Aleppo – Suriah

aleppo fadlina
Laksana tumpeng dihidang di tengah kerumunan yang lapar sampai kenyang
Mereka beringas seperti binatang buas
Semua bom dijatuhkan tanpa was-was
Suriah,nasibmu yang naas
Berkumandang perang mengganas
Perempuan renta,anak-anak dan balita dilibas
Mereka membunuh tak pernah puas
Seperti “jaran kepang” yang lepas landas
Memakan rakus gudang beras
Mereka membagi ruang ber ras-ras
Karena disana ada tambang minyak dan gas
Anyir darah dan hangus tentang pegas
Dunia tersenyum atas kematian kuntum
Tangisan bayi ringan di kulum
Suriah yang kelam
Dukamu teramat dalam
Tidak ada pilihan kecuali pasrah
Karena mereka bukan lawan tandingmu
Bersandarlah pada Allah Tuhanmu
Karena Tuhanmu menunggu do’a-do’amu
Bermunajadlah Suriah diakhir malam
Agar Tuhanmu menghadirkan kembali nasib baikmu
Amiin Ya Raabb…
Goresan Pena : Fadlina Athfin (AB5)
#FLPCAREALEPPO
#SAVESURIAH
#Aleppo
 Yuk berikan sebagian rejeki kita untuk krisis kemanusiaan di Aleppo-Suriah melalui FLP Metro! Bisa datang Minggu 8 Mei 2016 di seputaran Masjid Taqwa dan Taman Kota atau hub. 085768 0948 50 /  0896 5080 4664
 Sila Share..

ALEPPO BERDUKA, SYEIKH AL QORDHOWI IMBAU UMAT ISLAM BANTU RAKYAT SURIAH

flp aleppo

Melalui pesan suara yang diunggah di akun Twitter resmi miliknya @alqaradawy, Sabtu (30/04), Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menyeru kepada kaum muslimin di seluruh dunia agar segera memberi pertolongan kepada rakyat Suriah menghadapi bombardir dari Rezim Bashar Assad dan sekutunya.

“Sangat tidak masuk akal, apabila kita membiarkan saudara kita dalam keadaaan lemah di Suriah yang tenggelam dalam situasi yang menyedihkan,” ungkap Ketua Persatuan Ulama Muslim Dunia (IUMS) tersebut.

Aleppo terus dihujani roket Rezim dan sekutunya dari udara. Ratusan korban jiwa dari kalangan sipil berjatuhan. Berbagai macam aksi solidaritas Aleppo baik di dunia nyata maupun maya terus mengalir dari masyarakat dunia, mengecam dan mendesak Rezim untuk menghentikan serangannya.

Berkenaan tentang itu, Syaikh Al-Qardhawi menekankan pentingnya kaum muslimin menyelamatkan saudaranya sesama muslim. Ia menegaskan haramnya bersikap acuh tak acuh terhadap orang yang membutuhkan pertolongan saudaranya.

Bersama FLP, kita pernah menggalang serempak bantuan untuk Palestina dan Rohingya. Kali ini, atas nama kemanusiaan dan persaudaraan, mari berbuat untuk Suriah.

 

In syaa Allah FLP  Metro menggalang dana di seputar taman kota Metro bagi yang berminat silakan hadir hari Minggu sore 8 Mei 2016.

Salurkan infak terbaik Anda kepada rakyat Suriah lewat
FLP Peduli Ummat. Dana bisa ditransfer ke no rek.
Bank Syariah Mandiri 703.310.1858
a.n. FORUM LINGKAR PENA.
Konfirmasi melalui SMS ke 08128747415

PENGUMUMAN HASIL PENJURIAN LOMBA MENULIS DONGENG ANAK MILAD 10TH FLP METRO & LOMBA MENULIS DIARY

miladnya flp 10

Salam PENA!
Assalamu’alaikum buat sobat semua yang ikutan lomba 10th Milad FLP Metro, berikut kami umumkan pemenang lomba menulis dongeng dan menulis diary FLP!
Sila dishare smile emotikon

Juara 3: Kucing & Tikus oleh Ahmad Mustaqim
Harapan 1: Kami Kepompong yang Cantik oleh Rini Rosita
Harapan 2: Senyum untuk Ratu oleh Ainun Markhamah

Catatan penjurian Lomba Menulis Dongeng:
1. Mohon maaf untuk juara 1 dan 2 tidak ada karena naskah belum mencukupi untuk menduduki posisi tersebut.
2. Naskah masih jauh dari syarat dongeng untuk anak
3.Pemenang juara 3 sudah bagus dalam menceritakan alur dan pesan tapi belum kelogisan cerita. Anjing dan Kucing dalam dunia nyata sulit bersahabat, dikuatirkan anak-anak akan menjadi bingung
4. Untuk EYD masih banyak yang kesulitan.

PEMENANG LOMBA MENULIS DIARY FLP:
1. Juara harapan 1: Riski Ardhilawati
2. Juara harapan 2: Reni Susilowati
3. Juara harapan 3: Darma Pranata

Pada kesempatan ini, kami mengundang beberapa juri:

S. Gegge Mapangewa yang merupakan penulis yang mendapatkan 10 penghargaan kepenulisan tingkat nasional

Naqiyyah Syam yang juga penulis beberapa buku dan juga pernah muat ide kreatifnya dalam bentuk film animasi di salah satu TV swasta

Suwanda penulis muda yang tulisannya dimuat di koran lokal sebagai juri lomba menulis dongeng.

Terakhir, kami segenap keluarga besar Forum Lingkar Pena Metro mengucapkan terima kasih untuk para peserta dan juga banyak mengucapkan terima kasih teruntuk para dewan juri. Semoga semakin semangat berkarya! Dan semoga selalu beroleh kebaikan, aamiin!

SALAM PENA!

SEMARAK 10TH MILAD FLP METRO-LAMPUNG

img1461042529698

Supported by
DPU DT METRO
HITS UP CHARITY
JEJAMO.COM

MINGGU, 17 April 2016 merupakan hari istimewa FLP Metro, karena genap sudah FLP berdiri selama 10TH sebagai gerak literasi Indonesia yang memiliki jargon BERBAKTI, BERKARYA, DAN BERARTI.

Meskipun sebuah organisasi dakwah yang memiliki spesialisasi di bidang kepenulisan, FLP Metro juga tetap memberi kan warna tersendiri dalam dunia literasi.

Pada puncak acara Semarak 10th Milad FLP Metro, FLP menggaet beberapa orang baik anak sekolah, Lembaga Amal, dan komunitas sosial untuk memberikan sebagian rejeki kepada anak yatim di sebuah panti, di desa Jati Agung, sebuah desa yang dihiasi pemandangan asri perkebunan karet saat mengunjunginya.

Sebelum penyerahan bakti sosial, tentunya tidak afdhol jika tidak ada ceremonial agenda.

Agenda yang dimulai dengan pembukaan, sambutan oleh ketua FLP Metro dan juga Ketua Yayasan Panti Asuhan. Mendapatkan sambutan yang baik dan hangat. Beliau berkata bahwa FLP merupakan “orang” pertama dari wilayah Metro yang berkunjung di panti asuhan Thoriqul Jannah.

Setelah Open Ceremonial, beberapa rangkaian acara satu persatu disuguhkan. Dongeng oleh kak Rian Efendi, salah satu pengurus Flp mengawali rangkaian milad Flp. Anak-anak tampak antusias mwndengarkan “Cerita Si Soleh” dengan boneka tangan lucunya.

Setelah itu, pembagian door prize bagi yang memiliki beberapa hafalan qur’an dan yang hafal nama beberapa nabi-nabi.

Jelang siang, melaksanakan solat dzuhur di mushola yang masih satu yayasan panti Thoriqul Jannah. Setelah itu acara kembali di gelar, lomba mewarnai dan juga lomba menulis.

Selain itu pemotongan tumpeng sebagai bentuk rasa syukur FLP Metro yang telah 10 tahun mencoba memberi napas baru dalam literasi Indonesia khususnya di Metro.

Penampilan nasyid oleh NEO ARAI membawakan beberapa lagu yang mengiringi mereka makan bersama.

Sebagai bagian dari karya sastra dan pesan dalam sastra, musikalisasi puisi juga turut memeriahkan acara 10th Milad FLP Metro yang di bawakan oleh anggota baru angkatan 5 dan pengurus.

Penutup, penyerahan hadiah lomba mewarnai dan menulis juga penyerahan donasi berupa pakaian, boneka, dan sejumlah uang.

Dalam kesempatan itu, FLP Metro menggaet penulis sekelas S. Gegge Mapangewa yang merupakan penulis yang mendapatkan 10 penghargaan kepenulisan tingkat nasional, Naqiyyah Syam yang juga penulis beberapa buku dan juga pernah muat ide kreatifnya dalam bentuk film animasi di salah satu TV swasta, dan Suwanda penulis muda yang tulisannya dimuat di koran lokal sebagai juri lomba menulis dongeng.

