. Di sana, ada anak tani yang kaya raya. Ia sudah memiliki motor. Motor buatan 1980an, berjenis Honda. Di masa itu, motor seperti itu sudah amatlah mentereng.

“Bareng saya, Mis?”

“Ndak usah.” ucap Mis lembut dengan sebuah simpul senyum. Lelaki itu pun kemudian menaiki motornya dengan perlahan mengikut di belakang rombongan, dengan kepulan asap motor.

Malamnya, Mis pergi ke surau saat bedug maghrib mulai dipukul. Ia dan beberapa orang pergi ke surau dengan mengikat daun kelapa kering, lalu memberinya api. Terkadang jika malam tiba, mereka juga sering mendengar ada cerita-cerita tempat angker. Seperti sebuah lahan yang akan mereka lewati. Di sana ada sebuah pohon sirsak. Desas-desusnya, ada lelaki gila dan tak berbaju sempurna, tiba-tiba muncul di pohon itu, dan mengejar pejalan kaki yang melintas. Saat mendekati lahan itu, mereka berbisik-bisik, menyebut asma Allah agar tenang. Tapi, mereka masih merasa ngeri. Lalu mereka tanpa dikomando, berlarian secepat kilat menuju surau sesegera mungkin. Dengan napas tersengal, mereka mencoba berlarian sekuat tenaga, belum lagi obor dari daun kelapa habis sebelum tiba ke surau. Mereka sebenarnya membawa dua. Namun, yang satu untuk mereka pulang. Biasanya mereka hanya menghidupkan beberapa saja, yang lain hanya menumpang. Namun, karena mereka ketakutan, mereka semua menghabiskan obor mereka. Sehingga tak ada persediaan obor untuk ke surau.

“Tamatlah kita ini, malam-malam begini ….” ucap Jum, teman satu kampung dari Sleman, Yogyakarta yang turut pindah ke Lampung.

“Ssst, diamlah. Coba tenanglah. Meski kita merasakan kegelapan, tapi remang-remang cahaya rembulan mulai nampak menyinari. Dunia tak segelap yang kita bayangkan, selalu, masih ada cahaya yang menyinari. Marilah kita melangkah! “ ucap Mis kemudian.

Kemudian, merekapun ikut melangkah seraya mengucap basmallah.

“Aku melihat gemintang di langit sana!”

“Subhanallah, indahnya. Bintang itu ibarat sebuah impian kita. Membuat hati menjadi cerah dan bersemangat. Aku melihat diriku di langit sana, tersenyum, telah diwisuda menjadi seorang guru.” ucap Mis.

“Benar, Mis. Aku juga melihat diriku, tengah mengembangkan senyuman, menjadi seorang insinyur muda. Dari keluarga pengampas kelapa.” ucap Jum. Merekapun tersenyum melihat bintang impian mereka masing-masing.

Teruntuk inspirator tulisanku, ibuku sendiri.
Lampung, 09/09/2013

SANDIWARA JALANAN

Coretan tinta : RANTI SUCI LESTARI
Sabtu, 20 September 2014. Matahari benar-benar berjaya membakar bumi. Ditambah asap kendaraan yang saling beradu memaksa bibit-bibit penyakit menyerang melalui rongga hidung. Di pertigaan, tepatnya di depan sebuah ATM (Anjungan Tunai Mandiri) dua orang pemuda nampak bosan sambil sesekali melirik ke dalam mesin ATM. Tak sedikit orang yang lewat menjatuhkan pandangan kapada kedua pemuda itu dengan tatapan curiga. Mereka pun menyadari kecurigaan orang-orang itu dan langsung menjauh beberapa meter dari lokasi ATM.
Seorang pemuda yang menggenggam sebuah smartphone keluar dari ATM lalu menoleh kiri kanan seperti mencari sesuatu. Setelah matanya menemukan buruannya dia langsung menuju ke tempat dua orang yang tadi mondar-mandir di depan ATM.
Ucup : Teguh! Kapan janji kamu buat traktir mi ayam itu jadi? Kita-kita ini wes ngeleh tenan iki lho…
Pardi : Iyo Guh…, aku wes ra betah nunggu di pinggir jalan kayak gini. Isin… sampek dikira mau maling.
Teguh : Sabarrrrrr, aku lagi nunggu kiriman honor kerjaku bulan ini. Kalo nggak, kita pake duit masing-masing dulu, nanti…. kalo uangnya udah tak pegang pasti tak ganti. Piye?
Ucup dan Pardi: huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu………………….,
Ucup : Itu si sama aja beli sendiri!. kalo belum ada duitnya bilang dari tadi. Jadi kita gak perlu ngetem gak jelas depan ATM sambil kelaperan kayak gini tauk…
Pardi : Orang kamu yang janji mau traktir kenapa malah suruh pake duit sendiri. Nyesel aku!
Teguh : Yo maap, orang bosku katanya mau kirim hari ini.
Ucup : Harusnya kamu pastiin dulu sebelum obral janji. Jadikan kita gak berharap lebih. Yoweslah, aku pulang! Mending makan di rumah. Gratis….
Teguh : Lho….? kox pulang?
Pardi : Aku juga’lah, Guh. Assalamu’alaikum…
Teguh : Walaikumsalam, heh! terus makan mi ayamnya gimana? Nanti tak ganti lho duitnya.
Pardi : Makan sendiri aja sana!, lagi KB, kantong bocor.
Teguh : Heh, Ucup! Pardi! Jangan kabur dulu! Lah piye to?
***
Tinnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn…………………………….
Sebuah truk kecil mengerem mendadak ketika tiba-tiba seorang pemuda berhenti di tengah-tengah jalan saat menyebrang. Dada supir truk itu bergemuruh dengan dentuman-dentuman besar yang hampir meledak. Dibukanya kaca mobil dan….
Supir truk : Woi!!!! Cari mati ya?! DASAR!!!!!.
Dengan dada yang masih berdebar karena kaget, supir truk itu menatap tajam sang pemuda lalu bersiap keluar dari mobil. Namun tiba-tiba pemuda itu memegangi kepalanya lalu terhuyung-huyung dan jatuh pingsan.
“woi ada tabrakan. Ada tabrakan. Woi…woi..woi…Ada yang pingsan.” Riuh segerombolan warga yang melihat hampir terdengar berbarengan.
Supir truk yang tadinya berniat turun dari mobil menjadi panik. Dia tak tahu apa yang terjadi pada pemuda itu. tapi instingnya membuat badannya reflek tancap gas. Warga berlari mendekat dan ketika melihat truk yang kabur tiba-tiba, langsung saja mereka mengejarnya dan bahkan ada yang melempar batu ke badan truk.
Pemuda yang bernama Teguh itu lalu dibawa warga kepuskes terdekat. Ada juga yang melaporkan kejadian itu ke polisi dan ketua RT setempat. Tak lama kemudian berita Teguh keponakan Pak Yanto kena tabrak lari itupun geger. Berbagai macam isu dan gosip lalu menjadi bumbu berita.
***
Malam semakin larut dan angin semakin bertahta merajai alam. Para manusia semakin lena dengan dekapan selimut dan kelambu yang memagari jasad mereka. Namun ada sebuah rumah yang masih bertarung dengan angin. Suara-suara yang terdengar seperti cercaan bergerak ramai. Untung saja rumah itu berjarak cukup jauh dengan rumah-rumah tetangga mereka sehingga tak begitu mengganggu. Pak Yanto mencoba mengintrogasi keponakannya setelah menerima laporan kesehatan Teguh dari puskes. Ada keanehan yang terjadi dan Pak Yanto mencoba mencari kebenaran dari keponakannya.
Yanto : Kamu bilang apa, Guh? Pura-pura? Jadi kamu pura-pura kena tabrak? Ya Allah Guh … kelakuanmu itu udah ngerepotin wong akeh ngerti?
Teguh : Iyo, Pakde.
Yanto : Kenapa kamu itu gak mikir? Pake otak kamu!!! jangan bisanya cuman bilang Iyo, iyo, iyo pakde… tapi iyomu itu palsu.
Teguh : Terus Teguh harus gimana Pakde? Waktu itu aku ketakukan Pakde.
Yanto : Sekarang semua warga tahunya kamu ketabrak. Polisi juga lagi nyari-nyari supir truk itu. mau ditaruh dimana muka Pakde kalo semua orang tahu kalo itu cuman sandiwara kamu guh…. ya Allah Gusti…
Pak Yanto mulai mengatur nafas. Diambilnya segelas air putih yang tergeletak di meja lalu duduk. Teguh hanya bisa tertunduk menyesali perbuatannya.
Yanto : Jangan kamu bongkar ke orang lain yo Guh… kamu harus janji sama Pakde. Pakde gak mau nanggung malu gara-gara sandiwaramu itu. janji sama pakde!
Teguh : I…iya pakde. Aku gak akan bocorin rahasia ini pakde. Tapi…., laporan di puskes bilang aku gak kena luka apapun, jadi pasti nanti akan ketahuan Pakde. mending Teguh ngaku sebelum semakin besar.
Yanto : Nurut le… nurut…, pakde cuman pengen kamu nurut kata-kata pakde. Kalo gak boleh yo jangan kamu langgar. Kalo disuruh begini yo manut. Pakde gak mau tauk! Pokok’e kamu jangan sampe ngaku. Ngerti Goh?
Teguh : I… iyya Pakde..
***
Ketika di kampus, seminggu setelah peristiwa tabrakan itu terjadi, Teguh dan Pardi nongkrong di samping parkir sambil ngobrol-ngobrol. Tiba-tiba Ucup datang dengan menenteng kresek putih ukuran sedang.
Ucup : Hei sob…, kalian mau keripik nggak? Ni… aku bawa banyak.
Pardi : Wihhhhhh, kamu abis ngerampok warung siapa, Cup? Banyak bener?
Teguh : Jangan-jangan kamu abis dapet kiriman ya? Wah… siap-siap kenyang kita Par…
Pardi : Yo’i Guh…., eh? tapi mana temen-temennya yang lain? Gorengan, roti, sama minumannya kox gak kamu bawa sekalian?
Ucup : Beli sendiri sana! Orang aku cuman beli kripik doank. Kamu mau bikin kantongku bocor…..?!
Teguh : Yah….., gak jadi kenyang kita Par. Mules mah iya gara-gara kebanyakan makan kripik pedes.
Pardi dan Teguh : Hahahahahahahhahahahahah
Ucup : Tauk gak Par, yang jual kripik ini winda? Kasian dia, bapaknya baru dipecat jadi supir truk. Katanya si, gara-gara nabrak orang gitu, dan sekarang bapaknya jadi buronan polisi.
DEG…., dada Teguh tiba-tiba berdebar. Mendengar kata-kata ucup tentang kecelakaan membuatnya gelisah. Dia takut jika sandiwaranya akan terungkap.
Teguh : Terus kamu tanya-tanya tentang tabrakan itu ke winda?
Ucup : Gak tega aku Guh, aku cuman bilang ikut prihatin aja. Aku takut nantinya dia malah makin sedih gara-gara aku terlalu kepo.
Teguh : Oh,,,,,,
Pardi : Kamu kepo banget, Guh? Jangan-jangan yang nabrak kamu itu bapaknya winda lagi?
Ucup : Gak mungkin…., Bapak winda itu kan merantau di kalimantan. Masak nyupirnya disana nabraknya disini?
Pardi : Bisa aja kan itu? iya gak Guh?
Teguh : Ya… semoga bukan!
Ucup : Huuu….., ngasal aja kamu di..di…
Teguh penasaran dengan peristiwa tabrakan yang dialami ayah winda. Diapun mencari info tentang peristiwa itu diam-diam. Akhirnya diapun yakin bahwa supir truk waktu itu adalah ayah Winda, gadis yang ditaksir Ucup sejak SMA. Teguhpun sebenarnya kenal dengan Winda meski tak akrab, mungkin hanya sekedar tahu nama dan wajahnya. Rasa menyesal tiba-tiba menyeruak masuk dan membuat Teguh galau. Satu sisi dia menyesal dan malu namun di sisi lain dia merasa takut. Apalagi pakdenya mengacam untuk tidak mengakui dosanya.

