Dengan Menulis Aku Berjuang

Ku hadapi diriku telah lampaui semua lorong waktu yang basah oleh rinai-rinai yang pekat. Lidah kelu berbicara walau untuk menyeru kepada apa itu kebaikan. Menjadi setan yang bisu. Siapakah setan yang bisu itu? Adalah yang melihat kemungkaran tetapi ia tak mampu berbuat apa-apa. Ialah bagaikan setan bisu.

“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan kepada manusia, kalian memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar , dan beriman kepada Allah“. [Ali-Imran :110]

Jika terus-menerus akan berbahaya , Abu ‘Ali ad-Daqqâq rahimahullah berkata,

الْمُتَكَلِّمُ بِالْبَاطِلِ شَيْطَانٌ نَاطِقٌ وَالسَّاكِتُ عَنِ الْحَقِّ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ

“Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu.” [ad-Dâ` wad-Dawâ` hal. 100, Darul ma’rifah, Magrib, cet. Ke-1, 1418 H, Asy-Syamilah

“Ketika seorang penulis hanya menunggu, maka sebenarnya ia belum menjadi dirinya sendiri”. [Stephen King].

Seringkali kita mendengar, bahwa mood adalah salah satu modal kita bisa menghasilkan karya. “Gue lagi nggak mood neh buat nulis. Gue ngga bisa pake deadline-deadline-nan…”

Saat itu kita tanpa sadar telah membatasi pikiran kita yang mungkin bisa dikembangkan. Dengan adanya deadline menurut saya malah bisa membuat kita termotivasi untuk segera menulis. Yang pada awalnya tidak punya mood, akhirnya kita bisa menciptakan mood itu sendiri. Seorang penulis yang tangguh tidak menunggu mood itu datang, tetapi menciptakan mood itu sendiri. Seperti seorang entrepreneur sejati. Ia tak menunggu pekerjaan datang, tetapi ia menciptkan pekerjaan bagi dirinya sendiri.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   “Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri”. [J.K. Rowling]

Yapz, that’s true. Is’nt right? Ya kan…?

Mulailah dengan yang mudah. Step by step. Jangan sampai kegiatan menulis membuat kalian malah jadi tertekan atau stress.. 🙂

Agar tulisan kita menjadi berkembang ada baiknya kita tidak melupakan kegiatan membaca.

“Membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh seorang penulis”. [Stephen King]

Menulis merangsang pemikiran, jadi saat Anda tidak bisa memikirkan sesuatu untuk di tulis, tetaplah mencoba untuk menulis”. [Barbara]

Yakinlah bahwa kebaikan itu dapat kita berikan untuk orang lain dengan tulisan kita…

Tetaplah bertahan dan bersiap-siagalah. Angkat pena, gerakkkk! ^_^/

By tim penerbitan.

MEnulis Saat Ini Juga

Bismillah,,

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah sang pemilik keindahan di atas kata-kata indah. Alhamdulillaah, yang dengannya kita masih dapat merasakan nikmat sehat. Yang apabila dari sebagian organ tubuh kita dicabut kenikmatannya sedikit saja. pasti kita kan merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan. Ketika tangan kita, walau tidak seputih salju, tidak semengkilat besi (weh, emang apaan) bersyukur kita tangan kita tidak ditumbuhi panu, kadas, kurap, mungkin saja, kita akan malu. Ketika bibir ini dicabut kenikmatannya sedikit saja, mungkin saat ini kita sedang merasa sariawan dsb. Sungguh, terkadang diri khilaf dan lupa bersyukur atas nikmat-nikmat yang senantiasa hadir. Yang dengannya kita merasakan nikmat iman dan islam. Nikmat bertemu teman-teman yang dapat memberikan semangat untuk menapaki hari demi hari. Nikmat di mana hati kita telah memilih bahwa menulis adalah bagian dari kehidupan kita. Dan nikmat bahwa Allah telah memilih kita untuk mengibarkan din-Nya dengan pena.

 

 

Sholawat, mari sedikit saja-setidaknya- luangkan waktu untuk kekasih agung, Ya nabi salam ‘alaika Ya rosul salam ‘alaika.. Kepada nabi junjungan, yang mengajarkan tauhid, yang menjadi teladan, semoga kita termasuk orang-orang yang dipilihnya untuk mendapatkan syafaatnya.

 

Ingin berbagi dengan teman-teman tentang mimpi kita di sini. Keinginan kita di sini. Tak lain, tak bukan adalah kita yang berada di sini sebenarnya ingin menjadi PENULIS. Terlebih penulis yang bermanfaat yang mampu mencerahkan umat. Walau sadar diri, diri belumlah layak untuk disebut sebagai teladan. Namun, biarlah ilmu yang sedikit, aplikasi yang masih hijau, menjadi tapak-tapak yang mengokohkan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Penulis yang bisa setidaknya ikut andil dalam memajukan bangsa, bahkan agama. Namun mimpi itu terbawa angin entah kemana, tertutup kabut bernama rutinitas.  Belum lagi, ketika kita merasa jenuh, sehingga aktivitas menulispun rasanya susah. Jika memang benar begitu. Maka kita pahami dulu bahwa sejatinya aktivitas menulis tentu membutuhkan waktu, konsentrasi, dan pikiran. Aktivitas ini bahkan tak hanya aktivitas kerja otak dan tangan kita, melainkan aktivitas perjalanan rohani kita. Pernah ada yang bilang, “Saya tidak punya waktu untuk menulis! Gak ada ide!”