 

Misinah

Ukiran Tinta : Tinta Tumpah_Sedamai

7035df644a533e4f30bba7379302f075

Cukuplah memperjuangkan apa yang diyakini kebenarannya, sebagai petarung!
***
Siapa bilang, petarung hanya milik Buya Raden Intan dan Imba? Sosok pahlawan asal tanoh ladow yang bertarung melawan VOC, Belanda di tahun 1825-1860. Kita semua adalah petarung, bahkan jauh sebelum kita lahir dan menjejakkan diri di mayapada ini. Berjuta-juta sel bakal calon janin berebut untuk menjadi manusia, dan hanya satu sel terkuatlah yang memenangkan pencalonan tersebut. Jadi, pantaslah jika kita memang berpunya jiwa petarung. Terlebih untuk sebuah cita-cita mulia; menjadi seorang guru.
1979

Tersebutlah, di sebuah desa bernama Banjarrejo. Di kejauhan berkilo-kilo dari gunung anak krakatau. Sebuah gunung, yang memiliki legenda tak sembarang legenda. Pada mulanya Pulau Krakatau besar yang biasa disebut dengan nama Gunung Krakatau adalah sebuah Gunung Krakatau purba yang memiliki ketinggian sekitar 2000 mdpl dengan lingkaran pantainya sekitar 11 km dan radius sekitar 9 km2.

Namun ledakan dahsyat yang terjadi sekitar 416 M ini telah menghancurkan tiga perempat tubuh gunung tersebut dan menyisakan tiga pulau besar, yaitu Pulau Sertung, Pulau Rakata, dan Pulau Panjang, serta sebuah kaldera di tengah ketiga pulau tersebut. Sebelum tahun 1883 muncullah dua buah gugusan gunung yang bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuatan yang kemudian lama-kelamaan bersatu dengan Pulau Rakata dan biasa disebut dengan Gunung Krakatau saja.

Pada tahun 1880, yang disebut masa strombolian, aktivitas vulkanis berlangsung selama beberapa bulan, dan Gunung Perbuatan aktif mengeluarkan lava. Setelah periode itu, tidak ada aktivitas vulkanis hingga akhirnya muncul tanda akan adanya letusan pada bulan Mei 1883.

Lalu pada tanggal 27 Agustus 1883 Gunung Krakatau meletus. Menurut catatan sejarah yang hingga kini selalu dipromosikan jajaran pariwisata Lampung, Gunung Krakatau meletus sangat dahsyat, menggemparkan dunia. Semburan lahar dan abunya mencapai ketinggian 80 km. Sementara abunya mengelilingi bumi selama beberapa tahun. Dilihat dari Amerika Utara dan Eropa, saat itu cahaya matahari tampak berwarna biru dan bulan tampak jingga (oranye).

Letusan gunung ini menghasilkan debu hebat yang mampu menembus jarak hingga 90 km. Letusan itu pun berdampak terjadinya gelombang laut sampai 40 m vertikal dan telah memakan korban sekitar 36.000 jiwa pada 165 desa baik di Lampung Selatan ataupun pada barat Jawa Barat. Dan karena letusannya itu telah melenyapkan Gunung Danan dan Perbuatan dari muka bumi dan menyisakan tiga pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Sertung, dan Pulau Rakata besar, serta sebuah kaldera yang terletak di tengah ketiga pulau tersebut yang berdiameter 7 km.

Empat puluh tahun kemudian lahir keajaiban baru. Sekitar tahun 1927 para nelayan yang tengah melaut di Selat Sunda tiba-tiba terkejut. Kepulan asap hitam di permukaan laut menyembul seketika di antara tiga pulau yang ada, yaitu di kaldera bekas letusan sebelumnya yang dahsyat itu. Kemudian pada tanggal 29 desember 1929 sebuah dinding kawah muncul ke permukaan laut yang juga sebagai sumber erupsi. Hanya dua tahun setelah misteri kepulan asap di laut itu, kemudian muncullah benda aneh. “Wajah” asli benda aneh itu makin hari makin jelas dan ternyata itulah yang belakangan disebut Gunung Anak Krakatau.

Tapi misteri Gunung Anak Krakatau tidak sampai di situ. Gunung ini memiliki keunikan tersendiri, sebab gunung ini selalu menambahkan ketinggiannya sekitar satu senti tiap harinya. Gunung Anak Krakatau yang semula hanya beberapa meter saja, sekarang sudah dapat mencapai 230 mdpl dan sejak munculnya pada tahun 1927. Gunung ini tercatat telah meletus sekitar 16 kali sejak Desember 1927 sampai Agustus 1930 dan 43 kali sejak 1931-1960 dan 13 kali sejak 1961-tahun 2000.

Di sebuah desa bernapas Jawa, tinggalah keluarga sederhana. Keluarga itu terdiri dari suami, istri, dan ketiga anak yang kesemuanya adalah perempuan. Pada masa itu, seperti banyak ditemukan di pelosok-pelosok. Perempuan hanyalah seonggok manusia yang selalu terikat dengan urusan 3R. Sumur, dapur, dan kasur. Tahun itu memang masih terselimuti tudung penjajah yang menggilas wanita, seperti sesuatu yang tak begitu berharga.

Salah satu dari ketiga putri keluarga sederhana itu, dan mungkin hanya dialah yang paling nyeleneh diantara penduduk sana. Dialah, yang bercita-cita untuk sekolah dan melanjutkan sampai ke perguruan tinggi. Ia ingin sekali menjadi guru. Misinah namanya. Nama yang sederhana, sesederhana kehidupan keluargaanya. Ia seorang anak dari keluarga Jawa yang turut bertransmigrasi ke tanoh ladow. Bapaknya hanya seorang petani buta huruf, yang selalu terpanggang sinaran teja. Sedang, ibunya, hanyalah seorang ibu rumah tangga yang setia menemani si suami pergi mengani-ani padi di sawah. Namun, ibunya selalu berpesan padanya,”Nak, meski orangtuamu buta huruf, cita-cita tak boleh hanya sekedar hidup dan bisa makan! Kucing pun tahu hal itu! Masalahnya, kamu itu manusia!”

“Tapi, aku anake wong ora nduwe, buk’e. Aku hanya seorang wanita.” ucap Mis suatu hari.

“Kalau wanita, memangnya kenapa?”

“Menikah saja sepertinya sudah cukup. Ndak perlu tinggi-tinggi. Ujung-ujungnya nanti ngurusi dapur.”

Lewat remang malam yang dikerlipi gemintang. Cahaya langit saat itu sangat benderang, dengan dewi malam yang sempurna bercahaya. Tiada tertandingi cahayanya, dengan suatu apapun. Rumah-rumah penduduk saat itu hanya dicerahi lampu ublik yang asapnya hitam mengepul, menyesapi sawang-sawang di langit-langit bambu.
Ibunya tersenyum. Senyum ibunya, bak senyum rembulan yang purnama. Nyala cahaya pada senyuman ibunya lebih menerangi hatinya.

“Nak, bercita-citalah setinggi langit! Walau kita miskin, kau harus punya cita-cita. Karena dialah satu-satunya harta berharga kita. Bukannya, dulu kamu pernah bilang tho, mau jadi guru. Katamu, guru itu seperti malaikat Jibril yang mendatangi Rosul dan mengajari Rosul berbagai hal dengan IlmuNya. Kamu pengen tho jadi malaikat, meski tak bersayap?”

“Inggih Buk’e. Mis, pengen banget jadi guru. Beratusan tahun kita dijajah Londo. Kita sangat tertinggal dengan negara-negara luar. Mis, pengen ngajari orang-orang supaya bisa baca tulis. Biar mereka setidaknya tidak mudah dibodohi. Mis juga, pengen … ibu sama bapak, bisa … membaca.” ucap Mis berat.

“Tapi ….” Mis jadi putus asa. Ia teringat senyum kecut para tetangga yang sering mencibirnya ketika berangkat atau pulang dari sekolah.
Mis hanya bisa mendesah. Semoga desahannya didengarkan bayu. Disampaikan kepada orang-orang yang sering menganggapnya, percuma seorang wanita bercita-cita tinggi.
1982

“Mau ke mana, Mis?” ucap Kiyah saat berpapasan di jalan. Jalanan saat itu masih berupa tanah dan batu. Jika hujan tiba, maka tanah kemerahan akan menjadi lembek dan lengket dinjak. Menempel di alas sepatu atau sandal. Transportasi saat itu masihlah jarang, motor di daerahnya hanya beberapa saja, apalagi berupa mobil. Ada kereta sapi, karena yang menarik kereta tersebut adalah sapi. Atau lebih tepatnya gerobak sapi. Karena hanya sebuah papan-papan yang di desain untuk mengangkut barang. Sepeda bisa dihitung dengan buku-buku jari. Hari masih redup, suasana masih pekat dan gelap meski sudah pukul 06.15 Wib. Ia bertemu kawan SD-nya yang sedang membantu mendorong gerobak bapaknya menuju ke sawah.

“Mau kemana, Mis? Sudah rapi benar sepagi ini.”

“Alhamdulillaah, aku masuk kuliah. Hari ini mau ke kampus.”

“Kampus? Tempat apa itu, Mis?”

“Tempat kuliah. Aku mau jadi guru, Yah!” Mis sumringah.

“Haduh Mis, Mis, buat apa kamu sekolah terus? Bapakmu itu cuma wong cilik. Mending kamu bantu ibumu ke pasar, jualin hasil tani bapakmu.”

“Saya ini juga sedang membantu orang tua, Yah.”

“Bantu apa maksud kamu?”

“Sekolah.”

Kiyah tersenyum kecut.