***
Esok harinya, Teguh berjalan menyusuri jalan setapak di pinggiran Desa Latarwangi. Kakinya sesekali menendang batu kerikil dan membuang pandangannya secara asal. Hatinya berlayar jauh dari jasadnya menapak. Rasa bersalah dan menyesal terus menggangu hati dan fikirannya. Mungkin dia harus minta maaf pada supir truk itu yang juga adalah ayah temannya sendiri. Dia juga merasa begitu bersalah pada Ucup, sohibnya yang begitu iba pada gadis punjaannya yang telah dia buat menderita. Tidak terbersit sedikitpun niat untuk menyusahkan supir truk itu, dia hanya ingin cari aman. Tapi, malah membuat orang lain menderita. Dia tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada dirinya. Entah kenapa Teguh begitu merindukan ayahnya yang berpulang karena kecelakaan lalu lintas. Kesedihan tiba-tiba merajainya.
Teguh lalu mengetik sms buat Ucup dan Pardi, “Sob, nanti siang ketemu di warung Mang Sugeng yo…, tak traktir.” Setelah mengetik kirim, Teguh mengatur nafasnya bersiap mengadili dirinya sendiri. Jika nanti Ucup marah dia sudah siap, resiko yang memang harus dia tanggung meski apapun itu, yang penting hati dan jiwanya terbebas dari rasa bersalah yang terus menyiksa. Pakdenya pasti akan marah besar padanya, tapi biarlah. Inilah waktunya membuat pengakuan.
Ucup : Ada acara apa ni? Kiriman honor kamu udah cair yo? Wah…, boleh nambah dong. hehehehe
Pardi : Guh, kamu nggak kayak biasanya, kenapa mi ayam kamu cuman diaduk-aduk kayak gitu?
Teguh : Par…, Cup…, aku mau ngaku. Aku mau ngaku sama kalian kalau… kalau…
Ucup : Ngaku apaan Guh.., cepetan ngomong! Jangan bikin penasaran!
Pardi : Kalo kamu ada masalah cepetan ngomong, siapa tauk kita bisa bantu.
Teguh : Tentang tabrakan ayahnya winda, aku korban tabrakan itu. Tapi sebenernya bukan salah Ayah Winda. Waktu kalian pergi dari ATM, aku terus maen hp sambil nyebrang. Gak sadar malah udah di tengah jalan dan hampir ketabrak. Supir Truk itu marah-marah, karna takut aku pura-pura pingsan.
Ucup : Kayak cewek banget si kamu, Guh! aku gak nyangka. Gara-gara kamu sekarang Winda dan keluarganya harus menderita. Winda harus banting tulang cari duit dan ayahnya dicari-cari polisi karena ketololan kamu, Guh!
Teguh : Waktu itu aku panik cup…, aku juga gak berniat membuat supir truk itu dipecat dan menjadi buronan polisi. Maaf Cup…, besok aku akan minta maaf pada Winda dan ayahnya.
Ucup : Halahhhhh…., emang kamu bisa mengganti semua kerugian keluarga winda, hah?
Pardi : Tenang Cup, malu diliatin orang…
Teguh : Aku gak tahu Cup…, sekarang yang bisa kulakuin cuman minta maaf.
Ucup : Aku gak mau tahu Guh…, kamu harus minta maaf sama bapak winda dan keluarganya. Satu lagi, kamu juga harus ngomong kesemua orang tentang sandiwara bodohmu itu.
Pardi : Cup! Gak usah pake teriak kayak gitu kenapa? Kita bisa bicarain ini dengan tenang.
Ucup : Halah….., kamu jangan belain si penipu ini Par.
BRAKKKK, Ucup menggebrak meja lalu pergi. Orang-orang yang memperhatikan mereka saling berbisik-bisik. Teguh dan pardi hanya bisa meminta maaf dan meminta mereka untuk tidak khawatir.
Teguh : Pardi, besok kamu temenin aku ya minta maaf kekeluarga winda.
Pardi : Pasti Guh, aku akan mendukung niat baik kamu.
***
Pardi dan Teguh sampai di rumah Winda. Rumah dengan bata merah itu tak begitu besar tapi pekarangannya bersih dan rapi. Jantung Teguh semakin berdebar dan ribuan prasangka menggantung di benaknya. Kekhawatiran jika nanti akan dihukum berat atau dipukuli terbayang-bayang. Namun dia sudah sampai di sini, sudah tak bisa mundur lagi. Pardi menepuk pundak sahabatnya dan memberi semangat. Teguh mulai mengatur nafas dan meyakinkan dirinya untuk tak lari. Dia harus minta maaf. Harus.
Pardi : Assalamu’alaikum…., Winda! Assalamu’alaikum…
Ayah Winda (Supir Truk): Walaikumsalam….,
CENGEK……., suara pintu terbuka. Dada teguh semakin bergemuruh.
Ayah Winda: Lho? Kamukan yang hampir kena tabrak itu kan?
Teguh : E’’’’’e’e’’ee’’’’’’ee’e’… i…i..iya Pak. saya yang berhenti di tengah jalan waktu itu. saya mau… saya mau…., haduh… gimana ngomongnya ya?… saya.. mau….
Pardi : Ngomong Goh…, cepet!!!
Teguh : Udah diem kamu…,
Ayah Winda: Heh… malah udur-uduran to? Ngapain kalian kesini? Minta ganti rugi? Atau mau jeblosin saya ke penjara?
Teguh : Nggak Pak… nggak…, saya mau minta maaf sama Bapak. waktu itu saya panik, jadi biar gak disalahin saya pura-pura pingsan. Saya minta maaf Pak. gara-gara saya Bapak dan keluarga bapak malah jadi korban.
Teguh lalu berlutut dan memegangi kaki supir truk itu dengan gemetar.
Ayah Winda: Eh… Le, jangan kayak gini!
Teguh : Saya bener-bener minta maaf Pak. Saya sudah berdosa. Saya pantas dihukum. Hukum saya pak…. yang penting Bapak mau maafin saya. Saya akan bilang ke warga dan kepolisian yang sebenarnya. Saya benar-benar menyesal….
Ayah Winda: Wes Le,,, tangi! Bapak maafin kamu Le…, usaha kamu buat jujur dan minta maaf sama bapak sudah membuat hati bapak luluh.
Teguh : Bener pak?
Ayah Winda: Iyya le,, bapak maafin kamu. tapi…, jangan kamu ulangi lagi kelakuan kamu yang waktu itu, janji?
Teguh : Saya janji pak…..! terimakasih banyak pak.. terimaksih banyak…. saya benar-benar menyesal dan malu pada Bapak. Trimakasih Pak….
Ayah Winda: Iyo Le…., semoga ini menjadi pelajaran buat kamu karo temen-temenmu.
Teguh : Iya Pak….
Dada Teguh dibanjiri kelegaan yang luar biasa. Supir truk itu telah memaafkan kesalahannya dan tidak mau menuntut. Kini hubungan teguh dan Supir truk itu semakin baik. Namun, Ucup masih kesal padanya dan belum mau bertemu dan Pakdenya benar-benar marah besar padanya. Perjuangan Teguh untuk memperbaiki kesalahannya masih panjang. Dia harus merebut kepercayaan dan penerimaan maaf dari Ucup, pakdenya dan warga di kampungnya yang telah mengetahui sandiwara Teguh tentang tabrakan itu. sebuah sandiwara yang mungkin hanya berdurasi beberapa menit telah membuatnya harus mengahapus setiap inci noda sisa penampilannya itu dari para penonton yang tak berjangka waktu. Semoga Teguh tetap meneguhkan dirinya untuk bersabar.

“Kisah Aneh Yang Gak Sengaja”

 

“Ngawur! Baca panduannya!” sms dari sang pengepul cerpen yang niatnya mau dibuat antologi. Ternyata cerpenku tidak sesuai dengan yang diminta. Dongkol dikit, sih… Abis, ortu aku aja jarang bilang ngawur sama anak gadisnya yang cantik ini. Hiks…. Bisa dimaklumi banget, kok, gak usah pake gak enak gitu, ya, Akh… Hehehe…. Salah aku juga, sih, yang gak teliti banget baca ketentuan tulisan yang harus dikirim. Sampai-sampai salah bikin wujudnya. Disuruh kisah nyata malah ngarang bebas coba? Pinter banget, kan, aku? Uwwekkk….! Belum jadi penulis beneran aja udah nyusahin editor, apalagi kalo nanti udah terkenal. Ogah! Amit-amit…..!

Ketentuan cerpennya dishare lewat facebook yang harinya sudah tak kuingat. Tulisan di panduannya rapet banget, gak menarik buat dilihat, apalagi dibaca. Sok komen gitu, ya, aku…. Hehehe. Padahal sebenarnya gaya bahasanya bagus buanget gitu…. Hiks. Langsung sadar kalau punya sendiri, ANCUR!.

“Minggu jadi, ya! Syukron!” Sebuah sms masuk. Oh my god!!! Cuman dua hari waktu yang dikasih, dari jum’at malem sampe hari minggu. Gara-gara tulisan yang salah bentuk harus pake turbo kualitas tinggi, nih. Tenang, Ranti! Jangan panik! Ini hanya secuil tanjakan hidup yang pasti seru. Semangat! “Kalo mepet biasanya lancar, kok!” Kukirim sms balesan untuk Akh Mukhlis, si pengepul cerpen. Sebenernya untuk motivasi diri sendiri biar gak tambah stres. Modus biar editornya seneng. Gubrakk!!

Ldk Al-Ishlah rencananya mau bikin antologi cerpen yang temanya “Bertahan dalam Perbedaan”. Penulisnya adalah para kader LDk yang memiliki kemampuan menulis. Penggagasnya adalah Akh Mukhlis yang merangkap jadi pengepul and sekaligus editornya. Iya gak, ya? Kayaknya, sih, gitu. Waduh! Kok, gak yakin, sih? Hadeh…. Mending baca lagi, deh, ketentuannya yang tak copy dari grup facebook LDK. “Assalamu’alaikum…! Apa kabar Generasi Penyemai Cinta?Apakah kalian masih memiliki cinta?” Kalimat pertama pembuka panduan kepenulisan, yang butuh jawaban, “Oh yes, of course I have.” Langsung kujawab setulus hati. Hehehe. Kubaca secara acak setiap bentuk huruf yang rapet-rapet itu. Lho, gak ada tulisan true storynya, tuh? Apa aku kurang teliti atau salah tanggep, ya? Tauk, ah. Pokoknya, kan, yang punya hajat minta cerita yang nyata. Titik!

Gak gampang menulis kisah nyata yang penuh kesan apalagi pengalaman pribadi. Banyak pertimbangan yang wajib hadir dalam sidang pemilihan cerita mana yang nantinya mau diangkat. Apalagi sang waktu larinya gak tanggung-tanggung. Pake lari sprint and gak pake istirahat lagi. Oh, Tuhan, inikah ujian-Mu? Sabar! Di saat-saat seperti ini jurus kepepet dan kecepit harus dimaksimalkan. Dimulai dari mana, ya? Awal masuk LDK atau ini, atau itu, atau yang waktu itu aja? Eh, kayaknya nggak, deh. Gimana kalau cerita yang sama dia? Eh, jangan, jangan! Waduh, pening gila mikirinnya. Setiap kandidat cerita gak ada yang mau cungit buat jadi korban. “Akh Mukhlis, kenapa antum membuat aturan yang membuat hati dan pikiranku beradu pedang untuk menentukan pilihan?” gerutuku dalam hati. Kenapa aku jadi lebay gini, ya? Jangan-jangan aku mulai sters, lagi? Sebentar, satu tambah satu masih dua, kan? Oke, aku masih waras. “Hah….!” aku mendesah. Sepertinya aku memang harus menyerahkan keputusan ini pada jemariku untuk menyanyikan apapun kata-kata yang berharap mau datang sendiri. Kusandarkan kepala dan badan ini ke sandaran kursi, berharap dapat ide. Pikiranku tiba-tiba nyangkut ke sebuah peristiwa waktu aku telat masuk saat mengikuti tes tertulis masuk STAIN Metro.

***

“Aku terlambat!” pekikku. Aku berlari masuk area kampus. Mataku sibuk mencari gedung ruang tes ujian tertulis. Agak sepi, pasti semuanya sudah masuk ruangan dan bahkan mungkin sudah mulai ujian. Aku nyengir di gerbang. Pagi ini hujan membuka hari. Baru lima belas menit lalu hujan reda dan menyisakan genangan air di sana sini. Aku jinjit-jintit menghindari genangan biar sepatunya tidak kotor. Aku bingung, setiap gedung tak ada yang memiliki plang nama di depannya, kecuali gedung rektorat yang tertera plang begitu besar dan jelas terpampang. Kudekati salah satu orang yang sedang sibuk membaca koran di depan gedung rektorat. Cuma pengen nanya, gak pake kenalan. Tenang aja! “Maaf, Mas, gedung tes ujian tertulis di mana, ya?” Aku mencoba bertanya sesopan mungkin, meski panik. Tapi gak carmuk, lho….

“Oh, di sana Mbak, yang samping masjid warna pink.” Dia menunjuk sebuah gedung depan parkir motor. “Terimakasih, Mas!” Aku langsung berjalan cepat menuju gedung itu. Ada daftar nama dan nomor urut pendaftaran yang tertempel di kaca. Langsung kuteliti setiap deret nama yang tertera, tapi namaku tidak ada. Aku takut semakin telat dan waktu untuk mengerjakan soal ujian menjadi berkurang. Apalagi kalau yang minta diitung. Itu super gawat.

“Assalamu’alaikum, Dik! Kenapa? Lagi cari kelasnya, ya?” Seorang wanita dengan jeket hitam dan jilbab besar tiba-tiba menyapaku. Nampaknya dia membaca tingkah lakuku yang seperti orang bingung. Bukan “seperti”, tapi asli bingung plus panik. “Walaikumsalam. Iya, Mbak. Aku terlambat! Belum tahu kelasnya di mana,” jawabku penuh harap bahwa wanita itu mau membantu.

“Nomornya berapa, Dik?” tanya mbak itu. Suaranya alus banget. Seperti belum sarapan. Hehehe.

“Dua ratus dua puluh lima. Ini kertasnya.” Kusodorkan kartu tanda peserta milikku.

“Ya sudah, ayo kita cari!” serunya. Melayang rasanya, ada malaikat yang baik hati banget mau nemenin mencari ruanganku. “Tapi kalau bisa jangan ikut bingung ya mbk,” candaku dalam hati. Haru… Aku mengikutinya berjalan dari kelas ke kelas, membaca setiap daftar nama peserta ujian yang ditempel di kaca masing-masing ruangan. Namun, belum juga kutemukan namaku di sana. Aku mulai gelisah. Perasaan takut tak terdaftar dan tak bisa masuk ke STAIN muncul.

“Mbak, gimana ini? Namaku gak ada!” Mataku mulai berkaca-kaca. Tapi aku tetap berusaha untuk tegar. Meski hati ini paniknya bukan main.

“Jangan nyerah, Dik! Ayo, kita cari lagi!” Kata-katanya cukup membuatku tenang. Ada perasaan damai dan merasuk secercah semangat baru. “Terimakasih, Tuhan! Kau mempertemukanku dengan wanita ini. Aku benar-benar beruntung dan terharu, ada orang yang sama sekali belum kukenal tapi begitu menggebu mambantuku. Aku saja belum tentu bisa seperti Mbak itu.” Aku berucap syukur dalam hati.

Kami bolak-balik ke gedung M dan N, dari lantai satu ke lantai dua, membaca daftar nama peserta ujian.

“Semoga tadi ada yang terlewat! Kalau beneran gak ada gimana, dong?. Hiks!” pikirku yang tidak-tidak. “Tuhan, kuharapkan pertolongan-Mu!” Dengan langkah yang mulai lemah aku kembali ke lantai dua, berjalan menuju ruangan di pojok sebelah kanan. Aku sudah ketiga kalinya ke sini. Harapan yang tipis membuat aku ingin menyerah saja rasanya. Dengan semangat yang meredup, kueja lagi setiap deret nama yang tertera. Tiba-tiba telunjukku berhenti ke deretan huruf yang kucari-cari. “Ini Mbak, ada!” teriakku kegirangan. Energi yang luar biasa tiba-tiba menjalar ke tubuhku. Gak pake permisi.

