Oleh: Mukhlis Ahsya
Mutia, temanku saat SMA dulu bilang bahwa cinta adalah tinta, di mana saja, ia akan memberi warna. Ia bisa digoreskan menjadi kalimat-kalimat pembuai kalbu. Ia membuat melayang saat disemburkan ke udara. Cinta adalah pembuat aksara-aksara keindahan di lembaran kehidupan.
“Kamu ingin membuat wanita jatuh cinta? Bacakan puisi! Pasti berhasil,” kata Bu Elfi, guru Kesenian di kelasku semasa SMA. Sepertinya kalimat itu tidak asing bagiku. Aku pernah mendengarnya di film favoritku, Spiderman. Kalau tidak salah Spiderman 2. Kurang lebih seperti itu lah kalimatnya. Tapi ternyata itu hanya bualan. Kalau dilakukan percobaan, aku yakin tingkat keberhasilannya hanya berkisar antara 0-30%. Kenapa? Karena cinta itu bukan hanya persolan kata semata, tapi persoalan hati yang tidak memiliki telinga, juga tidak mengenal tinta. Cinta itu seperti hujan, jatuh di mana saja, di gurun sekalipun. Ia tidak terikat oleh satu hukum. Apalagi terikat puisi, tidak sama sekali. Ia hanya terikat pada sang Maha Cinta.
Aku percaya, satu orang pria bisa mencintai seribu orang wanita dalam satu waktu. Karena apa? Karena pria itu sangat tertarik dengan keindahan wanita. Bahkan ada orang yang tekun beribadah dan rela mati di jalan Tuhan demi mendapatkan bidadari di surga. Wanita itu adalah cobaan berat bagi setiap pria. Dia masuk dalam tiga kategori godaan terberat yang dapat menyungkurkan pria ke tempat yang paling hina. Harta, tahta, dan wanita.
Senin yang indah. Matahari diselimuti awan tipis di angkasa. Membuat sinarnya menjadi jinak dan menghangatkan. Duh, nikmatnya … . Pagi hangat diselingi sepoi angin yang melenakan. Di kelas sudah ada dosen yang mengajar saat aku memasuki ruangan. Aku memang begini, saat suasana di luar begitu mendamaikan, aku akan memperlambat langkah untuk masuk kelas. Jarang-jarang cuaca bersahabat di musim kemarau seperti ini.
Aku mengulas senyum semanis mungkin. Dosen wanita biasanya sangat suka mendapat senyum manis dari mahasiswa prianya. Ini juga hanya teori, karena kenyataannya lebih banyak wanita yang suka duit daripada senyuman. “Emang makan senyum kenyang?” Begitu kira-kira semboyan mereka. Untungnya aku diizinkan masuk. Dan sudah menjadi tradisi di Negeri ini, jika masuk kelas belakangan pasti dapat kursi paling depan. Kursi belakang sudah penuh. Sebenarnya aku juga lebih nyaman duduk di belakang, lebih strategis saat kantuk menyerang.
“Baik, apa ada yang ingin kalian tanyakan pada teman baru kalian?” Bu Evi bicara dengan suara yang bening. Aku melihat ke depan, baru kutahu bahwa di depan ada seorang wanita asing yang berdiri malu-malu. “Tumben anak baru disuruh memperkenalkan diri di depan kelas? Seperti zaman SMA saja,” batinku.
“Sudah punya pacar belum?” celetuk Rudi bersemangat. Disusul suara gaduh kelas karena ulah pria humoris itu. Wanita asing di depan kelas hanya tersenyum. Dan, ya Tuhan…. Senyumnya masis sekali. Dan detik itu juga baru kusadar bahwa wanita yang berdiri di depan kelas sangatlah cantik. Indah.
“Rudi, jangan coba-coba menggoda keponakan saya, ya!” sela Bu Evi bergurau. Tenyata keponakan Bu Evi, makanya ada acara perkenalan segala.
“Kan usaha, Bu.” Rudi terkekeh.
“Oh, iya. Tadi namanya siapa? Saya belum tahu,” serobotku.
“Santika.” Suara lembut menjawabnya. Syahdu.
***
“Stop! Wanita adalah cobaan, berhenti memikirkan Santika!” Aku sedang berperang dengan perasaanku. “Hati-hati, wanita cantik biasanya membosankan!” Pikiranku terus bergulat. Dan hari itu aku tidak berani masuk kelasku, aku memilih mengambil di kelas yang lain.