“Jangan sampai, sampeyan jadi perawan tua, Mis. Lihat teman-teman kita sudah menikah. Akupun sudah dilamar Wardi. Sedang sampeyan, entahlah ….” Kiyah menggelengkan kepala.

Lalu Mis mencoba tersenyum, dan bersegera menapakkan kakinya mendahului mereka. Setiap hari Mis dan beberapa yang lain berjalan kaki menuju tempat perkuliahannya. Dalam perjalanan menuju tempat perkuliahan, kebanyakan orang-orang yang berjalan bersama Mis, adalah kaum laki-laki. Hanya tiga orang perempuan saja yang terlihat. Di sana, ada anak tani yang kaya raya. Ia sudah memiliki motor. Motor buatan 1980an, berjenis Honda. Di masa itu, motor seperti itu sudah amatlah mentereng.

“Bareng saya, Mis?”

“Ndak usah.” ucap Mis lembut dengan sebuah simpul senyum. Lelaki itu pun kemudian menaiki motornya dengan perlahan mengikut di belakang rombongan, dengan kepulan asap motor.

Malamnya, Mis pergi ke surau saat bedug maghrib mulai dipukul. Ia dan beberapa orang pergi ke surau dengan mengikat daun kelapa kering, lalu memberinya api. Terkadang jika malam tiba, mereka juga sering mendengar ada cerita-cerita tempat angker. Seperti sebuah lahan yang akan mereka lewati. Di sana ada sebuah pohon sirsak. Desas-desusnya, ada lelaki gila dan tak berbaju sempurna, tiba-tiba muncul di pohon itu, dan mengejar pejalan kaki yang melintas. Saat mendekati lahan itu, mereka berbisik-bisik, menyebut asma Allah agar tenang. Tapi, mereka masih merasa ngeri. Lalu mereka tanpa dikomando, berlarian secepat kilat menuju surau sesegera mungkin. Dengan napas tersengal, mereka mencoba berlarian sekuat tenaga, belum lagi obor dari daun kelapa habis sebelum tiba ke surau. Mereka sebenarnya membawa dua. Namun, yang satu untuk mereka pulang. Biasanya mereka hanya menghidupkan beberapa saja, yang lain hanya menumpang. Namun, karena mereka ketakutan, mereka semua menghabiskan obor mereka. Sehingga tak ada persediaan obor untuk ke surau.

“Tamatlah kita ini, malam-malam begini ….” ucap Jum, teman satu kampung dari Sleman, Yogyakarta yang turut pindah ke Lampung.

“Ssst, diamlah. Coba tenanglah. Meski kita merasakan kegelapan, tapi remang-remang cahaya rembulan mulai nampak menyinari. Dunia tak segelap yang kita bayangkan, selalu, masih ada cahaya yang menyinari. Marilah kita melangkah! “ ucap Mis kemudian.

Kemudian, merekapun ikut melangkah seraya mengucap basmallah.

“Aku melihat gemintang di langit sana!”

“Subhanallah, indahnya. Bintang itu ibarat sebuah impian kita. Membuat hati menjadi cerah dan bersemangat. Aku melihat diriku di langit sana, tersenyum, telah diwisuda menjadi seorang guru.” ucap Mis.

“Benar, Mis. Aku juga melihat diriku, tengah mengembangkan senyuman, menjadi seorang insinyur muda. Dari keluarga pengampas kelapa.” ucap Jum. Merekapun tersenyum melihat bintang impian mereka masing-masing.

Teruntuk inspirator tulisanku, ibuku sendiri.
Lampung, 09/09/2013

SANDIWARA JALANAN

Coretan tinta : RANTI SUCI LESTARI
Sabtu, 20 September 2014. Matahari benar-benar berjaya membakar bumi. Ditambah asap kendaraan yang saling beradu memaksa bibit-bibit penyakit menyerang melalui rongga hidung. Di pertigaan, tepatnya di depan sebuah ATM (Anjungan Tunai Mandiri) dua orang pemuda nampak bosan sambil sesekali melirik ke dalam mesin ATM. Tak sedikit orang yang lewat menjatuhkan pandangan kapada kedua pemuda itu dengan tatapan curiga. Mereka pun menyadari kecurigaan orang-orang itu dan langsung menjauh beberapa meter dari lokasi ATM.
Seorang pemuda yang menggenggam sebuah smartphone keluar dari ATM lalu menoleh kiri kanan seperti mencari sesuatu. Setelah matanya menemukan buruannya dia langsung menuju ke tempat dua orang yang tadi mondar-mandir di depan ATM.
Ucup : Teguh! Kapan janji kamu buat traktir mi ayam itu jadi? Kita-kita ini wes ngeleh tenan iki lho…
Pardi : Iyo Guh…, aku wes ra betah nunggu di pinggir jalan kayak gini. Isin… sampek dikira mau maling.
Teguh : Sabarrrrrr, aku lagi nunggu kiriman honor kerjaku bulan ini. Kalo nggak, kita pake duit masing-masing dulu, nanti…. kalo uangnya udah tak pegang pasti tak ganti. Piye?
Ucup dan Pardi: huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu………………….,
Ucup : Itu si sama aja beli sendiri!. kalo belum ada duitnya bilang dari tadi. Jadi kita gak perlu ngetem gak jelas depan ATM sambil kelaperan kayak gini tauk…
Pardi : Orang kamu yang janji mau traktir kenapa malah suruh pake duit sendiri. Nyesel aku!
Teguh : Yo maap, orang bosku katanya mau kirim hari ini.
Ucup : Harusnya kamu pastiin dulu sebelum obral janji. Jadikan kita gak berharap lebih. Yoweslah, aku pulang! Mending makan di rumah. Gratis….
Teguh : Lho….? kox pulang?
Pardi : Aku juga’lah, Guh. Assalamu’alaikum…
Teguh : Walaikumsalam, heh! terus makan mi ayamnya gimana? Nanti tak ganti lho duitnya.
Pardi : Makan sendiri aja sana!, lagi KB, kantong bocor.
Teguh : Heh, Ucup! Pardi! Jangan kabur dulu! Lah piye to?
***
Tinnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn…………………………….
Sebuah truk kecil mengerem mendadak ketika tiba-tiba seorang pemuda berhenti di tengah-tengah jalan saat menyebrang. Dada supir truk itu bergemuruh dengan dentuman-dentuman besar yang hampir meledak. Dibukanya kaca mobil dan….
Supir truk : Woi!!!! Cari mati ya?! DASAR!!!!!.
Dengan dada yang masih berdebar karena kaget, supir truk itu menatap tajam sang pemuda lalu bersiap keluar dari mobil. Namun tiba-tiba pemuda itu memegangi kepalanya lalu terhuyung-huyung dan jatuh pingsan.
“woi ada tabrakan. Ada tabrakan. Woi…woi..woi…Ada yang pingsan.” Riuh segerombolan warga yang melihat hampir terdengar berbarengan.
Supir truk yang tadinya berniat turun dari mobil menjadi panik. Dia tak tahu apa yang terjadi pada pemuda itu. tapi instingnya membuat badannya reflek tancap gas. Warga berlari mendekat dan ketika melihat truk yang kabur tiba-tiba, langsung saja mereka mengejarnya dan bahkan ada yang melempar batu ke badan truk.
Pemuda yang bernama Teguh itu lalu dibawa warga kepuskes terdekat. Ada juga yang melaporkan kejadian itu ke polisi dan ketua RT setempat. Tak lama kemudian berita Teguh keponakan Pak Yanto kena tabrak lari itupun geger. Berbagai macam isu dan gosip lalu menjadi bumbu berita.
***
Malam semakin larut dan angin semakin bertahta merajai alam. Para manusia semakin lena dengan dekapan selimut dan kelambu yang memagari jasad mereka. Namun ada sebuah rumah yang masih bertarung dengan angin. Suara-suara yang terdengar seperti cercaan bergerak ramai. Untung saja rumah itu berjarak cukup jauh dengan rumah-rumah tetangga mereka sehingga tak begitu mengganggu. Pak Yanto mencoba mengintrogasi keponakannya setelah menerima laporan kesehatan Teguh dari puskes. Ada keanehan yang terjadi dan Pak Yanto mencoba mencari kebenaran dari keponakannya.
Yanto : Kamu bilang apa, Guh? Pura-pura? Jadi kamu pura-pura kena tabrak? Ya Allah Guh … kelakuanmu itu udah ngerepotin wong akeh ngerti?
Teguh : Iyo, Pakde.
Yanto : Kenapa kamu itu gak mikir? Pake otak kamu!!! jangan bisanya cuman bilang Iyo, iyo, iyo pakde… tapi iyomu itu palsu.
Teguh : Terus Teguh harus gimana Pakde? Waktu itu aku ketakukan Pakde.
Yanto : Sekarang semua warga tahunya kamu ketabrak. Polisi juga lagi nyari-nyari supir truk itu. mau ditaruh dimana muka Pakde kalo semua orang tahu kalo itu cuman sandiwara kamu guh…. ya Allah Gusti…
Pak Yanto mulai mengatur nafas. Diambilnya segelas air putih yang tergeletak di meja lalu duduk. Teguh hanya bisa tertunduk menyesali perbuatannya.
Yanto : Jangan kamu bongkar ke orang lain yo Guh… kamu harus janji sama Pakde. Pakde gak mau nanggung malu gara-gara sandiwaramu itu. janji sama pakde!
Teguh : I…iya pakde. Aku gak akan bocorin rahasia ini pakde. Tapi…., laporan di puskes bilang aku gak kena luka apapun, jadi pasti nanti akan ketahuan Pakde. mending Teguh ngaku sebelum semakin besar.
Yanto : Nurut le… nurut…, pakde cuman pengen kamu nurut kata-kata pakde. Kalo gak boleh yo jangan kamu langgar. Kalo disuruh begini yo manut. Pakde gak mau tauk! Pokok’e kamu jangan sampe ngaku. Ngerti Goh?
Teguh : I… iyya Pakde..
***
Ketika di kampus, seminggu setelah peristiwa tabrakan itu terjadi, Teguh dan Pardi nongkrong di samping parkir sambil ngobrol-ngobrol. Tiba-tiba Ucup datang dengan menenteng kresek putih ukuran sedang.
Ucup : Hei sob…, kalian mau keripik nggak? Ni… aku bawa banyak.
Pardi : Wihhhhhh, kamu abis ngerampok warung siapa, Cup? Banyak bener?
Teguh : Jangan-jangan kamu abis dapet kiriman ya? Wah… siap-siap kenyang kita Par…
Pardi : Yo’i Guh…., eh? tapi mana temen-temennya yang lain? Gorengan, roti, sama minumannya kox gak kamu bawa sekalian?
Ucup : Beli sendiri sana! Orang aku cuman beli kripik doank. Kamu mau bikin kantongku bocor…..?!
Teguh : Yah….., gak jadi kenyang kita Par. Mules mah iya gara-gara kebanyakan makan kripik pedes.
Pardi dan Teguh : Hahahahahahahhahahahahah
Ucup : Tauk gak Par, yang jual kripik ini winda? Kasian dia, bapaknya baru dipecat jadi supir truk. Katanya si, gara-gara nabrak orang gitu, dan sekarang bapaknya jadi buronan polisi.
DEG…., dada Teguh tiba-tiba berdebar. Mendengar kata-kata ucup tentang kecelakaan membuatnya gelisah. Dia takut jika sandiwaranya akan terungkap.
Teguh : Terus kamu tanya-tanya tentang tabrakan itu ke winda?
Ucup : Gak tega aku Guh, aku cuman bilang ikut prihatin aja. Aku takut nantinya dia malah makin sedih gara-gara aku terlalu kepo.
Teguh : Oh,,,,,,
Pardi : Kamu kepo banget, Guh? Jangan-jangan yang nabrak kamu itu bapaknya winda lagi?
Ucup : Gak mungkin…., Bapak winda itu kan merantau di kalimantan. Masak nyupirnya disana nabraknya disini?
Pardi : Bisa aja kan itu? iya gak Guh?
Teguh : Ya… semoga bukan!
Ucup : Huuu….., ngasal aja kamu di..di…
Teguh penasaran dengan peristiwa tabrakan yang dialami ayah winda. Diapun mencari info tentang peristiwa itu diam-diam. Akhirnya diapun yakin bahwa supir truk waktu itu adalah ayah Winda, gadis yang ditaksir Ucup sejak SMA. Teguhpun sebenarnya kenal dengan Winda meski tak akrab, mungkin hanya sekedar tahu nama dan wajahnya. Rasa menyesal tiba-tiba menyeruak masuk dan membuat Teguh galau. Satu sisi dia menyesal dan malu namun di sisi lain dia merasa takut. Apalagi pakdenya mengacam untuk tidak mengakui dosanya.