“Ya Allah, Dik. Tadi, kan, Adik sudah ke sini.” Wanita bagai malaikat itu nampaknya juga ikut lega, tapi pastinya juga dongkol karena keteledoranku memeriksa nama-nama. Aku merasa bersalah karena saking paniknya. “Iya, Mbak, maaf! Mungkin tadi karena buru-buru, jadi kurang teliti.” Aku benar-benar merasa bersalah pada mbak yang sangat baik itu.

“Ya sudah, Dik. Mbak pergi, ya!” pamitnya.

“Iya, Mbak. Maksih, ya!” ucapku takjub.

Kutengok ruang kelas. Nampaknya belum ada dosen dan belum ada kegiatan. Aku jadi ingat sesuatu. Aku lupa menanyakan nama wanita berjilbab lebar berhati embun itu. Tapi aku sempat membaca tulisan yang tertera di jaket hitamnya, “LDK”.

***

Oh, iya, ngomong-ngomong ceritaku melenceng dari tema nggak, ya? Dua hari yang harusnya dipake fokus bikin cerpen, malah nubruk sampek ambruk ke kegiatan lain yang gak ngajuin surat izin prektek, alias gak direncanain dulu sebelumnya. Mulai dari teman-teman satu liqo’an yang malem sabtunya sms kalau besok mau silaturahmi, sampai tentang ibu yang ngajak diskusi berkepanjangan buat nyiapin hidangan apa yang mau disuguhin nanti. Dan dalam keadaan mati lampu pula. Terus, paginya repot bikin empek-empek sama ager. Sampek teman-teman sudah pulang, di rumah gak selesai-selesai beberesnya. Abisnya langsung ditinggal ibu kondangan ke Pekalongan, sih. Badan rasanya remuk karena capek, tapi aku seneng, jarang-jarang temenku main ke rumah. Malam minggunya sudah siap-siap star mau ngetik, eh, ada om yang minta dibikinin daftar buat acara di desa.

Karena tidurnya kemalaman, paginya badan kurang enak alias masuk angin. Sorenya sudah lumayan ngetik dikit-dikit, tapi Mario Teguh nongol. Nah lho, apa gak double gubrak, tuh, namanya. Tapi selalu mencoba untuk sabar. Meski gak pengen nonton, tapi akhirnya nonton juga sampai habis. Keterlaluan banget, ya?

Drettt…drettt…..! “Ada yang kirim sms jam sebelas malem gini?” Rada males mau nengok hp yang terkapar di atas meja. Tiba-tiba ada perasaan gak enak, langsung kucomot hp jadulku, dan… Jebrettt! “Assalamu’alaikum! Anda pasti tahu tujuan saya mengirim sms ini. Ok, ditunggu!” Sms dari si penagih cerpen. Gubrak! Kedebukkk! Jlebbbb! Lemes langsung. “Waduh, mau jawab apai ini?” Penderitaanku lengkap; badan meriang, hidung mampet, perut laper, terus malem jadi semakin dingin. Ditambah Akh Mukhlis yang pastinya lagi mantengin facebook dari tadi sambil mikir,“Ke mana lagi orang ini? Kok, gak ngirim-ngirim?” Gak bisa apa-apa lagi, ngomong jujur biasanya selalu menjadi penyelamat segala kondisi. Berharap Akh Mukhlis mau bermurah hati ngasih dispen lagi.

“Maaf, belum bisa kirim hari ini. aku lagi sakit, ini aja baru mulai ketik tadi sore. Mungkin besok sore. Kalau masih diterima terimakasih, tapi kalau tidak gak apa-apa. Salah aku juga!” balasku. Aku cemas menunggu balasannya. Berdo’a supaya Akh Mukhlis gak kejam-kejam amat.

“Berarti besok udah jadi. Ok, ditunggu! Semangat!” sms balasan dari Akh Mukhlis. Rasanya lega dan yang pasti aku bisa langsung istirahat tidur. Badan bener-bener menuntut haknya.

Haduh, mereka itu baik-baik banget, ya. Tapi aku malah suka ngerjain mereka. Maafin aku yang ceroboh ini, ya! Ada hikmah dan kelemahan yang aku sadari dari cerita nyari ruang ujian dan alasan kenapa aku harus ganti cerpenku ini. Intinya aku ini kurang teliti. Jadi, aku harus diteliti dan disemangati. Dan di LDK-lah tempatnya orang baik yang peduli dengan orang lain, mau meneliti dan menyemangati. Hehehe….! Hikmahnya maksa banget, ya? Hehehe, biar, deh. Aku mau ngucapin terimakasih buat Mbak itu. Mbak berjilbab lebar yang dengan tulus membantuku. Entah siapapun dia dan di mana dia sekarang, semoga Allah selau mencintainya. Hingga kelak Allah akan mempertemukan kami dengan caranya yang indah. Di suatu tempat, entah itu di dunia ataupun di akhirat-Nya kelak. Ada banyak koleksi cerita yang sebenarnya memberi banyak pelajaran yang bisa kupetik. Tapi terkadang tak pernah kusadari dan malah mengacuhkannya. LDK banyak memberi kisah yang seru dan inspiratif, selain bisa untuk menambah referensi cerita hidup yang mungkin bisa jadi bahan tulisan. Heee, itu bonusnya, lho. Kalau ditanya masih mau bertahan? Aku akan jawab “Siap!”. Siap menjadi tokoh dalam ceritaku sendiri dan cerita orang lain. Siap menjadi salah satu warna dalam pelangi dakwah ini. Warna yang indah, yang mampu membuat perbedaan menjadi elok dipandang mata. Warna yang kuat, sekuat keinginan hati ini untuk tetap istiqomah di jalan dakwah ini.

 

“Uler Keket”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Aku pernah berpikir kalau aku adalah makhluk paling sial di jagad ini. Dan yang teramat sial, aku sering kalap karena sentuhan. Jangan coba-coba, aku bisa bergelinjang-gelinjang jika jemari sok tak berdosa menyentuhku, aku geli bukan main. Aku sebetulnya heran, kenapa kulitku bisa begitu sensitifnya?

Orang Jawa menamaiku uler Keket. Makhluk yang terkenal kalem itu jago juga memilih nama. Karena aku suka klogat-kloget makanya digelari Keket, sehingga menjadi inspirasi dalam syairnya Didi Kempot “Uler Keket mlakune klogat-kloget, get … ”.

Aku berhutang budi pada orang Jawa, atas nama yang disematkan padaku. Aku juga terpukau dengan perangai mereka, santun merunduk-runduk. Tapi tetap saja, kalau dipajang di terminal mereka jadi beringas. Suka menarik semena-mena tas penumpang, caranya menawari tumpangan juga setengah mengancam. Ini sebenarnya jadi pembelajaran untuk Abah Namrud. Pasalnya, aku suka senewen dengan orang yang banyak cakap itu, yang pidatonya teramat memikat. Tahu kenapa? Aneh, orang yang daun gembelinanya sering kugasak itu begitu bangga dengan keapikan pekertinya. Dia tidak sadar apa, kalau dia itu hanya beruntung? Dia diselamatkan oleh lingkungan. Perangainya baik karena dia ada di tempat yang kondusif, nyaman, tentram, beradab, coba saja taruh di terminal, bejat bukan main.

Hebatnya lagi, cakapnya itu kadang bikin risih, tak sesuai dengan amalnya yang mbruwel. Menyeru orang agar bersedekah, tapi meditnya bukan kepalang. Berpersuasi agar orang ikhlas, qona’ah, tawadu’, tapi jika habis ceramah tak disumpali amplop, gerutunya tiada ujung. Aku yang teramat geli dengan sentuhan, ternyata lebih geli lagi dengan mata si Abah Namrud. Kedipnya bikinku bergelinjang hebat.

Sebagai ulat yang kadang hobi berkelana, aku pernah tersesat, tak tahu arah pulang. Galau bukan main. Bagai butiran debu. Kulihat persemayaman megah, tapi bikin meremang. Kuburan Cina rupanya. Manusia itu paling takut dengan kuburan, sarang setan katanya. Padahal, kadang mereka lebih menakutkan dari pada setan. Aku saksinya. Aku terpekik dan terlonjak kuat saat ada tangan merabaku. Pria muda rupanya. Ia menjerit histeris sejadi-jadinya. Matanya melototiku. Sangat tidak sopan. Seharusnya aku yang menjerit karena dengan tidak senonohnya ia merabaku. Tak tahukah dia jika aku juga pejantan? Dia merontokkan harga diriku. Aku masih normal, tahu .… .

Pria penjerit itu munafik adanya. Ia jijik dengat klogat-klogetku, tapi sejurus kemudian ia malah membuat teman wanitanya klogat-kloget tidak karuan. Mesum. Makhluk yang tidak memiliki konsistensi. Juga tak tahu diri. Pekuburan harusnya buatnya ingat mati, tapi malah dijadikan medan perbuatan hewani. Tak bermoral. Seperti itu menamakan diri sebagai manusia? Durjana!

Bangsaku, bangsa ulat, atau lidah Jawa menyebutnya uler, kadang jauh lebih mulia dari bangsa manusia. Di mata manusia, uler bisa tampak seperti malaikat. Tidak percaya? Itu dialami sendiri oleh sahabat kecilku, uler Kilan. Kilan artinya jengkal, orang Jawa juga yang menamai. Lenggoknya yang menjulur naik-turun terlihat seperti jari yang sedang menjengkali, atau ngilani, sehingga disebut uler Kilan. Dia amat keramat. Jika ada orang yang dirayapi si uler Kilan dari ujung kaki sampai kepala, maka orang tersebut akan sangat yakin bahwa sebentar lagi dia akan mati. Dahsyat tiada tandingan, memang. Temanku yang lucu itu bisa merebut job malaikat Izrail, mencabuti nyawa manusia. Horor, kuno, mitos tak berakal. Begitu mereka menyakini diri sebagai manusia? Kudengar dari burung seberang katanya manusia itu berakal, nyatanya? Bukan main bebalnya. Temanku, uler Kilan, jadi besar kepala karenanya. Ia sering terkekeh melayang ke angkasa. Menempel di ketiak gagak, sambil melambai seolah ia makhluk paling kuat di dunia. Sebenarnya satu yang kukhawatirkan, jika job malaikat Izrail direbut oleh si uler Kilan, kira-kira malaikat mulia itu mau melamar kerja di mana? Miris. Budaya jahiliyah masih saja mengakar.

Dulu aku pernah terjatuh dari pohon gembelina milik Abah Namrud. Gara-gara samar kudengar suara khas menyebut-menyebut “kepompong” dalam syairnya. Aku bukan terpesona karena indah lagunya, tapi karena syarafku pretel tersentak kata “kepompong”. Peganganku pun terlepas, hingga berdebum di tanah berkerikil, ngilu. Kalau bukan karena diiming-imingi akan jadi kupu-kupu yang dapat melayangi angkasa, aku tak sudi jalani ritual jadi kepompong. Tak terbayang rasanya bertapa dalam gelap, tak ada daun gembelina hijau yang dapat kusantap. Mengerikan. Pucat pasi aku membayangkannya.

Manusia itu kadang asal bicara. Bilang persahabatan bagai kepompong. Seram amat? Kalau persahabatan adalah kepompong, berarti manusia adalah ulat. Aku berani bertaruh atas nama bangsaku, mereka tidak akan sanggup jadi ulat. Apalagi menjelma dalam wujud kepompong, mustahil. Sepupuku sesama Keket geleng-geleng mendengar gerutuanku. Ia menukas tajam, menyakitkan,”Dalam lagunya, kan, ada kata “bagai”, itu artinya mereka mengibaratkan bahwa persahabatan itu mirip kepompong.  Menggambarkan bahwa persahabatan itu sulit. Tapi kalau tabah, sabar, dan telaten, ujungnya indah, bak kupu-kupu, melayang; menenggak madu, sedap. Begini kalau ulat tak punya cita rasa sastra sama sekali. Suka senewen dengan bodohnya.” Lidah setajam silet, setajam rambut yang dibelah jadi tujuh. Sringgg! Rantas sudah hati ini, tercabik. Sakit, perih. Aku ulat senewen yang bodoh?

Entahlah, aku memang kurang suka dengan manusia. Serakah, penjajah. Egois, tak tahu diuntung. Bangsa ulat sering kali ditindas. Tak boleh di sini, tak boleh di situ. Tak boleh makan ini, tak boleh makan itu. Mau menang sendiri. Aku hanya kasihan dengan kerabatku nun jauh di sana, di sawah, di kebun, dan di ladang. Hidup mereka selalu was-was, penuh marabahaya. Mereka harus tergopoh-gopoh menghindari bangsa burung, predator ulung. Menyambar tanpa pri-keburungan. Mencabik-cabik dan menggiling tubuh-tubuh kecil itu di ususnya. Sadis. Juga mereka harus pandai berpayung daun agar tak tersembur cairan sengak beracun, pestisida sakaratul maut. Tragis nasib mereka. Padahal mereka tidak pernah meminta menjadi pemakan daun tanaman pangan, juga bukan karena kutukan. Semua terjadi alamiah, di luar kendali bangsa ulat. Berkali-kali kusarankan agar mereka berganti menu makan, kutawarkan daun gembelina, tapi ditolaknya dengan santun. “Kami tidak bisa melawan takdir,” tuturnya pasrah. “Mereka pantas tinggal di surga,” batinku dramatisasi, sok meramal masa depan. Uler Keket tak tahu diri.

Sebenarnya, aku tak sepenuhnya benci pada manusia. Biar bagaimanapun, mereka adalah pemimpin kami. Makhluk yang dengan tangannya diharap mampu menciptakan keseimbangan di bumi. Melindungi bumi beserta isinya dari petaka. Meski nyatanya, mereka malah menggoda petaka. Menantang langit. Dan memanahi kedamaian.

Tapi, ada juga manusia yang indah pekertinya. Meski hati merasa risih pada kami, bangsa ulat, tapi mereka menjaga sikap. Tak ingin makhluk tak berguna seperti kami tersinggung dan merasa hina. Mereka juga baik pada bangsa flora, dirawat. Jika tak benar-benar butuh tak akan dilukai. Senyum mereka tulus, tak ada sedikitpun modus. Alam benar-benar dijaganya, tak ingin ada yang terkoyak, tak ingin setetes darahpun tumpah, apalagi sampai tercecer di bumi.