 

Kita memang tidak punya banyak waktu, bahkan kewajiabn kita katanya lebih besar daripada waktu yang ada. Jika kita tilik, menulis tidak ada kaitannya dengan kesibukan harian kita. Sebab menulis adalah proses merangkum ide dan bisa kita lakukan di manapun, kapanpun. Ketika diri ini pernah mengalami hal seperti itu, diri ini mencoba untuk menyisihkan waktu yang hanya sedikit itu. Jika kita tak punya banyak waktu, berarti ada kesempatan di waktu yang sedikit itu. Dan ku mulai dari mencari sampai memunculkan ide. Mengingatnya di benak. Untuk kemudian dikumpulkan dalam catatan kecil, karena ku yakini kelak akan bermanfaat untuk tulisan yang akan datang. Mengumpulkan ide, sama halnya menabung layaknya seorang nasabah. Semakin banyak pundi-pundi ide semakin ‘kaya’ kita! Ketika diri ini ingin sekali menulis namun, lagi-lagi waktu yang dirasa tak mau sedikit saja memberikan ruang. Lagi-lagi, benaklah yang ku jadikan tempat untuk mengembangkan ide, meneruskan cerita. Ku putar berulang supaya tidak lupa. Sambil cuci piring misal. (Tapi lebih bagus sambil dzikir deh,hehe…)

 

Hal ini juga dibuktikan oleh seorang penulis bernama Okti Li (cerita ini ku dapat dari majalah SM:)E , gak bermaksud promo lho..) Mengorbankan jempol demi jadi penulis. Begitulah mbak Okti Li. Beliau adalah seorang BMI (Buruh Migran Indonesia) yang bekerja di Taiwan. Kondisi warga Taiwan pada umumnya yang tingkat disiplinnya sangat tinggi membuatnya hampir tak memiliki waktu luang. Bagi sebagian besar orang Taiwan waktu adalah uang dan karenanya beliau yang telah digaji seharusnya bekerja dan bekerja. Karena memang ia dibayar untuk bekerja. Jadi jika melihat beliau santai saja, mereka kebakaran jenggot, mengalami kerugian yang amat besar. Tak peduli beliau juga manusia perlu waktu istirahat, ibadah, dan refreshing. Majikan membebaninya setiap hari dengan pekerjaan seabrek tak pernah berhenti. Tapi semua itu sedikitpun tidak membuat semangat menulisnya padam. Justru sebaliknya. Setiap hari jangankan untuk membuka laptop, waktu istirahat dan ibadah saja, kalau ia tak pandai mengaturnya bisa bablas. Solusinya ya, sambil bekerja sambil menulis. Tentunya tanpa sepengetahuan majikan. Beliau mencuri waktu tanpa sepengetahuan majikan saat ide datang dengan memanfaatkan fasilitas notes di sebuah ponselnya. Meski jempolnya terasa sudah lelah dan pegal, ia tak peduli. Toh pekerjaan (yang itu-itu saja) tak pernah berhenti. Meski sudah selesai, sesuai permintaan majikan ia terus mengerjakannya lagi. Sementara ide tulisan datang belum tentu akan datang lagi di waktu lain. kadang jempolnya sampai memerah dan bengkak karena dalam sehari ia bisa mengetik berjam-jam lamanya. Selagi ide masih bersarang, sedaptnya menuangkan lewat tulisan. Hampir semua tak percaya ketika ia bilang bahwa semua tulisannya ia buat di HP.

 

“Udah berapa kali kamu ganti key-pad?”

“Jarimu pasti keriting, kamu udah beli alat rebonding belum?”

 

Masih banyak cemoohan yang lebih pedas dari itu. Habis mau bagaimana lagi? Untungnya key-pad hapenya berbahan stainless seperti bahan casing-nya, ia pun yakin bisa ganti berpuluh-puluh kali. Pertama-tama jempolnya memang ‘hangus’, bahkan sempat bengkak dan berdarah. Mungkin karena ibu jarinya belum terbiasa.

Tapi kini, sudah kebal (apa kapalan?) dipakai untuk mengetik terus. Sebenarnya jari lain juga ikut keriting, karena joystick sudah error, enggak pernah tepat dalam sekali tekan. Semua novel, kumcer, kisah antologi, dan tulisan lainnya dibuat di HP. Dan telah memenangkan hadiah berupa laptop, BB, CDMA, uang tunai, buku, dll.