***
Esok harinya, Teguh berjalan menyusuri jalan setapak di pinggiran Desa Latarwangi. Kakinya sesekali menendang batu kerikil dan membuang pandangannya secara asal. Hatinya berlayar jauh dari jasadnya menapak. Rasa bersalah dan menyesal terus menggangu hati dan fikirannya. Mungkin dia harus minta maaf pada supir truk itu yang juga adalah ayah temannya sendiri. Dia juga merasa begitu bersalah pada Ucup, sohibnya yang begitu iba pada gadis punjaannya yang telah dia buat menderita. Tidak terbersit sedikitpun niat untuk menyusahkan supir truk itu, dia hanya ingin cari aman. Tapi, malah membuat orang lain menderita. Dia tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada dirinya. Entah kenapa Teguh begitu merindukan ayahnya yang berpulang karena kecelakaan lalu lintas. Kesedihan tiba-tiba merajainya.
Teguh lalu mengetik sms buat Ucup dan Pardi, “Sob, nanti siang ketemu di warung Mang Sugeng yo…, tak traktir.” Setelah mengetik kirim, Teguh mengatur nafasnya bersiap mengadili dirinya sendiri. Jika nanti Ucup marah dia sudah siap, resiko yang memang harus dia tanggung meski apapun itu, yang penting hati dan jiwanya terbebas dari rasa bersalah yang terus menyiksa. Pakdenya pasti akan marah besar padanya, tapi biarlah. Inilah waktunya membuat pengakuan.
Ucup : Ada acara apa ni? Kiriman honor kamu udah cair yo? Wah…, boleh nambah dong. hehehehe
Pardi : Guh, kamu nggak kayak biasanya, kenapa mi ayam kamu cuman diaduk-aduk kayak gitu?
Teguh : Par…, Cup…, aku mau ngaku. Aku mau ngaku sama kalian kalau… kalau…
Ucup : Ngaku apaan Guh.., cepetan ngomong! Jangan bikin penasaran!
Pardi : Kalo kamu ada masalah cepetan ngomong, siapa tauk kita bisa bantu.
Teguh : Tentang tabrakan ayahnya winda, aku korban tabrakan itu. Tapi sebenernya bukan salah Ayah Winda. Waktu kalian pergi dari ATM, aku terus maen hp sambil nyebrang. Gak sadar malah udah di tengah jalan dan hampir ketabrak. Supir Truk itu marah-marah, karna takut aku pura-pura pingsan.
Ucup : Kayak cewek banget si kamu, Guh! aku gak nyangka. Gara-gara kamu sekarang Winda dan keluarganya harus menderita. Winda harus banting tulang cari duit dan ayahnya dicari-cari polisi karena ketololan kamu, Guh!
Teguh : Waktu itu aku panik cup…, aku juga gak berniat membuat supir truk itu dipecat dan menjadi buronan polisi. Maaf Cup…, besok aku akan minta maaf pada Winda dan ayahnya.
Ucup : Halahhhhh…., emang kamu bisa mengganti semua kerugian keluarga winda, hah?
Pardi : Tenang Cup, malu diliatin orang…
Teguh : Aku gak tahu Cup…, sekarang yang bisa kulakuin cuman minta maaf.
Ucup : Aku gak mau tahu Guh…, kamu harus minta maaf sama bapak winda dan keluarganya. Satu lagi, kamu juga harus ngomong kesemua orang tentang sandiwara bodohmu itu.
Pardi : Cup! Gak usah pake teriak kayak gitu kenapa? Kita bisa bicarain ini dengan tenang.
Ucup : Halah….., kamu jangan belain si penipu ini Par.
BRAKKKK, Ucup menggebrak meja lalu pergi. Orang-orang yang memperhatikan mereka saling berbisik-bisik. Teguh dan pardi hanya bisa meminta maaf dan meminta mereka untuk tidak khawatir.
Teguh : Pardi, besok kamu temenin aku ya minta maaf kekeluarga winda.
Pardi : Pasti Guh, aku akan mendukung niat baik kamu.
***
Pardi dan Teguh sampai di rumah Winda. Rumah dengan bata merah itu tak begitu besar tapi pekarangannya bersih dan rapi. Jantung Teguh semakin berdebar dan ribuan prasangka menggantung di benaknya. Kekhawatiran jika nanti akan dihukum berat atau dipukuli terbayang-bayang. Namun dia sudah sampai di sini, sudah tak bisa mundur lagi. Pardi menepuk pundak sahabatnya dan memberi semangat. Teguh mulai mengatur nafas dan meyakinkan dirinya untuk tak lari. Dia harus minta maaf. Harus.
Pardi : Assalamu’alaikum…., Winda! Assalamu’alaikum…
Ayah Winda (Supir Truk): Walaikumsalam….,
CENGEK……., suara pintu terbuka. Dada teguh semakin bergemuruh.
Ayah Winda: Lho? Kamukan yang hampir kena tabrak itu kan?
Teguh : E’’’’’e’e’’ee’’’’’’ee’e’… i…i..iya Pak. saya yang berhenti di tengah jalan waktu itu. saya mau… saya mau…., haduh… gimana ngomongnya ya?… saya.. mau….
Pardi : Ngomong Goh…, cepet!!!
Teguh : Udah diem kamu…,
Ayah Winda: Heh… malah udur-uduran to? Ngapain kalian kesini? Minta ganti rugi? Atau mau jeblosin saya ke penjara?
Teguh : Nggak Pak… nggak…, saya mau minta maaf sama Bapak. waktu itu saya panik, jadi biar gak disalahin saya pura-pura pingsan. Saya minta maaf Pak. gara-gara saya Bapak dan keluarga bapak malah jadi korban.
Teguh lalu berlutut dan memegangi kaki supir truk itu dengan gemetar.
Ayah Winda: Eh… Le, jangan kayak gini!
Teguh : Saya bener-bener minta maaf Pak. Saya sudah berdosa. Saya pantas dihukum. Hukum saya pak…. yang penting Bapak mau maafin saya. Saya akan bilang ke warga dan kepolisian yang sebenarnya. Saya benar-benar menyesal….
Ayah Winda: Wes Le,,, tangi! Bapak maafin kamu Le…, usaha kamu buat jujur dan minta maaf sama bapak sudah membuat hati bapak luluh.
Teguh : Bener pak?
Ayah Winda: Iyya le,, bapak maafin kamu. tapi…, jangan kamu ulangi lagi kelakuan kamu yang waktu itu, janji?
Teguh : Saya janji pak…..! terimakasih banyak pak.. terimaksih banyak…. saya benar-benar menyesal dan malu pada Bapak. Trimakasih Pak….
Ayah Winda: Iyo Le…., semoga ini menjadi pelajaran buat kamu karo temen-temenmu.
Teguh : Iya Pak….
Dada Teguh dibanjiri kelegaan yang luar biasa. Supir truk itu telah memaafkan kesalahannya dan tidak mau menuntut. Kini hubungan teguh dan Supir truk itu semakin baik. Namun, Ucup masih kesal padanya dan belum mau bertemu dan Pakdenya benar-benar marah besar padanya. Perjuangan Teguh untuk memperbaiki kesalahannya masih panjang. Dia harus merebut kepercayaan dan penerimaan maaf dari Ucup, pakdenya dan warga di kampungnya yang telah mengetahui sandiwara Teguh tentang tabrakan itu. sebuah sandiwara yang mungkin hanya berdurasi beberapa menit telah membuatnya harus mengahapus setiap inci noda sisa penampilannya itu dari para penonton yang tak berjangka waktu. Semoga Teguh tetap meneguhkan dirinya untuk bersabar.