Bukannya apa-apa, aku hanya bingung dengan diriku. Aku adalah tipe pria yang dingin terhadap wanita. Aku tidak terlalu peduli dengan makhluk yang katanya diciptakan dengan sejuta keindahan itu. Tapi, sejak aku melihat senyuman Santika, tiba-tiba ada yang lain. Aku terus-terusan memikirkannya. “Mending kalau dia juga memikirkanku,” rutukku dalam hati. Ah, bukan. Bukan itu masalahnya. Tapi, kurasa aku tertarik dengannya. Dan ini bahayanya. Aku benar-benar tidak ingin jatuh cinta dalam waktu dekat ini, jatuh cinta hanya akan menguras energiku. Bisa membuat otakku membeku dan tak dapat bekerja maksimal lagi. Jelas itu akan sangat merugikan seorang penuntut ilmu sepertiku. Lagipula, aku sangat anti pacaran. Kalau jatuh cinta tapi belum berani menikah, kan solusinya pacaran. Bisa berabe kalau aku harus pacaran.
“Tidakkkk!” Aku mencoba menepis semua perasaanku. Aku harus menjadi seorang Muslim sejati. Pacaran kan dilarang agama. Tidak boleh, tidak boleh. “Tapi, kalau dipikir-pikir, jatuh cinta kan gak harus pacaran.” Hatiku mencoba melakukan pembelaan. Iya juga. Asal aku bisa mengendalikannya, dan menyimpannya rapat-rapat, aman. “Haha.” Aku tertawa. Akhirnya kutemukan solusinya.
***
“Rama, ini buat kamu.” Sebuah suara memaksaku berhenti mengetik makalah. Makalah sialan. Siang nanti mau dipresentasikan, tapi sudah jam 09.00 belum kelar juga.
“Buat aku? Dalam rangka apa?” Aku kebingungan. Cepat-cepat kubuang pandangan saat kulihat senyum manis Santika merekah. Senyum itu yang bisa membuatku sengsara.
“Hadiah untuk seorang kutu buku.” Santika duduk di sebelahku tanpa meminta izin. “Sudah dua bulan aku di kelas ini, tapi kamu tidak pernah mengajakku ngobrol? Padahal kita memiliki kesamaan. Sama-sama suka membaca buku,” lanjut Santika membuatku terkejut. “Ngobrol? Aku bahkan ingin kamu segera pindah dari kelasku,” ucapku dalam hati.
“Kamu misterius, ya? Kenapa kamu suka buku?”
“Karena aku tidak suka wanita,” jawabku reflek.
“Hah? Jadi kamu homo?” Santika mengerutkan dahi. Astaga! Apa yang aku ucapkan? Aku jadi gugup sendiri dibuatnya.
“Bu.. bu, bu, bu, bu, bukan…” sanggahku sambil menghembuskan nafas dan tersenyum secara bersamaan. Gila. Kenapa jadi seperti ini? “Aku hanya becanda saja. Kamu tidak biasa becanda, ya?” Akhirnya aku menemukan kata yang tepat untuk mengarahkan pikiran Santika. Kucoba sekuat mungkin untuk bersikap biasa saja.
“Biasa, sih. Tapi, kamu tidak terlihat sedang becanda. Hahaha.” Gelak tawa Santika terdengar nyaring. Aku tersenyum. Wanita ayu itu pun bangkit dan meninggalkanku sendiri.
Tak sabar kubuka bungkusan ukuran sedang pemberian Santika. Kurobek-robek kertas pembungkusnya. Kuperhatikan dengan seksama. Aku benar-benar tidak menyangka. Sebuah gambar dalam bingkai yang indah. Lukisan yang membuat jantungku terlonjak hingga menubruk plafon kelas. Astaga. Seperti mimpi saja. Itu gambarku sedang membaca buku di kursi, kaca mata andalanku juga terukir indah di sana. Untuk apa Santika melukisku? Dan seni seperti apa yang ia kuasai hingga bisa menggambar sebagus ini? Untuk apa juga dia memberikan ini untukku? Apa dia tertarik denganku?
“Huhhhff…” Kusandarkan punggungku pada kursi. “Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?” Bayang Santika terus menggoda. Senyum indahnya tergambar jelas di pelupuk mata. Suara-suara lembut begitu membuai kalbu untuk segera dapatkan cinta. Aku seperti terperosok di bibir jurang dan hanya ada Santika di tepi jurang itu. Dia melambaikan tangan. Dan aku…
“Waw! Lukisannya bagus banget. Kamu terlihat lebih keren dalam lukisan.” Suara Raflan membuatku terlonjak. “Siapa yang ngelukis?” lanjutnya bertanya.