Ahh, kurasa ada yang aneh pada diriku. Kepalu mendadak pening tak terkira. Badanku menggigil tiba-tiba. Akhirnya apa yang kutakutkan selama ini datang juga. Aku akan menghilang. Terkurung dalam gelap, menakutkan. Aku akan tergantung seperti kentongan yang pernah kulihat di gardu, digebuki hansip tanpa ampun. Aku akan tirakat sekian lamanya. Meninggalkan gemerlap dunia. Mengabdi penuh pada takdir. Ada satu sisi positifnya, aku tak akan lagi tersentuh tangan manusia, hingga aku tak perlu lagi bergelinjang-gelinjang, berjungkit-jungkit kegelian. Dan untungnya bagi mereka, aku tak akan lagi banyak mengkritik, tak akan lagi membuat mereka risih, jijik tak terkira. Karena setelah masa berat itu kurengkuh, aku akan segera terbang, melayang, mencandai bunga-bunga hingga terbuai, dan perlahan kuhisap madunya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Tolong Aku”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Melati masih belum percaya akan kematian Nili, sahabatnya sejak kecil. Tidak pernah terpikirkan oleh Melati jika Nili mati begitu cepat, di usia yang masih sangat muda, 24 tahun.

“Mel, aku ingin seperti kupu-kupu. Terbang di atas bunga-bunga dan menghisapi madu hingga lidahku tak bisa merasakan pahit lagi.” Ucapan Nili sehari sebelum kematian merenggutnya terus terngiang-ngiang di telinga Melati. Lalu menyeruduk gendang telinga dan memaksa menerobos ke hati. Jlebb. Air mata anak perawan itu meleleh secara perlahan, membuat garis sungai di wajah halusnya. Kecantikan Nili terasa menari-nari di hadapannya. Senyum indah tergambar jelas di wajah bulatnya. Jemari lentiknya terayun memberi isyarat agar Melati mendekat.

“Ikut aku, Mel! Ikut aku terbang dan berebut madu bersama kumbang-kumbang.” Melati mengusap air matanya. Gadis berpendidikan itu berusaha meyakinkan dirinya, bahwa dia tidak mungkin mati sperti halnya Nili. Dia akan tetap hidup, hingga memiliki seribu keturunan. Dia ingin bersama pria yang dicintainya hidup dalam balutan madu, hingga dia dapat menjilat manis sepanjang masa. Anak-anaknya akan disuapinya dengan makanan keabadian, dan mereka akan lucu selamanya.

“Tidakkk! Enak saja, aku belum mau mati. Maksudku aku tidak akan mati,” gerutu Melati merutuki bayangan Nili yang tidak juga hengkang dari hadapannya.

“Mati itu indah, Mel. Kau akan dapat terbang nantinya….” Bayang Nili terus menggoda pikiran Melati. Wanita yang banyak digandrungi pria itu semakin kacau. Diacak-acaknya rambut yang setiap minggu dibawanya ke salon itu.

“Aku tidak mau, Nil….. Aku tidak mau…..”

***

“Nil, kamu lihat orang-orang itu? Menurutku mereka begitu membuang-buang waktu. Mereka memuja angan kosong belaka.”

“Aku setuju, Mel, mereka hanya diperbudak dongeng dan halusinasi saja.”

“Mereka pikir kita akan hidup lagi setelah mati. Hahaha. Ada-ada saja pemikiran seperti itu. Aku bahkan sedang berusaha agar tidak bisa mati.” Melati menjilat es krim kesukaan lidahnya. Ia begitu menikmati hidup. Baginya, bahagia itu jika ia sudah lupa dengan kematian. Ia membayangkan suatu saat tak ada lagi ritual-ritual bodoh di dunia ini. Tidak ada lagi penghambaan, kecuali penghambaan pada kebebasan. Kebebasan yang membuat makhluk cerdas sepertinya benar-benar merdeka.

“Mel, aku ingin seperti kupu-kupu. Terbang di atas bunga-bunga dan menghisapi madu hingga lidahku tak bisa merasakan pahit lagi.” Nili riang menatap langit. Senyumnya merekah indah seperti kekuntum mawar. Matanya bersinar menerawang. Terbang bersama kumbang-kumbang yang malu-malu menggodanya.

Melati ikut tersenyum. Seolah ia merasakan keindahan yang menyusup dalam jiwa Nili. Ia semakin yakin, bahwa ia adalah orang paling cerdas dan paling merdeka di dunia ini. Tak ada yang membatasi angannya. Tak ada sekat dalam perilakunya. Tak ada sedikitpun yang berhak mengusik kebahagiannya. Semua ia miliki. Kecantikan, harta, kecerdasan, jabatan, kekasih, dan semuanya. Ia bahagia dengan apa yang ia punya, ia bisa terbang ke mana pun ia mau. Tanpa terbebani oleh aturan-aturan teologi yang dianggapnya primitif.

“Kalau kita mati, kira-kira kita pergi ke mana ya?”

“Bodoh, kita akan hancur bersama tanah. Menjadi zat-zat makanan untuk menyuburkan tanaman.”

“Hahahaha…” Dua gadis muda itu tertawa bersamaan. Membuat irama nyaring menantang langit. Tidak ada sedikitpun gurat takut di hati mereka. Tak ada. Mereka benar-benar melayang dalam dunia yang begitu indah, dunia yang ingin mereka tempati selamanya.

Sebuah kijang putih berhenti di hadapan mereka. Mereka tetap tertawa, meleburkan suara dengan kebisingan taman kota. Seorang pria tampan keluar dari mobil dan gesit menghampiri mereka. Nili tampak terkejut. Yang datang adalah kekasihnya. Kekasih yang baru semalam merengek cinta padanya. Mengemis agar Nili tidak memutuskan cintanya. Pria pemujanya itu benar-benar mabuk kepayang oleh keindahan yang dimilikinya. Tapi Nili tak peduli, apa yang tidak dia sukai lagi berarti harus diganti.

“Nili, ikut aku!” Pria itu menarik tangan Nili. Memaksanya untuk segera masuk ke mobil yang dibawanya. Nili berontak. Wajahnya memerah marah dengan pemaksaan yang dilakukan mantan kekasihnya itu. Es krim tercintanya terpaksa ditimpukkan ke wajah pria yang sudah dianggapnya tiada harganya lagi.

“Hei, orang gila! Kenapa kamu memaksa temanku?” Melati menghardik dengan lantang. Emosinya membuncah melihat sahabatnya diperlaukan dengan kasar, mirip majikan memperlakukan seorang budak.

“Jangan ikut campur!” Ancam si pria. Telunjuknya lurus mengacung ke wajah Melati. Tapi Melati tidak peduli. Ia melepas sepatunya dan secepat kilat menghantam kepala si pria. Hak lancipnya telak mengenai pelipis si pria hingga darah membancir di wajahnya. Nili tampak terkejut. Cengkeraman di tangannya lepas seketika. Ia menutup mulut. Si pria meraung kesakitan sambil menahan darah keluar dari pelipisnya. Orang-orang di taman pun terpaku dengan pemandangan itu. Mereka berkerumun menunggu apa yang terjadi selanjutnya, tanpa ada yang berinisiatif melerai. Mata orang-orang di taman dipaksa untuk mendelik saat pria kasar yang menyatroni Nili menghunus sebuah pisau. Matanya tajam menyambar Melati yang tampak panik seketika.

Si pria berjalan dengan gesit menyerang Melati. Harga dirinya seakan diinjak oleh Melati yang berani membuat pelipisnya bocor. Namun secepat kilat pula Nili menghadangnya dengan memukulkan tas cangklongnya berkali-kali ke tubuh si pria hingga pisaunya terjatuh. Dengan sigap Melati meraih pisau yang yang terhempas di ubin taman. Sedangkan Nili sudah balik diserang oleh si pria. Lehernya dicekik dengan kuat. Ia mencoba meronta tapi tangan pria itu terlalu perkasa untuk membuatnya terbebas dengan cepat.

Dengan gugup Melati mendekat. Dihunusnya pisau yang tampak berkilau di tangannya. Ia terus mendekat. Dan dengan tangan bergetar ia tikamkan pisau tajam itu ke arah pria yang mencekik Nili. Tapi sialnya, Melati terlalu gugup. Hingga pisaunya meleset dan mengenai punggung Nili hingga tembus ke jantung. Nili terpekik. Gadis bak bidadari itu merintih kesakitan. Darah segar membanjir di baju putihnya. Tubuh indahnya tersungkur tak berdaya. Semua terpana. Si pria pun bukan kepalang terkejutnya. Melati menggeleng tidak percaya. Ia telah menikam sahabatnya sendiri. Ia seperti sedang bermimpi. Semua terjadi begitu cepat.

***

“Apakah aku akan benar-benar menjadi pupuk, Mel? Aku tidak mau. Aku ingin menjadi kupu-kupu yang dapat terbang dan merayu bunga-bunga bermadu.” Bayang Nili semakin jelas di pelupuk mata Melati. Kadang ia terlihat murung, kadang tertawa riang sambil terbang mengelilingi ruang bui yang mengerikan.

“Seperti apa rasanya mati, Nil?” Lirih bibir Melati berucap. Tatapannya kosong.

“Entahlah, Mel. Sulit digambarkan. Tapi rasanya sakit sekali saat kutahu kamulah yang membunuhku.” Melati melotot seketika. Ia tertohok oleh perkataan shabatnya itu.

“Aku tidak membunuhmu, Nil. Aku gugup. Aku, aku…. Ah…….. Persetan denganmu, Nil. Aaaah…. Aku tidak peduli. Pergi! Pergi…..!”

“Hei, hei, hei….! Ada apa denganmu?” Hardik seorang petugas. Nafas Melati memburu. Ia menatap ke segala arah. Mencari sesuatu yang sekejap hilang. Nili tak ada lagi. Tapi tiba-tiba muncul sosok makhluk dengan tampang mengerikan. Ia membawa palu sebesar paha gajah. Matanya menyala. Taringnya menyeringai tajam.

“Hah!” Melati tersentak. Tubuhnya dingin seketika. Matanya mendelik. Ia merasa begitu takut. Rasanya ia ingin meloncat menembus atap ruang tahanan. Dan terbang melayang ke angkasa. Tapi ia tidak dapat berbuat banyak. Baru kali ini ia merasa benar-benar tidak berdaya. Ia seolah cacing kecil yang terkurung dalam botol, menggeliatpun percuma.

“Siapa kamu? Siapa kamu? Kamu mau apa? Kamu maaaau u.. u.. uang? Aku beri. Tapi kumohon pergi! Jangan mendekat!” Melati semakin kalut. Makhluk mengerikan itu semakin dekat. Matanya menyala tajam. Palunya terayun dengan tenang.

“Kurasa gadis ini sudah gila!” rutuk si petugas.

Melati benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Ia lunglai dalam kepasrahan utuh. Matanya sayu. Bibirnya bergetar. Ia meringkuk dengan memeluk kedua lututnya. Sedangkan si makhluk menyeramkan sudah tepat berada di depannya. Ia benar-benar menakutkan. Ia seakan ingin mencabik-cabik tubuh Melati.

Gadis dalam kondisi berantakan itu sudah berada pada puncak ketakutan. Ia takut mati mengenaskan. Ia membayangkan saat tubuhnya diremukkan oleh palu si makhluk misterius. Ia tidak berani menatapnya. Ia melihat lantai yang tampak compang-camping di bawahnya. Air matanya menetes deras menyapu wajah cantik yang sangat dibanggakannya. Dalam cengkeraman kematian yang seolah merontokkan sendi-sendi tubuhnya, terucap lirih dari bibir mungilnya,”Tuhan, tolong aku!” Bui hening seketika. Sepoi angin membawa syair-syair tak bernada. Merayapi tembok berkarat darah. Dan menyusup ke luar jeruji. Sekejap tedengar sayup jeritan pilu, rintih-rintihan melodi dari lembah kehinaan. Angan kosong, dongeng, dan halusinasi itu kini terlihat nyata.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Lukisan Di Hati”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Mutia, temanku saat SMA dulu bilang bahwa cinta adalah tinta, di mana saja, ia akan memberi warna. Ia bisa digoreskan menjadi kalimat-kalimat pembuai kalbu. Ia membuat melayang saat disemburkan ke udara. Cinta adalah pembuat aksara-aksara keindahan di lembaran kehidupan.

“Kamu ingin membuat wanita jatuh cinta? Bacakan puisi! Pasti berhasil,” kata Bu Elfi, guru Kesenian di kelasku semasa SMA. Sepertinya kalimat itu tidak asing bagiku. Aku pernah mendengarnya di film favoritku, Spiderman. Kalau tidak salah Spiderman 2. Kurang lebih seperti itu lah kalimatnya. Tapi ternyata itu hanya bualan. Kalau dilakukan percobaan, aku yakin tingkat keberhasilannya hanya berkisar antara 0-30%. Kenapa? Karena cinta itu bukan hanya persolan kata semata, tapi persoalan hati yang tidak memiliki telinga, juga tidak mengenal tinta. Cinta itu seperti hujan, jatuh di mana saja, di gurun sekalipun. Ia tidak terikat oleh satu hukum. Apalagi terikat puisi, tidak sama sekali. Ia hanya terikat pada sang Maha Cinta.

Aku percaya, satu orang pria bisa mencintai seribu orang wanita dalam satu waktu. Karena apa? Karena pria itu sangat tertarik dengan keindahan wanita. Bahkan ada orang yang tekun beribadah dan rela mati di jalan Tuhan demi mendapatkan bidadari di surga. Wanita itu adalah cobaan berat bagi setiap pria. Dia masuk dalam tiga kategori godaan terberat yang dapat menyungkurkan pria ke tempat yang paling hina. Harta, tahta, dan wanita.

Senin yang indah. Matahari diselimuti awan tipis di angkasa. Membuat sinarnya menjadi jinak dan menghangatkan. Duh, nikmatnya … . Pagi hangat diselingi sepoi angin yang melenakan. Di kelas sudah ada dosen yang mengajar saat aku memasuki ruangan. Aku memang begini, saat suasana di luar begitu mendamaikan, aku akan memperlambat langkah untuk masuk kelas. Jarang-jarang cuaca bersahabat di musim kemarau seperti ini.