“Kisah Aneh Yang Gak Sengaja”

 

“Ngawur! Baca panduannya!” sms dari sang pengepul cerpen yang niatnya mau dibuat antologi. Ternyata cerpenku tidak sesuai dengan yang diminta. Dongkol dikit, sih… Abis, ortu aku aja jarang bilang ngawur sama anak gadisnya yang cantik ini. Hiks…. Bisa dimaklumi banget, kok, gak usah pake gak enak gitu, ya, Akh… Hehehe…. Salah aku juga, sih, yang gak teliti banget baca ketentuan tulisan yang harus dikirim. Sampai-sampai salah bikin wujudnya. Disuruh kisah nyata malah ngarang bebas coba? Pinter banget, kan, aku? Uwwekkk….! Belum jadi penulis beneran aja udah nyusahin editor, apalagi kalo nanti udah terkenal. Ogah! Amit-amit…..!

Ketentuan cerpennya dishare lewat facebook yang harinya sudah tak kuingat. Tulisan di panduannya rapet banget, gak menarik buat dilihat, apalagi dibaca. Sok komen gitu, ya, aku…. Hehehe. Padahal sebenarnya gaya bahasanya bagus buanget gitu…. Hiks. Langsung sadar kalau punya sendiri, ANCUR!.

“Minggu jadi, ya! Syukron!” Sebuah sms masuk. Oh my god!!! Cuman dua hari waktu yang dikasih, dari jum’at malem sampe hari minggu. Gara-gara tulisan yang salah bentuk harus pake turbo kualitas tinggi, nih. Tenang, Ranti! Jangan panik! Ini hanya secuil tanjakan hidup yang pasti seru. Semangat! “Kalo mepet biasanya lancar, kok!” Kukirim sms balesan untuk Akh Mukhlis, si pengepul cerpen. Sebenernya untuk motivasi diri sendiri biar gak tambah stres. Modus biar editornya seneng. Gubrakk!!

Ldk Al-Ishlah rencananya mau bikin antologi cerpen yang temanya “Bertahan dalam Perbedaan”. Penulisnya adalah para kader LDk yang memiliki kemampuan menulis. Penggagasnya adalah Akh Mukhlis yang merangkap jadi pengepul and sekaligus editornya. Iya gak, ya? Kayaknya, sih, gitu. Waduh! Kok, gak yakin, sih? Hadeh…. Mending baca lagi, deh, ketentuannya yang tak copy dari grup facebook LDK. “Assalamu’alaikum…! Apa kabar Generasi Penyemai Cinta?Apakah kalian masih memiliki cinta?” Kalimat pertama pembuka panduan kepenulisan, yang butuh jawaban, “Oh yes, of course I have.” Langsung kujawab setulus hati. Hehehe. Kubaca secara acak setiap bentuk huruf yang rapet-rapet itu. Lho, gak ada tulisan true storynya, tuh? Apa aku kurang teliti atau salah tanggep, ya? Tauk, ah. Pokoknya, kan, yang punya hajat minta cerita yang nyata. Titik!

Gak gampang menulis kisah nyata yang penuh kesan apalagi pengalaman pribadi. Banyak pertimbangan yang wajib hadir dalam sidang pemilihan cerita mana yang nantinya mau diangkat. Apalagi sang waktu larinya gak tanggung-tanggung. Pake lari sprint and gak pake istirahat lagi. Oh, Tuhan, inikah ujian-Mu? Sabar! Di saat-saat seperti ini jurus kepepet dan kecepit harus dimaksimalkan. Dimulai dari mana, ya? Awal masuk LDK atau ini, atau itu, atau yang waktu itu aja? Eh, kayaknya nggak, deh. Gimana kalau cerita yang sama dia? Eh, jangan, jangan! Waduh, pening gila mikirinnya. Setiap kandidat cerita gak ada yang mau cungit buat jadi korban. “Akh Mukhlis, kenapa antum membuat aturan yang membuat hati dan pikiranku beradu pedang untuk menentukan pilihan?” gerutuku dalam hati. Kenapa aku jadi lebay gini, ya? Jangan-jangan aku mulai sters, lagi? Sebentar, satu tambah satu masih dua, kan? Oke, aku masih waras. “Hah….!” aku mendesah. Sepertinya aku memang harus menyerahkan keputusan ini pada jemariku untuk menyanyikan apapun kata-kata yang berharap mau datang sendiri. Kusandarkan kepala dan badan ini ke sandaran kursi, berharap dapat ide. Pikiranku tiba-tiba nyangkut ke sebuah peristiwa waktu aku telat masuk saat mengikuti tes tertulis masuk STAIN Metro.

***

“Aku terlambat!” pekikku. Aku berlari masuk area kampus. Mataku sibuk mencari gedung ruang tes ujian tertulis. Agak sepi, pasti semuanya sudah masuk ruangan dan bahkan mungkin sudah mulai ujian. Aku nyengir di gerbang. Pagi ini hujan membuka hari. Baru lima belas menit lalu hujan reda dan menyisakan genangan air di sana sini. Aku jinjit-jintit menghindari genangan biar sepatunya tidak kotor. Aku bingung, setiap gedung tak ada yang memiliki plang nama di depannya, kecuali gedung rektorat yang tertera plang begitu besar dan jelas terpampang. Kudekati salah satu orang yang sedang sibuk membaca koran di depan gedung rektorat. Cuma pengen nanya, gak pake kenalan. Tenang aja! “Maaf, Mas, gedung tes ujian tertulis di mana, ya?” Aku mencoba bertanya sesopan mungkin, meski panik. Tapi gak carmuk, lho….

“Oh, di sana Mbak, yang samping masjid warna pink.” Dia menunjuk sebuah gedung depan parkir motor. “Terimakasih, Mas!” Aku langsung berjalan cepat menuju gedung itu. Ada daftar nama dan nomor urut pendaftaran yang tertempel di kaca. Langsung kuteliti setiap deret nama yang tertera, tapi namaku tidak ada. Aku takut semakin telat dan waktu untuk mengerjakan soal ujian menjadi berkurang. Apalagi kalau yang minta diitung. Itu super gawat.

“Assalamu’alaikum, Dik! Kenapa? Lagi cari kelasnya, ya?” Seorang wanita dengan jeket hitam dan jilbab besar tiba-tiba menyapaku. Nampaknya dia membaca tingkah lakuku yang seperti orang bingung. Bukan “seperti”, tapi asli bingung plus panik. “Walaikumsalam. Iya, Mbak. Aku terlambat! Belum tahu kelasnya di mana,” jawabku penuh harap bahwa wanita itu mau membantu.

“Nomornya berapa, Dik?” tanya mbak itu. Suaranya alus banget. Seperti belum sarapan. Hehehe.

“Dua ratus dua puluh lima. Ini kertasnya.” Kusodorkan kartu tanda peserta milikku.

“Ya sudah, ayo kita cari!” serunya. Melayang rasanya, ada malaikat yang baik hati banget mau nemenin mencari ruanganku. “Tapi kalau bisa jangan ikut bingung ya mbk,” candaku dalam hati. Haru… Aku mengikutinya berjalan dari kelas ke kelas, membaca setiap daftar nama peserta ujian yang ditempel di kaca masing-masing ruangan. Namun, belum juga kutemukan namaku di sana. Aku mulai gelisah. Perasaan takut tak terdaftar dan tak bisa masuk ke STAIN muncul.

“Mbak, gimana ini? Namaku gak ada!” Mataku mulai berkaca-kaca. Tapi aku tetap berusaha untuk tegar. Meski hati ini paniknya bukan main.