Ia menulis hanya di notes yang tidak ada ms. Word-nya. Karena itu, waktu tidur malam lebih banyak dipakai begadang, yaitu memindahkan tulisan dari notes tadi ke PC. Setelah dipindah lewat bluetooth, tulisan yang di PC kini berformat txt (notepad) itu ia copas lagi ke ms. Word. Ia utak-atik sesuai persyaratan naskah. Memang terkesan ribet.

Karena memang ia tidak bisa bebas pakai PC. Meski terkesan ribet kerja dua kali, ia tetap ‘mencuri’ waktu kerja untuk tetap bisa menulis. Saat menanti angkutan umum, dan dalam kendaraan. Di sela waktu senggang merawat pasien jompo, ia tetap menulis. Saat mengantri membeli makan siang, saat menunggu bubaran les atau sekolah anak majikan. Setiap ada kesempatan, daripada bengong, ia tetap menulis walau cuma satu kalimat. Karena itu lebih baik daripada menunggu waktu untuk dapat membuka PC sementara itu hal yang tak mungkin kecuali malam hari saat waktu tidur. Kalau ia tak memaksakan menulis di HP, katanya ia yakin karya-karyanya tidak akan lahir.

Yang dilakukan mbak Okti Li adalah menantang diri sendiri untuk tetap survive menulis di tengah keterbatasan.

Aktivitas menulis akan susah jika tidak mempunyai kepercayaan diri. Konfidensi berperan besar untuk membangkitkan etos menulis kita lalu melalaikan kekurangan dan keterbatasan yang ada. Tidak lagi berkeluh tentang waktu, fasilitas, atau mood. Mood, kita coba munculkan sendiri. Mungkin kita bisa menyetel lagu-lagu yang sesuai dengan yang mau kita tulis. Bisa instrument, lagu motivasi, nasyid. Atau ayat Al Qur’an, atau berwudhu mungkin bisa jadi solusi.

Dan berdoa bisa jadi senjata.

Membayangkan karya kita sudah jadi dan bisa diterbitkan untuk kemudian dapat bermanfaat untuk orang lain. Membayangkan senyuman orang-orang terdekat, membayangkan pahala juga bisa. Dulu sebelum diri ini mempunya komputer, pernah mengetiknya dengan mesin ketik. Gak percaya? Hehe, sayang karya-karyaku telah hilang. Dulu awal sekali, aku cenderung membuat cerita bergambar. Aku yang membuat cerita, temanku yang menggambar. Dulu ingat betul ceritanya horor gitu, tapi lucu. Cerita anak sebenarnya. Kenapa ceritanya horor? Karena aku gak bisa gambar bagus, jadi paling mudah itu gambar hantu. Hehe. Itu ku lakukan saat masih SD. Aku juga sering menulisnya di kertas-kertas kosong atau tak terpakai.

Eh, tapi juga, aku sering lho beli buku tulis bergambar lucu, itu aku lakukan agar semangat nulis. Ya, walau kadang cuma diisi diary, tapi ya pembelajaran. Untuk kemudian dirental. Terkadang karena merasa malu, mungkin seperti tidak penting, akhirnya ku ketik sendiri di rental. Seringnya malam-malam (sedikit larut malam). Sambil ngerecokin kakak minta ditemeni. Kalau sekarang sudah banyak fasilitas menulis. Meski berbayar. Namun, setidaknya bisa membantu kita untuk menulis, isn’t it? Iya kan? Memang mungkin sulit menumbuhkan konfidensi untuk menulis di depan (biasanya di tengah) keterbatasan.

Namun, mbak Okti Li sukses menerapkan itu, dan semoga kita bisa terinspirasi. Mungkin menulis oleh sebagian orang adalah kegiatan percuma. Tidak keren. Tidak ada hasil. Kasarnya bilang, madesu. Daripada kerja-kerja nyata. Tapi aktivitas menulis ini merupakan bagian dari edukasi, merupakan hasil dari kita ‘melihat’ sesuatu kemudian melalui pemikiran yang mendalam, untuk kemudian diterjemahkan dengan bahasa qolb, yang kesemuanya itu tidak mudah. Dan untuk pejuang pena, yang berusaha mengedepankan karyanya untuk kebaikan, diri ini yakin tidak ada yang sepele di hadapan Allah.

Bahkan, tanpa adanya aktivitas menulis, bisa dibayangkan jaman Rosul dulu setelah para hafidz wafat? (Cuma bisa angkat bahu) semakin kita benar-benar menyukai aktivitas ini, dan meyakini faedahnya, bukan kita yang sibuk menyisihkan waktu, mencari sela, tapi waktulah yang memberi ruang untuk kita agar dapat menulis. Ayo, teman-teman, lihat jemarimu… kosong! Mana ‘pena’mu?

Inspiralazuardi

Isi ini didapat dari berbagai ilmu. Semoga bermanfaat. Afwan. ^^