Aku mengulas senyum semanis mungkin. Dosen wanita biasanya sangat suka mendapat senyum manis dari mahasiswa prianya. Ini juga hanya teori, karena kenyataannya lebih banyak wanita yang suka duit daripada senyuman. “Emang makan senyum kenyang?” Begitu kira-kira semboyan mereka. Untungnya aku diizinkan masuk. Dan sudah menjadi tradisi di Negeri ini, jika masuk kelas belakangan pasti dapat kursi paling depan. Kursi belakang sudah penuh. Sebenarnya aku juga lebih nyaman duduk di belakang, lebih strategis saat kantuk menyerang.

“Baik, apa ada yang ingin kalian tanyakan pada teman baru kalian?” Bu Evi bicara dengan suara yang bening. Aku melihat ke depan, baru kutahu bahwa di depan ada seorang wanita asing yang berdiri malu-malu. “Tumben anak baru disuruh memperkenalkan diri di depan kelas? Seperti zaman SMA saja,” batinku.

“Sudah punya pacar belum?” celetuk Rudi bersemangat. Disusul suara gaduh kelas karena ulah pria humoris itu. Wanita asing di depan kelas hanya tersenyum. Dan, ya Tuhan…. Senyumnya masis sekali. Dan detik itu juga baru kusadar bahwa wanita yang berdiri di depan kelas sangatlah cantik. Indah.

“Rudi, jangan coba-coba menggoda keponakan saya, ya!” sela Bu Evi bergurau. Tenyata keponakan Bu Evi, makanya ada acara perkenalan segala.

“Kan usaha, Bu.” Rudi terkekeh.

“Oh, iya. Tadi namanya siapa? Saya belum tahu,” serobotku.

“Santika.” Suara lembut menjawabnya. Syahdu.

***

“Stop! Wanita adalah cobaan, berhenti memikirkan Santika!” Aku sedang berperang dengan perasaanku. “Hati-hati, wanita cantik biasanya membosankan!” Pikiranku terus bergulat. Dan hari itu aku tidak berani masuk kelasku, aku memilih mengambil di kelas yang lain.

Bukannya apa-apa, aku hanya bingung dengan diriku. Aku adalah tipe pria yang dingin terhadap wanita. Aku tidak terlalu peduli dengan makhluk yang katanya diciptakan dengan sejuta keindahan itu. Tapi, sejak aku melihat senyuman Santika, tiba-tiba ada yang lain. Aku terus-terusan memikirkannya. “Mending kalau dia juga memikirkanku,” rutukku dalam hati. Ah, bukan. Bukan itu masalahnya. Tapi, kurasa aku tertarik dengannya. Dan ini bahayanya. Aku benar-benar tidak ingin jatuh cinta dalam waktu dekat ini, jatuh cinta hanya akan menguras energiku. Bisa membuat otakku membeku dan tak dapat bekerja maksimal lagi. Jelas itu akan sangat merugikan seorang penuntut ilmu sepertiku. Lagipula, aku sangat anti pacaran. Kalau jatuh cinta tapi belum berani menikah, kan solusinya pacaran. Bisa berabe kalau aku harus pacaran.

“Tidakkkk!” Aku mencoba menepis semua perasaanku. Aku harus menjadi seorang Muslim sejati. Pacaran kan dilarang agama. Tidak boleh, tidak boleh. “Tapi, kalau dipikir-pikir, jatuh cinta kan gak harus pacaran.” Hatiku mencoba melakukan pembelaan. Iya juga. Asal aku bisa mengendalikannya, dan menyimpannya rapat-rapat, aman. “Haha.” Aku tertawa. Akhirnya kutemukan solusinya.

***

“Rama, ini buat kamu.” Sebuah suara memaksaku berhenti mengetik makalah. Makalah sialan. Siang nanti mau dipresentasikan, tapi sudah jam 09.00 belum kelar juga.

“Buat aku? Dalam rangka apa?” Aku kebingungan. Cepat-cepat kubuang pandangan saat kulihat senyum manis Santika merekah. Senyum itu yang bisa membuatku sengsara.

“Hadiah untuk seorang kutu buku.” Santika duduk di sebelahku tanpa meminta izin. “Sudah dua bulan aku di kelas ini, tapi kamu tidak pernah mengajakku ngobrol? Padahal kita memiliki kesamaan. Sama-sama suka membaca buku,” lanjut Santika membuatku terkejut. “Ngobrol? Aku bahkan ingin kamu segera pindah dari kelasku,” ucapku dalam hati.

“Kamu misterius, ya? Kenapa kamu suka buku?”

“Karena aku tidak suka wanita,” jawabku reflek.

“Hah? Jadi kamu homo?” Santika mengerutkan dahi. Astaga! Apa yang aku ucapkan? Aku jadi gugup sendiri dibuatnya.

“Bu.. bu, bu, bu, bu, bukan…” sanggahku sambil menghembuskan nafas dan tersenyum secara bersamaan. Gila. Kenapa jadi seperti ini? “Aku hanya becanda saja. Kamu tidak biasa becanda, ya?” Akhirnya aku menemukan kata yang tepat untuk mengarahkan pikiran Santika. Kucoba sekuat mungkin untuk bersikap biasa saja.

“Biasa, sih. Tapi, kamu tidak terlihat sedang becanda. Hahaha.” Gelak tawa Santika terdengar nyaring. Aku tersenyum. Wanita ayu itu pun bangkit dan meninggalkanku sendiri.

Tak sabar kubuka bungkusan ukuran sedang pemberian  Santika. Kurobek-robek kertas pembungkusnya. Kuperhatikan dengan seksama. Aku benar-benar tidak menyangka. Sebuah gambar dalam bingkai yang indah. Lukisan yang membuat jantungku terlonjak hingga menubruk plafon kelas. Astaga. Seperti mimpi saja. Itu gambarku sedang membaca buku di kursi, kaca mata andalanku juga terukir indah di sana. Untuk apa Santika melukisku? Dan seni seperti apa yang ia kuasai hingga bisa menggambar sebagus ini? Untuk apa juga dia memberikan ini untukku? Apa dia tertarik denganku?

“Huhhhff…” Kusandarkan punggungku pada kursi. “Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?” Bayang Santika terus menggoda. Senyum indahnya tergambar jelas di pelupuk mata. Suara-suara lembut begitu membuai kalbu untuk segera dapatkan cinta. Aku seperti terperosok di bibir jurang dan hanya ada Santika di tepi jurang itu. Dia melambaikan tangan. Dan aku…

“Waw! Lukisannya bagus banget. Kamu terlihat lebih keren dalam lukisan.” Suara Raflan membuatku terlonjak. “Siapa yang ngelukis?” lanjutnya bertanya.

“Santika,” jawabku datar.

“Kamu menyukainya?”

“Apanya?”

“Santika.”

“Entahlah.”

“Wajar. Santika pantas membuat lelaki cerdas sepertimu jatuh cinta. Tapi aku yakin, dia tidak akan mampu membuat keimananmu goyah.” Raflan tersenyum. Pemuda pegiat Qiyamul Lail itu menatapku penuh arti. Aku merasa memiliki kekuatan. Raflan membuatku lebih tenang.

“Jika kamu sudah seyakin itu, aku bisa apa?” tuturku bersemangat. Kami tertawa. Tawaku dan Raflan membuat garis kekuatan baru untuk membentengi cinta yang datang bukan pada waktunya.

***

Entah sudah berapa juta daun yang gugur mengiringi bergulirnya waktu. Dan angin selalu setia mengusik hidup dan mati mereka. Hujan berderai-derai melapukkan mereka hingga melebur dalam wujud yang baru. Dan akar mencaplok wujud baru itu sebagai makanan yang lezat.

Hidup ya seperti itu, berputar-putar. Tapi sayangnya aku bukan daun. Aku lebih perasa rupanya. Perputaran membuatku pening. Kalau saja aku tak mengenal Tuhan, pasti aku sudah tersungkur dan tak dapat merangkak lagi.

Sudah tiga tahun aku meninggalkan dunia kampus. Lulus dan bergelut dengan rutinitas baru yang selalu kucoba untuk menikmatinya. Lalu sekarang aku kembali lagi, bukan kembali pada kampus, tapi kembali pada cinta. Cinta yang pernah menyambarku saat kuliah dulu. Kini Santika kembali menyambarku. Tapi tidak sendiri. Dia menyambarku bersama dengan Raflan, sahabat terbaikku. Baru sekitar dua bulan tidak kudengar kabar mereka, kini nama mereka mendatangiku dalam lembar undangan pernikahan.

Apa ini yang dinamakan takdir? Apa memang Raflan dan Santika memang diciptakan untuk bersama? Apa semua ini sudah tertulis di lauh-mahfudz? Aku benar-benar tidak menyangka. Kenapa harus Raflan? Aku seperti terhianati oleh keyakinanku selama ini, keyakinan bahwa Raflan adalah manusia terbaik yang pernah kutemui. Seharusnya dia tahu, hatiku akan sesakit ini saat melihat kenyataan.

Langkahku gontai. “Hufft .… . Aku harus tegar.” Aku berjalan sebaik mungkin. Memasang wajah seceria-cerianya. Berusaha untuk memberi senyuman terbaik untuk sahabat terbaikku. Aku ambil jalan berbeda dari tamu-tamu lainnya. Aku lewat belakang. Aku sengaja tidak ikut saat akad nikah dijalankan. Tidak terbayang, betapa sakitnya hati ini jika harus menyaksikannya.

“Hei, ada tamu tidak diundang rupanya.” Sebuah suara familiar memaksaku untuk menoleh. Raflan. Dupp. Entahlah, jantungku seperti dipalu saja rasanya. “Kenapa lewat belakang?” Aku tidak pedulikan pertanyaannya. Aku memeluknya erat-arat seolah ingin mengatakan “Jaga Santika baik-baik”. Aku tidak kuat membendung air mata.

“Kamu menangis?”

“Aku terharu, sahabatku sudah menikah rupanya,” jawabku asalan. Raflan mengernyikan dahi.

“Kamu tidak bahagia dengan pernikahanku?”

“Kenapa kamu asal menebak begitu?” Aku berusaha menyeka air mata.

“Mas, lama banget ke kamar mandinya?” Sebuah suara lembut mebuatku dan Raflan menoleh bersamaan. Seorang wanita dengan busana pengantin Islami terlihat gugup. Aku tertegun.

“Siapa dia?”

“Isteriku.”

“Kamu becanda? Bukankah isterimu Santika?”

“Hahaha. Bukan Santika, tapi Zantika,” tegas Raflan. Aku jadi bingung dibuatnya. “Oh, oh. Jadi ini yang membuat si kutu buku terlihat tidak suka dengan pernikahanku? Astaga …. Yang di undangan itu salah ketik. Ya, salah percetakannya. Seharusnya Zantika, ditulis Santika. Tapi karena sudak terlanjur cetak banyak, mau apa kagi? Kamu salah sangka rupanya. Hahaha.” Raflan terpingkal. Aku tersenyum. Malu rasanya. Tapi senang juga.

“Siapa Santika, Mas?” tanya isteri Raflan, Zantika.

“Aku Santika.”

Aku kaget bukan kepalang. Suara yang sangat kukenal. Kubalikkan badan. Darahku berdesir seketika. Dari mana datangnya Santika, tiba-tiba sudah berada di belakangku?

“Aku tadi membuntutimu saat kamu ke belakang,” ucap Santika. Aku hanya bengong.

“Rama, kamu sudah terlukis di hatiku, maukah kamu mengambil lukisan itu?” Santika kembali bersuara. Kali ini darahku tidak lagi berdesir, tapi berombak dalam pembuluh darah. Jantungku mau meloncat rasanya. Hatiku, entah apa rasanya, terlalu sulit untuk digambarkan. Raflan mendekatkan bibirnya di telingaku, ia berbisik lirih,“Sekarang cinta datang pada saat yang tepat, tunggu apa lagi?” Aku tersenyum gugup. Tidak menyangka akan ada kejutan hebat seperti ini.

“Iiiiiiii, iya, insyaalah aku akan ambil lukisan itu.”

“Kapan?”

“Eee.. Insyaallah, nanti malam.

“Koper Hitam”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Tanah tempatku berpijak dijuluki “Bumi Petani”.  Di sini aku lahir, menghirup udara dan melanjutkan wasiat orang tua. Wasiat yang tidak ditulis, tidak pula diucapkan. Sudah mengakar. Mati jika tak sudi menggenggamnya.

Bapakku sudah sirna. Lebur di lambung bumi. Mungkin saja ia sudah terbawa air, dan ditenggak akar kamboja. Sudah lama, sejak usiaku dua puluh tahun. Sejak itu wasiat harus digenggam. Walau tangan harus berkapal-kapal, robek, perih, tapi tidak akan kulepas. Aku tak tahu apa-apa tentang dunia, bapak hanya mengajariku cara menggenggam cangkul, golok, dan arit. Itulah wasiat darinya. Cita rasa seni yang kumiliki hanya seni bercocok tanam. Mungkin hanya aku yang menganggap bertani adalah seni. Aku punya alasan yang kuat. Karena di tanah lahirku ini, jika tak kuanggap bertani adalah seni, maka tak akan bisa kurasakan indahnya bekerja. Terpanggang matahari tentu bukan hal yang sepele. Keringat yang harus terkuras sepanjang hari, otot yang tak sempat mengendur lagi, juga luka yang teramat sulit dihindari, nyaris tak bisa dielakkan. Tapi saat kutuai hasinya, tak ada harganya. Aku bisa apa? Aku tidak tahu tentang dunia. Jadi, kuangap saja bertani itu seni, seniman tak terlalu mempedulikan uang, tapi lebih terpukau nilai-nilai estetika perjuangannya.

Di Bumi Petani hujan adalah sumber kehidupan. Gemah ripah loh jinawi, itu yang kami impikan saat langit menangis. Singkong yang tak sungkan-sungkan tumbuh gemulai, padi yang serempak menghijau, dan pohon karet yang tak pelit akan getah, membuat harap berjejalan di dada. Tergambar masa yang indah, saat anak-anak kami tak lagi menangis karena lapar, mereka tumbuh dengan sehatnya, matanya berbinar cerah. Masa kering, masanya tirakat. Terik panjang merenggut segalanya. Membuat anak-anak kurus_ceking,  dan banyak berdiam diri di rumah. Matanya sayu menatap heran, kenapa bapak tidak lagi ke ladang?