“Jangan nyerah, Dik! Ayo, kita cari lagi!” Kata-katanya cukup membuatku tenang. Ada perasaan damai dan merasuk secercah semangat baru. “Terimakasih, Tuhan! Kau mempertemukanku dengan wanita ini. Aku benar-benar beruntung dan terharu, ada orang yang sama sekali belum kukenal tapi begitu menggebu mambantuku. Aku saja belum tentu bisa seperti Mbak itu.” Aku berucap syukur dalam hati.

Kami bolak-balik ke gedung M dan N, dari lantai satu ke lantai dua, membaca daftar nama peserta ujian.

“Semoga tadi ada yang terlewat! Kalau beneran gak ada gimana, dong?. Hiks!” pikirku yang tidak-tidak. “Tuhan, kuharapkan pertolongan-Mu!” Dengan langkah yang mulai lemah aku kembali ke lantai dua, berjalan menuju ruangan di pojok sebelah kanan. Aku sudah ketiga kalinya ke sini. Harapan yang tipis membuat aku ingin menyerah saja rasanya. Dengan semangat yang meredup, kueja lagi setiap deret nama yang tertera. Tiba-tiba telunjukku berhenti ke deretan huruf yang kucari-cari. “Ini Mbak, ada!” teriakku kegirangan. Energi yang luar biasa tiba-tiba menjalar ke tubuhku. Gak pake permisi.

“Ya Allah, Dik. Tadi, kan, Adik sudah ke sini.” Wanita bagai malaikat itu nampaknya juga ikut lega, tapi pastinya juga dongkol karena keteledoranku memeriksa nama-nama. Aku merasa bersalah karena saking paniknya. “Iya, Mbak, maaf! Mungkin tadi karena buru-buru, jadi kurang teliti.” Aku benar-benar merasa bersalah pada mbak yang sangat baik itu.

“Ya sudah, Dik. Mbak pergi, ya!” pamitnya.

“Iya, Mbak. Maksih, ya!” ucapku takjub.

Kutengok ruang kelas. Nampaknya belum ada dosen dan belum ada kegiatan. Aku jadi ingat sesuatu. Aku lupa menanyakan nama wanita berjilbab lebar berhati embun itu. Tapi aku sempat membaca tulisan yang tertera di jaket hitamnya, “LDK”.

***

Oh, iya, ngomong-ngomong ceritaku melenceng dari tema nggak, ya? Dua hari yang harusnya dipake fokus bikin cerpen, malah nubruk sampek ambruk ke kegiatan lain yang gak ngajuin surat izin prektek, alias gak direncanain dulu sebelumnya. Mulai dari teman-teman satu liqo’an yang malem sabtunya sms kalau besok mau silaturahmi, sampai tentang ibu yang ngajak diskusi berkepanjangan buat nyiapin hidangan apa yang mau disuguhin nanti. Dan dalam keadaan mati lampu pula. Terus, paginya repot bikin empek-empek sama ager. Sampek teman-teman sudah pulang, di rumah gak selesai-selesai beberesnya. Abisnya langsung ditinggal ibu kondangan ke Pekalongan, sih. Badan rasanya remuk karena capek, tapi aku seneng, jarang-jarang temenku main ke rumah. Malam minggunya sudah siap-siap star mau ngetik, eh, ada om yang minta dibikinin daftar buat acara di desa.

Karena tidurnya kemalaman, paginya badan kurang enak alias masuk angin. Sorenya sudah lumayan ngetik dikit-dikit, tapi Mario Teguh nongol. Nah lho, apa gak double gubrak, tuh, namanya. Tapi selalu mencoba untuk sabar. Meski gak pengen nonton, tapi akhirnya nonton juga sampai habis. Keterlaluan banget, ya?

Drettt…drettt…..! “Ada yang kirim sms jam sebelas malem gini?” Rada males mau nengok hp yang terkapar di atas meja. Tiba-tiba ada perasaan gak enak, langsung kucomot hp jadulku, dan… Jebrettt! “Assalamu’alaikum! Anda pasti tahu tujuan saya mengirim sms ini. Ok, ditunggu!” Sms dari si penagih cerpen. Gubrak! Kedebukkk! Jlebbbb! Lemes langsung. “Waduh, mau jawab apai ini?” Penderitaanku lengkap; badan meriang, hidung mampet, perut laper, terus malem jadi semakin dingin. Ditambah Akh Mukhlis yang pastinya lagi mantengin facebook dari tadi sambil mikir,“Ke mana lagi orang ini? Kok, gak ngirim-ngirim?” Gak bisa apa-apa lagi, ngomong jujur biasanya selalu menjadi penyelamat segala kondisi. Berharap Akh Mukhlis mau bermurah hati ngasih dispen lagi.

“Maaf, belum bisa kirim hari ini. aku lagi sakit, ini aja baru mulai ketik tadi sore. Mungkin besok sore. Kalau masih diterima terimakasih, tapi kalau tidak gak apa-apa. Salah aku juga!” balasku. Aku cemas menunggu balasannya. Berdo’a supaya Akh Mukhlis gak kejam-kejam amat.

“Berarti besok udah jadi. Ok, ditunggu! Semangat!” sms balasan dari Akh Mukhlis. Rasanya lega dan yang pasti aku bisa langsung istirahat tidur. Badan bener-bener menuntut haknya.

Haduh, mereka itu baik-baik banget, ya. Tapi aku malah suka ngerjain mereka. Maafin aku yang ceroboh ini, ya! Ada hikmah dan kelemahan yang aku sadari dari cerita nyari ruang ujian dan alasan kenapa aku harus ganti cerpenku ini. Intinya aku ini kurang teliti. Jadi, aku harus diteliti dan disemangati. Dan di LDK-lah tempatnya orang baik yang peduli dengan orang lain, mau meneliti dan menyemangati. Hehehe….! Hikmahnya maksa banget, ya? Hehehe, biar, deh. Aku mau ngucapin terimakasih buat Mbak itu. Mbak berjilbab lebar yang dengan tulus membantuku. Entah siapapun dia dan di mana dia sekarang, semoga Allah selau mencintainya. Hingga kelak Allah akan mempertemukan kami dengan caranya yang indah. Di suatu tempat, entah itu di dunia ataupun di akhirat-Nya kelak. Ada banyak koleksi cerita yang sebenarnya memberi banyak pelajaran yang bisa kupetik. Tapi terkadang tak pernah kusadari dan malah mengacuhkannya. LDK banyak memberi kisah yang seru dan inspiratif, selain bisa untuk menambah referensi cerita hidup yang mungkin bisa jadi bahan tulisan. Heee, itu bonusnya, lho. Kalau ditanya masih mau bertahan? Aku akan jawab “Siap!”. Siap menjadi tokoh dalam ceritaku sendiri dan cerita orang lain. Siap menjadi salah satu warna dalam pelangi dakwah ini. Warna yang indah, yang mampu membuat perbedaan menjadi elok dipandang mata. Warna yang kuat, sekuat keinginan hati ini untuk tetap istiqomah di jalan dakwah ini.

 

“Uler Keket”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Aku pernah berpikir kalau aku adalah makhluk paling sial di jagad ini. Dan yang teramat sial, aku sering kalap karena sentuhan. Jangan coba-coba, aku bisa bergelinjang-gelinjang jika jemari sok tak berdosa menyentuhku, aku geli bukan main. Aku sebetulnya heran, kenapa kulitku bisa begitu sensitifnya?

Orang Jawa menamaiku uler Keket. Makhluk yang terkenal kalem itu jago juga memilih nama. Karena aku suka klogat-kloget makanya digelari Keket, sehingga menjadi inspirasi dalam syairnya Didi Kempot “Uler Keket mlakune klogat-kloget, get … ”.

Aku berhutang budi pada orang Jawa, atas nama yang disematkan padaku. Aku juga terpukau dengan perangai mereka, santun merunduk-runduk. Tapi tetap saja, kalau dipajang di terminal mereka jadi beringas. Suka menarik semena-mena tas penumpang, caranya menawari tumpangan juga setengah mengancam. Ini sebenarnya jadi pembelajaran untuk Abah Namrud. Pasalnya, aku suka senewen dengan orang yang banyak cakap itu, yang pidatonya teramat memikat. Tahu kenapa? Aneh, orang yang daun gembelinanya sering kugasak itu begitu bangga dengan keapikan pekertinya. Dia tidak sadar apa, kalau dia itu hanya beruntung? Dia diselamatkan oleh lingkungan. Perangainya baik karena dia ada di tempat yang kondusif, nyaman, tentram, beradab, coba saja taruh di terminal, bejat bukan main.

Hebatnya lagi, cakapnya itu kadang bikin risih, tak sesuai dengan amalnya yang mbruwel. Menyeru orang agar bersedekah, tapi meditnya bukan kepalang. Berpersuasi agar orang ikhlas, qona’ah, tawadu’, tapi jika habis ceramah tak disumpali amplop, gerutunya tiada ujung. Aku yang teramat geli dengan sentuhan, ternyata lebih geli lagi dengan mata si Abah Namrud. Kedipnya bikinku bergelinjang hebat.

Sebagai ulat yang kadang hobi berkelana, aku pernah tersesat, tak tahu arah pulang. Galau bukan main. Bagai butiran debu. Kulihat persemayaman megah, tapi bikin meremang. Kuburan Cina rupanya. Manusia itu paling takut dengan kuburan, sarang setan katanya. Padahal, kadang mereka lebih menakutkan dari pada setan. Aku saksinya. Aku terpekik dan terlonjak kuat saat ada tangan merabaku. Pria muda rupanya. Ia menjerit histeris sejadi-jadinya. Matanya melototiku. Sangat tidak sopan. Seharusnya aku yang menjerit karena dengan tidak senonohnya ia merabaku. Tak tahukah dia jika aku juga pejantan? Dia merontokkan harga diriku. Aku masih normal, tahu .… .

Pria penjerit itu munafik adanya. Ia jijik dengat klogat-klogetku, tapi sejurus kemudian ia malah membuat teman wanitanya klogat-kloget tidak karuan. Mesum. Makhluk yang tidak memiliki konsistensi. Juga tak tahu diri. Pekuburan harusnya buatnya ingat mati, tapi malah dijadikan medan perbuatan hewani. Tak bermoral. Seperti itu menamakan diri sebagai manusia? Durjana!

Bangsaku, bangsa ulat, atau lidah Jawa menyebutnya uler, kadang jauh lebih mulia dari bangsa manusia. Di mata manusia, uler bisa tampak seperti malaikat. Tidak percaya? Itu dialami sendiri oleh sahabat kecilku, uler Kilan. Kilan artinya jengkal, orang Jawa juga yang menamai. Lenggoknya yang menjulur naik-turun terlihat seperti jari yang sedang menjengkali, atau ngilani, sehingga disebut uler Kilan. Dia amat keramat. Jika ada orang yang dirayapi si uler Kilan dari ujung kaki sampai kepala, maka orang tersebut akan sangat yakin bahwa sebentar lagi dia akan mati. Dahsyat tiada tandingan, memang. Temanku yang lucu itu bisa merebut job malaikat Izrail, mencabuti nyawa manusia. Horor, kuno, mitos tak berakal. Begitu mereka menyakini diri sebagai manusia? Kudengar dari burung seberang katanya manusia itu berakal, nyatanya? Bukan main bebalnya. Temanku, uler Kilan, jadi besar kepala karenanya. Ia sering terkekeh melayang ke angkasa. Menempel di ketiak gagak, sambil melambai seolah ia makhluk paling kuat di dunia. Sebenarnya satu yang kukhawatirkan, jika job malaikat Izrail direbut oleh si uler Kilan, kira-kira malaikat mulia itu mau melamar kerja di mana? Miris. Budaya jahiliyah masih saja mengakar.

Dulu aku pernah terjatuh dari pohon gembelina milik Abah Namrud. Gara-gara samar kudengar suara khas menyebut-menyebut “kepompong” dalam syairnya. Aku bukan terpesona karena indah lagunya, tapi karena syarafku pretel tersentak kata “kepompong”. Peganganku pun terlepas, hingga berdebum di tanah berkerikil, ngilu. Kalau bukan karena diiming-imingi akan jadi kupu-kupu yang dapat melayangi angkasa, aku tak sudi jalani ritual jadi kepompong. Tak terbayang rasanya bertapa dalam gelap, tak ada daun gembelina hijau yang dapat kusantap. Mengerikan. Pucat pasi aku membayangkannya.

Manusia itu kadang asal bicara. Bilang persahabatan bagai kepompong. Seram amat? Kalau persahabatan adalah kepompong, berarti manusia adalah ulat. Aku berani bertaruh atas nama bangsaku, mereka tidak akan sanggup jadi ulat. Apalagi menjelma dalam wujud kepompong, mustahil. Sepupuku sesama Keket geleng-geleng mendengar gerutuanku. Ia menukas tajam, menyakitkan,”Dalam lagunya, kan, ada kata “bagai”, itu artinya mereka mengibaratkan bahwa persahabatan itu mirip kepompong.  Menggambarkan bahwa persahabatan itu sulit. Tapi kalau tabah, sabar, dan telaten, ujungnya indah, bak kupu-kupu, melayang; menenggak madu, sedap. Begini kalau ulat tak punya cita rasa sastra sama sekali. Suka senewen dengan bodohnya.” Lidah setajam silet, setajam rambut yang dibelah jadi tujuh. Sringgg! Rantas sudah hati ini, tercabik. Sakit, perih. Aku ulat senewen yang bodoh?

Entahlah, aku memang kurang suka dengan manusia. Serakah, penjajah. Egois, tak tahu diuntung. Bangsa ulat sering kali ditindas. Tak boleh di sini, tak boleh di situ. Tak boleh makan ini, tak boleh makan itu. Mau menang sendiri. Aku hanya kasihan dengan kerabatku nun jauh di sana, di sawah, di kebun, dan di ladang. Hidup mereka selalu was-was, penuh marabahaya. Mereka harus tergopoh-gopoh menghindari bangsa burung, predator ulung. Menyambar tanpa pri-keburungan. Mencabik-cabik dan menggiling tubuh-tubuh kecil itu di ususnya. Sadis. Juga mereka harus pandai berpayung daun agar tak tersembur cairan sengak beracun, pestisida sakaratul maut. Tragis nasib mereka. Padahal mereka tidak pernah meminta menjadi pemakan daun tanaman pangan, juga bukan karena kutukan. Semua terjadi alamiah, di luar kendali bangsa ulat. Berkali-kali kusarankan agar mereka berganti menu makan, kutawarkan daun gembelina, tapi ditolaknya dengan santun. “Kami tidak bisa melawan takdir,” tuturnya pasrah. “Mereka pantas tinggal di surga,” batinku dramatisasi, sok meramal masa depan. Uler Keket tak tahu diri.

Sebenarnya, aku tak sepenuhnya benci pada manusia. Biar bagaimanapun, mereka adalah pemimpin kami. Makhluk yang dengan tangannya diharap mampu menciptakan keseimbangan di bumi. Melindungi bumi beserta isinya dari petaka. Meski nyatanya, mereka malah menggoda petaka. Menantang langit. Dan memanahi kedamaian.

Tapi, ada juga manusia yang indah pekertinya. Meski hati merasa risih pada kami, bangsa ulat, tapi mereka menjaga sikap. Tak ingin makhluk tak berguna seperti kami tersinggung dan merasa hina. Mereka juga baik pada bangsa flora, dirawat. Jika tak benar-benar butuh tak akan dilukai. Senyum mereka tulus, tak ada sedikitpun modus. Alam benar-benar dijaganya, tak ingin ada yang terkoyak, tak ingin setetes darahpun tumpah, apalagi sampai tercecer di bumi.

Ahh, kurasa ada yang aneh pada diriku. Kepalu mendadak pening tak terkira. Badanku menggigil tiba-tiba. Akhirnya apa yang kutakutkan selama ini datang juga. Aku akan menghilang. Terkurung dalam gelap, menakutkan. Aku akan tergantung seperti kentongan yang pernah kulihat di gardu, digebuki hansip tanpa ampun. Aku akan tirakat sekian lamanya. Meninggalkan gemerlap dunia. Mengabdi penuh pada takdir. Ada satu sisi positifnya, aku tak akan lagi tersentuh tangan manusia, hingga aku tak perlu lagi bergelinjang-gelinjang, berjungkit-jungkit kegelian. Dan untungnya bagi mereka, aku tak akan lagi banyak mengkritik, tak akan lagi membuat mereka risih, jijik tak terkira. Karena setelah masa berat itu kurengkuh, aku akan segera terbang, melayang, mencandai bunga-bunga hingga terbuai, dan perlahan kuhisap madunya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Tolong Aku”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Melati masih belum percaya akan kematian Nili, sahabatnya sejak kecil. Tidak pernah terpikirkan oleh Melati jika Nili mati begitu cepat, di usia yang masih sangat muda, 24 tahun.

“Mel, aku ingin seperti kupu-kupu. Terbang di atas bunga-bunga dan menghisapi madu hingga lidahku tak bisa merasakan pahit lagi.” Ucapan Nili sehari sebelum kematian merenggutnya terus terngiang-ngiang di telinga Melati. Lalu menyeruduk gendang telinga dan memaksa menerobos ke hati. Jlebb. Air mata anak perawan itu meleleh secara perlahan, membuat garis sungai di wajah halusnya. Kecantikan Nili terasa menari-nari di hadapannya. Senyum indah tergambar jelas di wajah bulatnya. Jemari lentiknya terayun memberi isyarat agar Melati mendekat.

“Ikut aku, Mel! Ikut aku terbang dan berebut madu bersama kumbang-kumbang.” Melati mengusap air matanya. Gadis berpendidikan itu berusaha meyakinkan dirinya, bahwa dia tidak mungkin mati sperti halnya Nili. Dia akan tetap hidup, hingga memiliki seribu keturunan. Dia ingin bersama pria yang dicintainya hidup dalam balutan madu, hingga dia dapat menjilat manis sepanjang masa. Anak-anaknya akan disuapinya dengan makanan keabadian, dan mereka akan lucu selamanya.

“Tidakkk! Enak saja, aku belum mau mati. Maksudku aku tidak akan mati,” gerutu Melati merutuki bayangan Nili yang tidak juga hengkang dari hadapannya.