Di Bumi Petani, setiap lima tahun sekali kami mengadakan ritual. Kami menyebutnya “Pesta Bumi”. Ini karena bumi akan menyongsong babak barunya. Ia akan memiliki sosok baru yang berkuasa di atasnya. Sosok idealis yang menjadi menara harapan umat. Yang terpancang tegak, dan menjadi tempat berpegang saat beliung kehidupan datang menjajah. Di Pesta Bumi itulah kita dapat melihat orang-orang aneh bermunculan. Berduyun-duyun menenteng koper hitam.

“Dalam koper ini berisi ini, ini, dan ini.” Nyanyian rutin yang sudah mengurat-akar. Mereka menawarkan isi koper, dan bermaksud agar kami mau menukarnya dengan suara.

Sayangnya kami harus melongo berulang-ulang. Mengelus dada setiap harinya. Kami hanya dibuali. Ditipu secara rutin. Mereka seperti penjual yang tak berpekerti. Memberi janji-janji agar pundi-pundi suara kami dapat mereka kantongi. Setelah itu, mereka menjarah segalanya. Dan yang paling tak bermoral, mereka menjarah harapan yang telah kami kumpulkan dengan susah payah.

Aku masih ingat dengan kelakuan si Udin, pengusa Bumi Petani yang dalam hitungan hari akan kadaluarsa itu. Ia dulu naik ke atas panggung, menyejajari dua pesaingnya, Kadir dan Johan. Ia letakkan koper hitam di atas meja, dan dengan sangat berwibawa berujar,”Aku punya rahasia besar. Dalam koper ini ada lumpur ajaib, jika disiramkan ke jalan akan membuatnya hitam seketika. Halus dan kokoh tiada tanding. Bisa dilewati truk raksasa dengan muatan seratus ton. Dan mampu bertahan hingga satu abad.” Kami takjub bukan main. Terbayang jelas di pelupuk mata, jalan Bumi Petani yang berlubang-lubang, berlumpur, yang sangat sulit dilewati saat hujan datang, akan berubah seketika oleh lumpur ajaib dalam koper hitam itu. Jalan akan menjadi hitam, halus, dan kokoh hingga seabad. Pastinya hasil bertani kami akan mudah dijual di negeri seberang, dengan harga yang meninggikan hidup kami. Dan harga barang-barang industri akan turun karena biaya transportasi yang lebih murah. Duuuh, indahnya … .

Apa yang ada dalam koper hitam Udin jauh lebih berharga dari milik Kadir dan Johan.  Kadir hanya menawarkan air sakti yang bisa menyembuhkan kusta, sebenarnya cukup menggiurkan. Sedangkan Johan menawarkan ramuan dari Cina yang bisa membuat anak-anak kami menjadi pintar, juga sangat menarik. Tapi, Udin seolah menawarkan hujan saat kami tercekam kemarau panjang. Kami bosan dengan jalanan yang ancur-ancuran. Kami ingin seperti yang lain, dapat berkendara tanpa mengalami retak tulang, seperti naik pesawat terbang, alus. Juga dapat mengusung hasil panen dengan mudah. Udin benar-benar tahu harapan petani. Aku bahkan menangis haru dengan apa yang dijanjikan Udin, aku terpesona habis-habisan.

Tapi … .

Tetanggaku bilang Udin itu pembohong. Hingga masa kekuasaannya akan habis, jalanan masih saja begini. Tubuh terseok-seok saat melewatinya, kadang terjungkal. Tak hanya retak tulang, tapi remuk tulangnya. Lumpur ajaib itu ternyata lumpur sungguhan. Ya, jalan kami benar-benar berlumpur. Kutatapi setiap hari, tapi tak kunjung juga menghitam. Malah harapan dan suara kami yang jadi hitam, hangus oleh mitosnya si Udin.

Dulu, sebelum si tukang tipu yang bernama Udin berhasil memperdayai kami, sebenarnya kami juga sudah kena tipu yang menyakitkan. Tertipu oleh Pak Muzar dan isi koper hitamnya. Pak Muzar yang terpandang itu bilang jika di dalam kopernya ada tongkat. Tongkat yang ia dapat saat kuliah di London. Ia bilang, dengan tongkat antiknya, getah karet yang kami kumpulkan dari kebun bisa disulap jadi berbagai komoditi layak jual. Bisa jadi ban, ember, sepatu, sandal, dan lain-lain. Dengan begitu, getah karet kami akan melonjak harganya. Kata Pak Muzar,”Harga karet akan naik seratus kali lipat.”

Takjub tak terkira yang kami rasakan. Kami bisa sejahtera berkat tongkat antik dalam koper itu. Bahkan aku menebak, Pak Odon yang kebun karetnya berhektare-hektare, bisa jadi orang paling kaya di dunia. Kami menukar suara kami dengan janji Pak Muzar, dan berharap kami bisa untung berlipat-lipat. Tapi, entah apa yang terjadi. Abra Kadabra, tongkat itu benar-benar sakti tak tertandingi. Harga karet turun drastis, dari Rp. 23.000 menjadi Rp. 5.000 per kilonya. Ya ampun, tongkat dari London benar-benar membawa aura sihir yang menakutkan, seperti kutukan.

“Sudahlah, setidaknya Pak Muzar bisa membuat pertunjukan sulap yang hebat. Itung-itung untuk hiburan,” kekeh Mbah Karsan, sesepuh kampung yang terkenal keikhlasannya.

Kata Adnan, teman baikku, sebenarnya pemimpin itu kerjanya gampang. Sumber devisa begitu banyak dan ada di depan mata, tinggal pintar-pintar membuat anggaran. Aku jadi teringat dengan Aminah, isteriku yang begitu lembut. Dia tidak pernah makan bangku sekolah, menjilatpun tidak. Tapi, beras sepuluh kilo dan uang Rp. 100.000 bisa cukup untuk satu bulan, tanpa ada kas bon sama sekali. Padahal kami memiliki tiga anak dalam fase kemaruk. Di sini poinnya. Artinya, isteriku itu jago dalam membuat anggaran, keadaan telah menempanya hingga menjadi seorang manager keuangan adiluwih. Juga kemampuannya mempengaruhi kami, agar hidup jangan berlebih-lebihan, syukur harus meroket. Timbulah pikiran nakalku. Bagaimana kalau isteriku aku calonkan jadi pemimpin Bumi Petani? Jelas ia pakar soal anggaran. Tapi mana bisa? Pendidikan formal adalah syarat mutlak jika ingin jadi penguasa Bumi Petani, minimal sarjana. Lagi pula, biayanya terlampau mahal. Bisa habis trilyunan untuk kampanye dan urusan administratif lainnya. Ongkos dari mana?

Ngomong-ngomong soal minimnya anggaran dalam keluargaku, itu karena “Pesta Bumi”. Aku yang digigit trauma atas janji-janji para penguasa, akhirnya mengambil langkah ekstrim. Hasil panen kujual semua guna membayar orang pintar untuk mengajari anak sulungku hal yang luar biasa. Kuminta para orang pintar itu untuk mengajari anakku ilmu mempertajam mata. Agar anakku bisa melihat benda-benda yang tersembunyi, di balik tembok sekalipun. Tujuannya jelas, yaitu agar anakku bisa melihat isi koper hitam yang ditenteng para calon penguasa. Biar kutahu pasti, mana yang kopernya benar-benar berisi.

***

Penduduk Bumi Petani tampak kuyu saat beranjak dari rumah masing-masing. Dengan malasnya mereka berbondong–bondong ke TPS (Tempat Penjualan Suara). Mata mereka memancarkan sorot traumatik yang mendalam, sama persis dengan mataku. Kami takut rugi lagi dalam transaksi ini. Suara hanya terbuang sia-sia, janji tak kunjung juga menunjukkan buahnya. Tapi, jiwa petani adalah jiwa yang penuh dengan harapan. Bahkan, harapanlah yang membuat kami bertahan hidup. Walau dikhianati beribu kali, kami akan tetap berharap. Berharap pada koper hitam musiman yang ditenteng orang-orang aneh. Berharap kali ini koper hitam itu benar-benar berisi keajaiban.

Kali ini ada tujuh makhluk yang meneteng koper hitam. Jumlah yang fantastis. Pakaian mereka hampir serupa. Celana hitam, kemeja merah, dasi kuning, dan jas pink. Hanya alas kaki yang berbeda. Dengan berwibawa naik ke atas panggung. Menatap tajam. Seolah ingin meyakinkan kami, bahwa mereka adalah wakil Tuhan. Koper hitam diletakkan di atas meja masing-masing. Hitam pekat. Seolah habis menyerap dosa-dosa seluruh penduduk bumi. Aku coba menebak-nebak, sepertinya kali ini akan ada yang menawarkan kacang ajaib, sekali telan kenyang selamanya.

Anak sulungku sudah bersiap siaga, konsentrasi penuh. Nafasnya teratur. Matanya tajam mengancam koper-koper hitam di atas meja. Kuamati baik-baik tingkah anak itu. Sekejap tubuhnya menggigil. Matanya terbelalak. Lalu terduduk pucat pasi. Semua berlangsung begitu cepat. Aku panik dibuatnya.

Anak sulungku mengalihkan pandangan. Ia menatapku ketakutan. Kucoba membuang rasa panik jauh-jauh. Kucengkeram kedua pundaknya kuat-kuat.

“Bagaimana, ada isinya tidak?”

“Koper-koper itu…” Suara anakku tercekat. Aku berdebar penasaran. “Kopernya… berisi tuyul semua, Yah. Hati-hati! Mereka akan mencuri uang kita.”

Dummmm. Kepalaku seperti ketiban palu. Pening, berat teramat sangat. Bocah-bocah botak berkain popok tiba-tiba berlarian mengelilingiku sambil mengibas-ibaskan uang. Dan, gelap … .

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Hidup”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Banyak orang yang bingung mengartikan hidup. Adikku, Nabilla, selalu meprotes saat aku katakan,”Hidup itu kebahagiaan.”

“Kalau hidup itu kebahagiaan, mana mungkin Tuhan menciptakan rasa pedih?” bantahnya.

Benar apa yang dikatakan Pak Nuha,”Hidup itu sesuai dengan keyakinan kita. Dan keyakinan kita berasal dari apa yang kita rasakan.” Aku yakin marah itu ada, karena aku pernah merasa marah. Aku percaya benci itu ada, karena aku pernah membenci. Lalu, apakah Tuhan itu ada, sedangkan aku tidak pernah merasakan keberadaan Tuhan di dunia ini? Dua tahun yang lalu, pamanku dan juga keluarganya meregang nyawa dengan sangat mengenaskan. Rumah mereka disatroni perampok dan mereka dibunuh tanpa ampun. Ke mana Tuhan? Kenapa Tuhan tidak menolong mereka? Bukankah paman adalah seorang imam masjid yang begitu taat kepada-Nya. Uji, anak sulung paman juga adalah seorang hafidz sejak usia 17 tahun. Tapi kenapa Tuhan membiarkan dia ikut dibantai?

Aku heran, kenapa di dunia ini seringkali terjadi pertumpahan darah yang mengatasnamakan agama. Semua mengklaim bahwa mereka bertarung untuk Tuhan. Dan semua mengharapkan surga setelah gugur dalam pertempuran itu. Sebenarnya apa mau Tuhan? Kalau Tuhan benar-benar ada, kenapa Dia tidak menciptakan perdamaian di dunia ini? Menciptakan kehidupan yang tentram dan aman dalam kerukunan umat. Hidup dalam kasih-sayang yang kekal. Bukankah itu lebih sesuai dengan  sifat Tuhan? Ya Rahim.

Dulu, saat masih kecil, aku begitu rajin pergi ke mushola. Bersama anak-anak tetangga aku belajar mengeja huruf hijaiyah. Aku begitu semangat mendengar kisah Nabi Isa bertarung dengan Dajjal. Lalu ketakutan saat membayangkan betapa tajamnya jembatan Siratal Mustakim. Juga terpana dengan perjalanan Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Aku benar-benar menikmati semua itu.

Kini, aku terasing. Dalam jeruji besi aku hanya tertunduk lesu. Membayangkan tentang kehidupan seperti apa lagi yang akan aku hadapi. Aku di sini karena sebuah kebenaran. Setidak-tidaknya, aku merasa tindakanku benar. Walau aku seorang pembunuh, tapi aku membunuh demi harga diri adikku. Kakak mana yang terima jika adiknya dicemari? Nabilla adalah anak yang baik, cerdas, dan juga rajin ibadahnya. Tapi, seseorang yang sangat kuhormati dengan biadab memperkosanya. Di mana Tuhan? Bukankah Nabilla seorang muslimah yang begitu menjaga auratnya? Jilbabnya lebar dan pakaiannya begitu tertutup, sama sekali tidak menampakkan lekuk tubuh. Bukankah Tuhan menyuruh muslimah menjulurkan jilbab agar mereka mudah dikenali dan tidak diganggu? Tetapi kenapa Nabilla malah diperlakukan dengan amoral? Di mana sebenarnya Tuhan?

“Makan dulu, Dik!” Pak Nafas menegurku. Pak Nafas adalah salah seorang pejabat Negara yang harus mendekam dalam bui karena fitnah. Sebuah makar dahsyat akhirnya berhasil memperosokkannya di kurungan para pecundang. Padahal dia adalah seorang ustadz, yang begitu santun dan derma terhadap sesama. Pak Nafas begitu peduli denganku, ia banyak bercerita tentang dirinya, dan juga kehidupan keluarganya yang begitu harmonis. Mungkin jika tidak ada dia aku sudah nekad bunuh diri. Apa saja akan aku gunakan sebagai media untuk mengakhiri hidup. Tapi Pak Nafas dengan kalem menohok kesadaranku,”Apa kamu yakin kamu tidak akan hidup lagi setelah mati? Bukankah kamu sudah merasakan sendiri bahwa kamu dulu tidak hidup, kemudian dihidupkan? Nah, kalau ternyata kamu nanti hidup lagi bagaimana? Dan ternyata kamu hidup di dunia yang lebih mengerikan dari pada bumi ini?”  Otot-otot tubuhku terasa nyeri rasanya. Aku tiba-tiba begitu takut dengan kehidupan.