“Mati itu indah, Mel. Kau akan dapat terbang nantinya….” Bayang Nili terus menggoda pikiran Melati. Wanita yang banyak digandrungi pria itu semakin kacau. Diacak-acaknya rambut yang setiap minggu dibawanya ke salon itu.

“Aku tidak mau, Nil….. Aku tidak mau…..”

***

“Nil, kamu lihat orang-orang itu? Menurutku mereka begitu membuang-buang waktu. Mereka memuja angan kosong belaka.”

“Aku setuju, Mel, mereka hanya diperbudak dongeng dan halusinasi saja.”

“Mereka pikir kita akan hidup lagi setelah mati. Hahaha. Ada-ada saja pemikiran seperti itu. Aku bahkan sedang berusaha agar tidak bisa mati.” Melati menjilat es krim kesukaan lidahnya. Ia begitu menikmati hidup. Baginya, bahagia itu jika ia sudah lupa dengan kematian. Ia membayangkan suatu saat tak ada lagi ritual-ritual bodoh di dunia ini. Tidak ada lagi penghambaan, kecuali penghambaan pada kebebasan. Kebebasan yang membuat makhluk cerdas sepertinya benar-benar merdeka.

“Mel, aku ingin seperti kupu-kupu. Terbang di atas bunga-bunga dan menghisapi madu hingga lidahku tak bisa merasakan pahit lagi.” Nili riang menatap langit. Senyumnya merekah indah seperti kekuntum mawar. Matanya bersinar menerawang. Terbang bersama kumbang-kumbang yang malu-malu menggodanya.

Melati ikut tersenyum. Seolah ia merasakan keindahan yang menyusup dalam jiwa Nili. Ia semakin yakin, bahwa ia adalah orang paling cerdas dan paling merdeka di dunia ini. Tak ada yang membatasi angannya. Tak ada sekat dalam perilakunya. Tak ada sedikitpun yang berhak mengusik kebahagiannya. Semua ia miliki. Kecantikan, harta, kecerdasan, jabatan, kekasih, dan semuanya. Ia bahagia dengan apa yang ia punya, ia bisa terbang ke mana pun ia mau. Tanpa terbebani oleh aturan-aturan teologi yang dianggapnya primitif.

“Kalau kita mati, kira-kira kita pergi ke mana ya?”

“Bodoh, kita akan hancur bersama tanah. Menjadi zat-zat makanan untuk menyuburkan tanaman.”

“Hahahaha…” Dua gadis muda itu tertawa bersamaan. Membuat irama nyaring menantang langit. Tidak ada sedikitpun gurat takut di hati mereka. Tak ada. Mereka benar-benar melayang dalam dunia yang begitu indah, dunia yang ingin mereka tempati selamanya.

Sebuah kijang putih berhenti di hadapan mereka. Mereka tetap tertawa, meleburkan suara dengan kebisingan taman kota. Seorang pria tampan keluar dari mobil dan gesit menghampiri mereka. Nili tampak terkejut. Yang datang adalah kekasihnya. Kekasih yang baru semalam merengek cinta padanya. Mengemis agar Nili tidak memutuskan cintanya. Pria pemujanya itu benar-benar mabuk kepayang oleh keindahan yang dimilikinya. Tapi Nili tak peduli, apa yang tidak dia sukai lagi berarti harus diganti.

“Nili, ikut aku!” Pria itu menarik tangan Nili. Memaksanya untuk segera masuk ke mobil yang dibawanya. Nili berontak. Wajahnya memerah marah dengan pemaksaan yang dilakukan mantan kekasihnya itu. Es krim tercintanya terpaksa ditimpukkan ke wajah pria yang sudah dianggapnya tiada harganya lagi.

“Hei, orang gila! Kenapa kamu memaksa temanku?” Melati menghardik dengan lantang. Emosinya membuncah melihat sahabatnya diperlaukan dengan kasar, mirip majikan memperlakukan seorang budak.

“Jangan ikut campur!” Ancam si pria. Telunjuknya lurus mengacung ke wajah Melati. Tapi Melati tidak peduli. Ia melepas sepatunya dan secepat kilat menghantam kepala si pria. Hak lancipnya telak mengenai pelipis si pria hingga darah membancir di wajahnya. Nili tampak terkejut. Cengkeraman di tangannya lepas seketika. Ia menutup mulut. Si pria meraung kesakitan sambil menahan darah keluar dari pelipisnya. Orang-orang di taman pun terpaku dengan pemandangan itu. Mereka berkerumun menunggu apa yang terjadi selanjutnya, tanpa ada yang berinisiatif melerai. Mata orang-orang di taman dipaksa untuk mendelik saat pria kasar yang menyatroni Nili menghunus sebuah pisau. Matanya tajam menyambar Melati yang tampak panik seketika.

Si pria berjalan dengan gesit menyerang Melati. Harga dirinya seakan diinjak oleh Melati yang berani membuat pelipisnya bocor. Namun secepat kilat pula Nili menghadangnya dengan memukulkan tas cangklongnya berkali-kali ke tubuh si pria hingga pisaunya terjatuh. Dengan sigap Melati meraih pisau yang yang terhempas di ubin taman. Sedangkan Nili sudah balik diserang oleh si pria. Lehernya dicekik dengan kuat. Ia mencoba meronta tapi tangan pria itu terlalu perkasa untuk membuatnya terbebas dengan cepat.

Dengan gugup Melati mendekat. Dihunusnya pisau yang tampak berkilau di tangannya. Ia terus mendekat. Dan dengan tangan bergetar ia tikamkan pisau tajam itu ke arah pria yang mencekik Nili. Tapi sialnya, Melati terlalu gugup. Hingga pisaunya meleset dan mengenai punggung Nili hingga tembus ke jantung. Nili terpekik. Gadis bak bidadari itu merintih kesakitan. Darah segar membanjir di baju putihnya. Tubuh indahnya tersungkur tak berdaya. Semua terpana. Si pria pun bukan kepalang terkejutnya. Melati menggeleng tidak percaya. Ia telah menikam sahabatnya sendiri. Ia seperti sedang bermimpi. Semua terjadi begitu cepat.

***

“Apakah aku akan benar-benar menjadi pupuk, Mel? Aku tidak mau. Aku ingin menjadi kupu-kupu yang dapat terbang dan merayu bunga-bunga bermadu.” Bayang Nili semakin jelas di pelupuk mata Melati. Kadang ia terlihat murung, kadang tertawa riang sambil terbang mengelilingi ruang bui yang mengerikan.

“Seperti apa rasanya mati, Nil?” Lirih bibir Melati berucap. Tatapannya kosong.

“Entahlah, Mel. Sulit digambarkan. Tapi rasanya sakit sekali saat kutahu kamulah yang membunuhku.” Melati melotot seketika. Ia tertohok oleh perkataan shabatnya itu.

“Aku tidak membunuhmu, Nil. Aku gugup. Aku, aku…. Ah…….. Persetan denganmu, Nil. Aaaah…. Aku tidak peduli. Pergi! Pergi…..!”

“Hei, hei, hei….! Ada apa denganmu?” Hardik seorang petugas. Nafas Melati memburu. Ia menatap ke segala arah. Mencari sesuatu yang sekejap hilang. Nili tak ada lagi. Tapi tiba-tiba muncul sosok makhluk dengan tampang mengerikan. Ia membawa palu sebesar paha gajah. Matanya menyala. Taringnya menyeringai tajam.

“Hah!” Melati tersentak. Tubuhnya dingin seketika. Matanya mendelik. Ia merasa begitu takut. Rasanya ia ingin meloncat menembus atap ruang tahanan. Dan terbang melayang ke angkasa. Tapi ia tidak dapat berbuat banyak. Baru kali ini ia merasa benar-benar tidak berdaya. Ia seolah cacing kecil yang terkurung dalam botol, menggeliatpun percuma.

“Siapa kamu? Siapa kamu? Kamu mau apa? Kamu maaaau u.. u.. uang? Aku beri. Tapi kumohon pergi! Jangan mendekat!” Melati semakin kalut. Makhluk mengerikan itu semakin dekat. Matanya menyala tajam. Palunya terayun dengan tenang.

“Kurasa gadis ini sudah gila!” rutuk si petugas.

Melati benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Ia lunglai dalam kepasrahan utuh. Matanya sayu. Bibirnya bergetar. Ia meringkuk dengan memeluk kedua lututnya. Sedangkan si makhluk menyeramkan sudah tepat berada di depannya. Ia benar-benar menakutkan. Ia seakan ingin mencabik-cabik tubuh Melati.

Gadis dalam kondisi berantakan itu sudah berada pada puncak ketakutan. Ia takut mati mengenaskan. Ia membayangkan saat tubuhnya diremukkan oleh palu si makhluk misterius. Ia tidak berani menatapnya. Ia melihat lantai yang tampak compang-camping di bawahnya. Air matanya menetes deras menyapu wajah cantik yang sangat dibanggakannya. Dalam cengkeraman kematian yang seolah merontokkan sendi-sendi tubuhnya, terucap lirih dari bibir mungilnya,”Tuhan, tolong aku!” Bui hening seketika. Sepoi angin membawa syair-syair tak bernada. Merayapi tembok berkarat darah. Dan menyusup ke luar jeruji. Sekejap tedengar sayup jeritan pilu, rintih-rintihan melodi dari lembah kehinaan. Angan kosong, dongeng, dan halusinasi itu kini terlihat nyata.