Pak Nafas yang begitu telaten merawatku. Mungkin orang-orang yang lain mulai menganggapku tidak waras, tapi Pak Nafas begitu yakin bahwa aku hanya terpukul. Cepat atau lambat akan sembuh rasa sakitnya. Ia memperlakukanku seperti keluarganya sendiri, walau aku sama sekali tidak mau berbicara padanya, pada siapapun. Aku hanya merasa takut akan hidup ini. Aku ngeri sepanjang hari. Aku merasa bahwa aku hanyalah makanan empuk kehidupan, yang jika lengah akan terlahap dan terkunyah-kunyah.

***

Aku melihat adikku menangis. Gadis yang baru mengenyam bangku kuliah itu begitu ketakutan, badannya gemetar.

“Aku diperkosa, Kak,” lirihnya.

“Hah! Biadab! Siapa yang melakukannya?” Emosiku meluap menembus ubun-ubun. Nabilla hanya menangis sesenggukan.

“Katakan, Billa! Katakan siapa yang melakukannya!” Kugoncang-goncang pundak adikku satu-satunya itu. Aku benar-benar tidak terima atas perlakuan yang diterima adikku.

Aku melompat setelah mendengar ucapan Billa. Dengan gesit kusambar pisau di dapur. Dengan cepat aku melejit ke rumah Pak Ma’ruf.

“Dasar dosen bajingan!” makiku setelah kuterobos masuk ke dalam rumah dosen yang juga pernah mengajarku itu. Kudapati pria berjenggot itu sedang makan malam bersama isteri dan dua orang anaknya. Tanpa banyak bicara langsung kuhujamkan pisau dapur ke dadanya berkali-kali. Hingga pria yang tampak terkejut dengan kedatanganku itu sempoyongan bersimbah darah, dan akhirnya kelojotan di lantai diiringi jerit tangis isteri dan kedua anaknya yang masih kecil. Ruang makan sekejap menjadi sangat mencekam. Tatapan memelas memancar pada mata isteri dosen amoral itu. Jantungku berdetak tidak beraturan. Aku baru sadar apa yang aku lakukan, aku telah menghilangkan nyawa dosen yang dulu pernah menjadi dosen favoritku. Tapi apa salahku? Dia hanya seorang pemerkosa. Nafasku sesak. Aku berlari ke luar rumah dan terus berlari. Berlari hingga aku megap-megap tidak kuat lagi. Syarafku terasa terpreteli satu per satu. Hingga kurasa detik selanjutnya pria-pria berseragam menyeretku. “Tidakkkkk………..!” teriakku. Aku begitu ketakutan. Kurasakan dunia begitu mengerikan. Para tuyul berlarian menertawakanku. “Tidakkkkk…………..!”

“Tenang, Dik! Tenang! Bangunlah! Kamu mimpi buruk rupanya.” Aku menatap sekeliling. Tembok dengan warna berantakan dan pagar besi yang kulihat. Pak Nafas dengan wajah teduhnya menatapku dengan panik. Hingga kurasa wajah teduh itu perlahan buram. Dan akhirnya hilang seketika.

***

“Di mana Tuhan? Di mana? Kenapa Dia membiarkan adikku dijamah pria sialan itu? Kenapa paman dan keluarganya tidak ditolong saat para penjahat membunuhnya? Kenapa Tuhan membiarkanku dipenjara seperti ini? Kenapa, Pak? Kenapa?” Aku mengamuk saat Pak Nafas menemuiku. Pria berwajah lembut itu sudah keluar dari tahanan. Aku tidak tahu sudah berapa tahun aku terkurung dalam ruang penderitaan itu. Bergelut dengan tembok kotor yang terus-terusan tersenyum kecut kepadaku. Apalagi setelah Pak Nafas sudah tidak ada lagi, aku semakin ketakutan. Aku rindu wajah teduhnya yang sedikit bisa mengurangi rasa takutku.

Dua orang petugas memegang tanganku kuat-kuat. Mereka khawatir aku akan memporak-porandakan ruang besuk itu. Tapi Pak Nafas memberi isyarat agar aku dilepaskan. Aku terduduk di hadapan pria yang pernah satu jeruji denganku. Air mataku meleleh. Mungkin aku memang benar-benar sudah gila. Tapi aku sadar aku tidak gila. Aku hanya merasa takut, sangat takut.

Dari lobang jendela kulihat orang-orang yang sangat aku kenal. Mereka adalah ayah, bunda, dan adikku Nabilla. Nabilla terlihat sangat dewasa. Dia sangat cantik dan anggun. Deraian air mata terus-terusan membanjir di wajah mereka. Mereka menatapku. Ya, menatapku di balik derasnya air mata.

“Besok kamu bebas, Dik. Bersiap-siaplah! Kita jalani hidup yang lebih baik.” Aku tertegun. Aku akan bebas? Akhirnya aku akan keluar dari tempat mengerikan ini. Tapi, bukankah kehidupan sama saja? Di mana pun tempatnya hidup hanyalah gambaran apa yang pernah aku rasakan, menakutkan.

“Apa kamu masih percaya Tuhan, Dik?” Pak Nafas menatapku serius. Aku menggeleng.

“Sama, aku juga tidak percaya Tuhan.” Aku tertegun. Mana mungkin Pak Nafas tidak percaya Tuhan? Selama di penjara hari-harinya hanya untuk ibadah, dzikir hampir-hampir tak pernah berhenti dari mulutnya. Sekarang dia mengatakan bahwa dia juga tidak percaya Tuhan? Apa-apaan ini?

“Tapi percaya atau tidak percaya akan Tuhan, tetap saja Tuhan itu ada. Sehingga mau tidak mau aku akhirnya percaya pada Tuhan. Kamu tidak percaya Tuhan karena kamu tidak merasakan keberadaannya, kan? Bagimu bukti yang ada di semesta dan juga firman-Nya hanya bualan semata, dan Tuhan tidak pernah menunjukkan keberadaannya. Itu masuk akal. Tapi ingat, Tuhan bukan makhluk, Tuhan bukan ciptaan. Tuhan bukan amarah, yang walaupun tidak berbentuk tapi bisa kamu rasakan. Tuhan lebih dari segalanya. Gunakan hatimu untuk merasakannya. Luangkan waktu, cari tempat yang tenang untuk bertafakur, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad di gua Hira. Gunakan pengetahuanmu untuk membantu. Lalu rasakan betapa Tuhan itu ada.” Aku mengikuti arah pembicaraan Pak Nafas. Benarkah apa yang dikatakannya? Sebenarnya akalku membenarkan keberadaan Tuhan, tapi hatiku tidak.

“Bisa saja Tuhan memberikan tempat yang lebih baik untuk pamanmu dan keluarganya. Tuhan tahu yang terbaik untuk makhluknya. Toh, ada atau tidak adanya kejadian itu, pamanmu dan juga keluarganya juga akan mati, benar kan? Juga adikmu, jika ia bersabar atas musibah yang menimpanya, tentu Tuhan akan meninggikan derajatnya di atas orang-orang pada umumnya. Semakin taat seeorang pada Tuhannya, maka ujian keimanannya akan semakin berat. Adikmu beruntung mendapat ujian yang berat, itu artinya ia memiliki kesempatan untuk lebih dekat pada Tuhan jika dia mengerti maksud Tuhan.” Pak Nafas memberi pengertian padaku. Aku merunduk, merasakan kebimbangan yang teramat sangat. Perlahan kutatap wajah pria setengah abad itu.

“Lalu bagaimana denganku?” lirihku. Pak Nafas tersenyum.

“Jika akhirnya nanti kamu dapat merasakan keberadaan Tuhan, maka keimananmu tidak akan ada duanya.” Tatapan Pak Nafas begitu tajam. Ia menukik dalam jantungku. Dan aku menyadari sesuatu, aku rasa ada Tuhan di sisiku. Ya, Tuhan yang telah menggerakkan hati Pak Nafas untuk menguatkan hatiku. Tuhan yang telah membuat pria mantan narapidana itu masih saja peduli denganku.

***

Udara terasa begitu sejuk walau matahari bertengger dengan gagah di langit Timur. Daun beringin melayang meninggalkan ranting diterpa angin. Burung gereja mencicit berkejar-kejaran, tampak bangga dengan sayapnya. Langit, oh langit. Betapa aku sudah lupa cara mendakinya. Padahal dulu aku ada di sana, menggantungkan setiap impianku pada bintang-bintang yang bersinar terang. Berharap suatu saat akan kembali lagi untuk memetiknya.

Dua ekor cicak terlihat saling serang di cabang pohon yang besar. Mengingatkanku pada protesku akan peperangan. Tapi kini aku sadar, perang dan segala macam kerusuhan di dunia ini, itu karena manusia sendiri. Ya, manusia diberi kekuasaan untuk berbuat, hak untuk memilih. Baik atau jahat seseorang itu karena dia memilihnya. Karena banyak manusia yang memilih menjadi jahat, maka harus ada orang-orang yang memilih menjadi baik. Dan akhirnya dua kekuatan besar itu dipertemukan di medan laga, untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat. Yang baik bertarung untuk kebenaran, untuk Tuhan, dan yang jahat bertarung untuk nafsu, untuk syetan.

Kuhirup udara sekuat-kuatnya, dan kuhembuskan perlahan. Kurasakan betapa nikmatnya karunia ini. Hidup adalah keyakinan, sama seperti yang dikatan Pak Nuha dulu. Dan aku yakin aku akan hidup dengan lebih baik setelah ini. Karena aku pernah merasakan kebaikan hidup saat masih kecil dulu. Dengan membuang semua keyakinan buruk, dan menggantinya dengan keyakinan yang indah, maka aku akan menjadi sosok yang baru. Ayah, bunda, dan Pak Nafas adalah orang-orang yang telah membuktikannya, bahwa mereka mampu menjalani hidup sampai saat ini, sampai menginjak usia yang tidak muda lagi. Nabilla, dia sudah menikah sekarang. Dengan Fahri, temanku sendiri. Pria jenius dan baik perilakunya. Kulihat seorang gadis kecil menggenggam erat-erat tangan Nabilla. Sangat cantik, seperti Nabilla saat kecil. Benar kata Pak Nafas, Tuhan punya rencana di balik semua kejadian. Hanya tinggal bagaimana kita menyikapinya.

“Dik, ini anak Bapak.” Pak Nafas menunjukkan seorang wanita berkulit bersih, berjilbab dengan anggun, sangat indah. Dia tersenyum ramah dan menganggukkan kepala. Aku mencoba ikut tersenyum.

“Maukah kamu menikahinya?” tanya Pak Nafas mengejutkanku.

Aku tertegun. Gugup. Jantungku mau copot rasanya.

“Gurat Bidadari”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Aku hanya bisa termenung memandangi hamparan sawah yang menguning. Terhuyung-huyung dihempas angin sore yang beraroma matahari. Burung-burung hinggap dengan takut-takut di atas bulir-bulir padi yang menggoda. Mematuk si bernas dalam bayang-bayang orang-orangan sawah. Di depan sana langit lepas terpampang mempesona. Memaksa batin untuk takjub pada Sang Pencipta. Awan yang berarak menutup cahaya membuat lukisan indah di gerbang senja. Disambut debu yang menari-nari diiringi  gemercik air yang berirama bersama daun yang saling bersinggungan. Nyanyian alam yang melenakan insan dalam buai kesejukan. Meneteskan tinta dalam lembaran kisah cinta yang tak terperikan. Inilah hidup, dalam buai bayang bidadari yang mengangkasa.

“Hamid Sandrea, benar?” Tanya sosok wanita di depan pintu rumah.

“Iya, benar. Siapa, ya?” aku sedikit terkejut. Wanita itu tersenyum. Tercetak garis indah di sudut bibirnya.

“Hemmm, aku adalah aku. Aku hamparan tanpa ukiran. Aku bagai lembaran kosong yang menunggu cahaya jatuh. Untuk menerangiku, agar cinta dapat menemukan jalannya di lembaran kosongku.”

Aku takjub. Aku tahu siapa wanita di depanku. Bibirku pun melantun dengan pasti,”Dan cinta dapat memasuki titik di mana hatiku bersemayam. Lalu cinta melekat di sana. Menjadikan merah darah seelok warna pelangi.”

“Hahahaha…..” Kami tertawa bersama. Tidak kusangka, Hafsa hadir di hadapanku. Dia adalah melodi yang mengiringi kisah hijauku, saat kami bersama-sama merajut persahabatan yang lugu. Entah berapa tahun lamanya aku tidak melihatnya. Setelah ia pindah dan menghilang dari kehidupanku. Kini Hafsa sulit untuk dikenali. Hanya saat ia tertawa, yang mengingatkanku pada Hafsa berpuluh tahun yang lalu. Seorang gadis periang, yang kecantikannya sulit untuk digambarkan. Dan kini, keyakinanku tetap sama, kecantikan Hafsa memang sulit untuk diterjemahkan dengan kata-kata. Ada gurat bidadari di rona wajahnya. Walau bukan bidadari sungguhan, namun saat melihatnya aku dapat menerka-nerka seperti apa bentuk bidadari. Hafsa, dia adalah wajah purnama yang hampir setiap hari menemani masa beliaku. Yang dengan setia menjadi pembaca syair-syair hasil tarian jemariku. Bahkan, ia melekatkannya di ingatan. Hafsa, dia lukisan di rapat senja. Karya artistik keagungan tangan Tuhan.

Aku menatap Hafsa. Ada ngilu merayap di ulu hati. Ada keganjilan yang sekejap menderaku. Kehadiran Hafsa memunculkan benih sesal. Sesal karena seminggu lagi aku akan menikah dengan Nadia. Wanita berkerudung yang bersedia merajut cinta bersamaku setelah melalui proses ta’aruf. Hatiku goyah. Hafsa adalah nada-nada yang ingin kudengar sepanjang masa. Yang kucari-cari sampai ke sarang lebah. Kukira ia diculik kawanan tawon karena disangka madu.

“Astagfirlah..!” Komitmenku diuji. Hatiku berdesis-desis berlumuran bisa.

***

Dering Handphone mengusik lamunanku. Kuraih. “Hasfsa….?” Aku terperanjat. Dengan ragu kuangkat telepon.

“Assalamualakum!” sapaku.

“Walaikumsalam.” Terdengar sahutan lembut. “Di mana, Mid?”

“Eee, aku. Aku sedang tidak di rumah.”

“Terus, di mana?”

“Aku di sawah tempat kita dulu sering mencari keong.”

“Oh. Aku ke sana, ya…!”

“Eh, jangan, jangan! Aku ke rumahmu saja. Ibumu ada di rumah, kan?” Tidak terbayangkan jika harus berduaan dengan Hafsa di pematang sawah seperti ini. Aku sadar sekali, kami bukan anak kecil lagi. Tidak bisa sembarangan berduaan. Hanya akan menimbulkan dosa dan fitnah.

“Iya, ada. Ya sudah,  aku tunggu. Assalamualaikum!”

“Walaikumsalam…..” Telfon dimatikan. Ada kebimbangan yang kurasakan. Entah perasaan apa yang kumiliki untuk Hafsa. Sayang? Cinta? Rindu? Apa ini? Jika mengeluh bukanlah hal yang dibenci Tuhan, tentu aku akan mengeluhkan sketsa cerita ini. Tentang kehadiran Hafsa menjelang acara pernikahanku.

“Mid, Hafsa itu sering nangis jika rindu sama kamu. Katanya kamu itu seolah bagian dari dirinya. Saat jauh, ya, terasa sulit. Kangen katanya,” ucap ibu Hafsa sambil melirik ke arah anak semata wayangnya itu.

“Iiiiih, Ibu ini apaan, sih? Ngarang cerita,” protes Hafsa.

“Ngarang bagaimana? Lha wong kenyataannya seperti itu, kok,” ibu Hafsa kembali menimpali. Membuat wajah Hafsa yang bagai bidadari memerah indah. Aku hanya mengulas senyum tipis. Ada tanya yang bertambah mengusik kalbuku. “Apakah Hafsa juga memiliki perasaan sama sepertiku?” Ahh, semoga saja tidak.

Lusa adalah hari pernikahanku, tapi aku belum memberitahukannya pada Hafsa. Aku benar-benar tidak berani mengungkapkan itu. Hafsa telah melekat di hatiku sejak kecil dulu. Dan itu semua menggoreskan kesan yang sulit untuk digambarkan. Yang pasti aku ingin seperti saat kecil dulu, selalu bersama Hafsa.

***

Dengan ragu kuketik sms, “Sa, maaf jika baru memberi kabar. Besok insyaallah aku akan menikah. Maaf juga karena tidak memberimu undangan. Anggap saja sms ini sebagai undangan spesial untukmu. Mohon do’anya, ya!”. Kutarik nafas dalam-dalam. Hatiku seperti dihimpit gunung, sesak. Air mataku jatuh saat kutekan tombol kirim di handphone.

Lama menunggu. Akhirnya ada pesan masuk dari Hafsa.  Aku membacanya dengan penuh keraguan. “Aku terkejut. Dan aku juga senang mendengarnya. Selamat, ya! Semoga menjadi keluarga yang bahagia! Aamiiin!”.

Aku mengawang. Tak tahu harus senang atau pilu. Balasan pesan Hafsa mencipratkan dua rasa sekaligus. Gula dan garam.

***

Mentari pagi tersenyum begitu cerah. Angin lembut menyapa pori-pori tubuh ini. Dingin yang bercampur kehangatan melebur dalam tubuh yang penuh keraguan. Gerombolan burung terbang rendah menyapa dunia. Melewati kuning padi yang melambai pada sang surya. Gemercik air tetap menjadi nada-nada setia yang menghiasi kesunyian. Menemani para petani yang mulai menyabetkan aritnya. Memapas tangkai-tangkai padi dengan begitu lincahnya.

Aku berdiri mematung di pematang sawah. Memandang keindahan alam dan menikmati aroma khas persawahan. Mataku terus berkeliling, meniti setiap jengkal objek yang ada di sekelilingku. Berharap ada bekas-bekas masa laluku bersama Hafsa yang bisa kutemukan.

Aku melangkah. Pulang, dan mempersiapkan diri untuk menikah. Berusaha menguatkan hati, dan percaya bahwa inilah yang terbaik. Tidak perlu lagi mencari bayang Hafsa di pematang sawah, karena ada Nadia, yang bukan hanya sekedar bayangan. Ya, Nadia adalah calon istriku. Yang akan menjadi nada-nada baru di lorong hidupku.

***

Kini, Nadia telah resmi menjadi istriku. Orang baru dalam hidupku, yang harus kucintai dengan ketulusan. Aku memandangi Nadia yang sedang sibuk membongkar isi kado. Nadia begitu anggun dengan jilbab lebarnya. Ada sedikit rasa canggung, malu, dan segala macam perasaan aneh lainnya. Tiba-tiba aku teringat Hafsa. Dan aku pun segera menepisnya. Tapi gagal. Tadi Hafsa tidak hadir di pernikahanku. Ke mana dia? Sakit, kah? Atau….. “Ah, mungkin tadi dia datang, hanya saja aku tidak melihatnya,” bisikku dalam hati.

“Mas, ini ada surat dari dalam kado,” ucap Nadia yang membuyarkan lamunanku. “Kita baca sama-sama, yuk!” serunya. Aku melihat bungkus kado di atas pangkuan Nadia. Aku ambil, dan….. “Hafsa?”

“Ee, eeeee…. Kurasa surat itu untukku. Biar aku saja yang baca, ya!” tuturku. Kulihat ekspresi datar dari Nadia. Ia menyerahkan surat yang ditemukannya sambil mengulas senyum yang dipaksa. Aku jadi serba salah.

“Nadia, nanti akan kuceritakan padamu isi surat ini. Percayalah, Nadia! Aku suamimu.” Aku mencoba tersenyum lebar. Berharap Nadia dapat mengerti.

“Baca, lah, Mas! Nanti aku juga ada cerita untukmu.” Wanita cantik itu tersenyum sambil menyodorkan surat ke arahku. Aku langsung mengambilnya dan mencari posisi agak menjauh.

 

Hamid Sandrea

Sahabat Kecilku

Dari masa lalu kubawa rembulan pemberianmu. Cahaya teduh yang selama ini menyinari hatiku. Kalbu memang sering kali berubah, tapi tidak untuk kalbu yang bertabur cinta yang kuat. Dalam aroma sawah yang tak akan kulupakan, seorang anak belia terus berlari-lari dalam benakku. Hingga ia dewasa, hingga kusadari aku mencintainya.

Mid, aku menangis seharian saat kau kirim sms itu. Kau tahu, aku seakan kehilangan sebagian dari hidupku. Apa yang dikatakan Ibuku adalah apa adanya. Aku memang selalu merindukanmu.

Aku ingin dalam setiap hariku, kau selalu tuliskan puisi untukku. Aku berharap kita masih bisa terus memandangi hamparan sawah yang indah. Berlari-lari di pematang sawah, sambil lafazkan puisi-puisi indah darimu. Aku ingin sebelum tidurku, kau ucapkan kalimat lugumu yang dulu, “Aku akan menjadi pelangi dalam gulitamu”.

Biarlah harap terus jalani perannya. Dan biarlah takdir tentukan arahnya. Dan biarlah aku terus lafazkan puisi-puisi tentangmu. Kini aku sadar, bahwa kau tetap bagian hidupku. Ya, bagian dari perjalanan masa laluku. Kini aku akan berjalan sendiri, menyusuri pematang sawah, dan syairkan kata-kata indah. Aku akan sendiri, dalam buaian kisah masa lalu.

Selamat, ya, Mid!

Hafsa

 

Kurasa ada butir hangat yang merayapi pipiku. Jalan cerita ini sulit untuk dipahami. Apalagi untuk diterima. Sang bidadari terus melayang dalam pikiran. Ia bergelanyut dalam hati. Tetes air matanya membuat nyeri di kalbu.

“Mas, aku tahu apa yang kamu rasakan.” Suara Nadia berhasil menyentakku. Aku terkejut. Apa maksud Nadia?

“Kemarin ada wanita sangat cantik menemuiku. Namanya Hafsa. Ia bercerita banyak padaku.” Nadia menghela nafas. “Aku sempat cemburu saat ia banyak memujimu. Aku merasa kerdil, karena belum banyak yang kutahu tentangmu. Sebelum pergi ia memelukku. Dan dia menangis.”

“Nadia, ini….”

“Husssstttt!” Nadia memotong. “Hafsa berpesan agar aku selalu setia mencintaimu,” lanjutnya.

“Maksudmu?” Aku heran. Nadia mengusap pipiku yang dibasahi air mata. Ia tersenyum dengan lembut.

“Mas, walau aku tidak seperti bidadari layaknya Hafsa, dan aku tidak selembut Ibumu, tapi aku berjanji, aku akan berusaha untuk menjadi wanita yang terbaik untukmu, suamiku.” Tatapan Nadia begitu teduh. Secepat listrik ia menyengat kebekuan darahku. Mengusir gundah dan keraguan yang memenuhi rongga hati.

“Oh, Nadia…. Kau lah bidadariku.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Tuhan Menanti dengan Cinta-Nya”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Aku terjebak di gang sempit. Rasa takut mulai menderaku. Kurasa sebentar lagi sang malaikat maut akan datang untuk mencabut nyawaku. Tubuhku mulai terasa dingin. Sendi-sendi terasa  mau lepas. Dengkul bergetar tidak berdaya. Aku berusaha untuk tenang, dan mencoba mengumpulkan keberanian. Sejenak kutepis bayang-bayang malaikat maut yang terasa begitu dekat. Kutarik nafas dalam-dalam dan kupacu kencang-kencang kaki ini untuk ke luar dari gang. Dan semua seperti mimpi. Aku bagai menggadaikan nyawa. Kurasakan peluru-peluru mendesing di sekitar tubuhku. Aku seolah menanti untuk merasakan saat-saat ketika peluru-peluru itu menembus tubuhku. Namun entah, tak kunjung juga ada peluru yang menghujamku. Malah kurasa suara tembakan semakin berkurang. Tidak kusia-siakan kesempatan itu untuk terus berlari sekuat tenaga.

Aku takjub, saat kulihat di hadapanku batu-batu terbang mengangkasa dari arah yang berlawanan. Ratusan manusia tanpa rasa takut terus melemparkan batu-batu. Kudengar suara takbir bergemuruh. Tiada henti. Menggema di angkasa bersama batu-batu yang terus beterbangan. Tanpa sadar lidahku pun ikut bertakbir,”Allahuakbar!” Kutengok ke arah belakang. Astaga! Pasukan Yahudi semakin bertambah banyak. Tiga tank baja merambat semakin dekat. Batu-batu yang menghujaninya terlihat seperti kapas yang berhamburan. Dan peluru-peluru kembali bermuntahan ke arahku. Aku berlari, dan terus berlari di bawah desingan peluru-peluru yang meredupkan suara takbir. Sempat kulihat tubuh-tubuh pelempar batu itu tumbang satu persatu. Kusaksikan darah membanjiri jalanan.

Kurasakan tubuhku oleng dan menabrak tong sampah di pinggir jalan. Aku tersungkur dan tegeletak tak berdaya. Tubuhku mengigil. Dada kurasa begitu sesak hampir tak dapat bernafas. Pandangan mata menjadi kabur. Masih kulihat samar-samar saat anak-anak kecil lari berhamburan menyerbu pasukan Yahudi. Batu-batu masih saja beterbangan bersama deru peluru yang terdengar begitu menakutkan.

Aku semakin lemah. Pandanganku semakin kabur. Sayu kudengar aluran suara musik. Semakin lama alunan itu semakin kuat.Dan sepertinya aku pernah mendengar nada-nada itu. Dalam ketidakberdayaan aku mencoba terus mengingat. Dan, suara itu memang tidak asing. Aku tahu, itu syair nasyid “Selamat Malam Cinta” miliknya Amole Voice. Setengah sadar aku mencari sumber suara. Ternyata dari handphoneku. Kulihat ada panggilan masuk dari murobbiku. “Astagfirlah! Aku hanya mimpi,” seruku tak percaya. Kuraih handphone dan langsung kupencet tombol terima.

“Assalamualaikum!” Terdengar suara yang sudah tidak asing bagiku. Suara kak Andi, murobbiku.

“Walaikumsalam,” jawabku yang belum sepenuhnya sadar.

Ahki, udah qiyamul lail belum?” tanya kak Andi.

“Belum, Kak. Ini baru bangun tidur.”

“Ya udah, buruan wudhu, terus qiyamul lail!”

“Iya, Kak. Terimakasih udah diingetin!”

“Siiiip. Ya sudah, assalamualaikum!” tutupnya.

“Walaikumsalam..” Aku melihat jam di handphoneku, tepat pukul 02.00. Aku beruntung memiliki murobbi yang begitu peduli. Yang sudi membangunkan anak-anak binaannya hanya untuk mengingatkan agar sholat Tahajjud. Subhanallah! Inilah ukhuwah.

Aku teringat kembali dengan mimpiku barusan. Seperti nyata. Aku kagum dengan keberanian para mujahid Palestina yang tak gentar menghadapi kekuatan Yahudi. Mereka seolah tidak takut dengan kematian. Tidak sepertiku, yang begitu ketakutan saat kurasa peluru-peluru melayang di atas kepalaku. Aku yang sering mengeluh. Seperti halnya siang tadi, saat berulang-ulang kali aku menggerutu karena harus berjalan berkilo-kilo saat penggalangan dana untuk Palestina bersama KNRP. Aku merasa sangat kerdil. Imanku begitu tipis.

Aku bangkit dan menuju kamar mandi. Kubasuh diriku dengan air wudhu. Masih sempat terbayang ceceran darah rakyat Palestina di ingatanku. Masih terngiang-ngiang gema takbir yang mengangkasa. “Allahuakbar, Allahuakbar!” Aku berjalan menuju tempat sujud. Akan kujadikan ini sebagai qiyamul lail terindah dalam hidupku. Akan aku doakan saudara-saudaraku di Palestina. Semoga mereka syahid dalam ridho Allah.

Batu, debu, darah, peluru, semangat, dan keberanian itu akan menjadi saksi bahwa perjuangan layak untuk dibeli dengan nyawa. Karena Tuhan, sedang menanti dengan cinta-Nya.