“Santika,” jawabku datar.
“Kamu menyukainya?”
“Apanya?”
“Santika.”
“Entahlah.”
“Wajar. Santika pantas membuat lelaki cerdas sepertimu jatuh cinta. Tapi aku yakin, dia tidak akan mampu membuat keimananmu goyah.” Raflan tersenyum. Pemuda pegiat Qiyamul Lail itu menatapku penuh arti. Aku merasa memiliki kekuatan. Raflan membuatku lebih tenang.
“Jika kamu sudah seyakin itu, aku bisa apa?” tuturku bersemangat. Kami tertawa. Tawaku dan Raflan membuat garis kekuatan baru untuk membentengi cinta yang datang bukan pada waktunya.
***
Entah sudah berapa juta daun yang gugur mengiringi bergulirnya waktu. Dan angin selalu setia mengusik hidup dan mati mereka. Hujan berderai-derai melapukkan mereka hingga melebur dalam wujud yang baru. Dan akar mencaplok wujud baru itu sebagai makanan yang lezat.
Hidup ya seperti itu, berputar-putar. Tapi sayangnya aku bukan daun. Aku lebih perasa rupanya. Perputaran membuatku pening. Kalau saja aku tak mengenal Tuhan, pasti aku sudah tersungkur dan tak dapat merangkak lagi.
Sudah tiga tahun aku meninggalkan dunia kampus. Lulus dan bergelut dengan rutinitas baru yang selalu kucoba untuk menikmatinya. Lalu sekarang aku kembali lagi, bukan kembali pada kampus, tapi kembali pada cinta. Cinta yang pernah menyambarku saat kuliah dulu. Kini Santika kembali menyambarku. Tapi tidak sendiri. Dia menyambarku bersama dengan Raflan, sahabat terbaikku. Baru sekitar dua bulan tidak kudengar kabar mereka, kini nama mereka mendatangiku dalam lembar undangan pernikahan.
Apa ini yang dinamakan takdir? Apa memang Raflan dan Santika memang diciptakan untuk bersama? Apa semua ini sudah tertulis di lauh-mahfudz? Aku benar-benar tidak menyangka. Kenapa harus Raflan? Aku seperti terhianati oleh keyakinanku selama ini, keyakinan bahwa Raflan adalah manusia terbaik yang pernah kutemui. Seharusnya dia tahu, hatiku akan sesakit ini saat melihat kenyataan.
Langkahku gontai. “Hufft .… . Aku harus tegar.” Aku berjalan sebaik mungkin. Memasang wajah seceria-cerianya. Berusaha untuk memberi senyuman terbaik untuk sahabat terbaikku. Aku ambil jalan berbeda dari tamu-tamu lainnya. Aku lewat belakang. Aku sengaja tidak ikut saat akad nikah dijalankan. Tidak terbayang, betapa sakitnya hati ini jika harus menyaksikannya.
“Hei, ada tamu tidak diundang rupanya.” Sebuah suara familiar memaksaku untuk menoleh. Raflan. Dupp. Entahlah, jantungku seperti dipalu saja rasanya. “Kenapa lewat belakang?” Aku tidak pedulikan pertanyaannya. Aku memeluknya erat-arat seolah ingin mengatakan “Jaga Santika baik-baik”. Aku tidak kuat membendung air mata.
“Kamu menangis?”
“Aku terharu, sahabatku sudah menikah rupanya,” jawabku asalan. Raflan mengernyikan dahi.
“Kamu tidak bahagia dengan pernikahanku?”
“Kenapa kamu asal menebak begitu?” Aku berusaha menyeka air mata.
“Mas, lama banget ke kamar mandinya?” Sebuah suara lembut mebuatku dan Raflan menoleh bersamaan. Seorang wanita dengan busana pengantin Islami terlihat gugup. Aku tertegun.
“Siapa dia?”
“Isteriku.”
“Kamu becanda? Bukankah isterimu Santika?”
“Hahaha. Bukan Santika, tapi Zantika,” tegas Raflan. Aku jadi bingung dibuatnya. “Oh, oh. Jadi ini yang membuat si kutu buku terlihat tidak suka dengan pernikahanku? Astaga …. Yang di undangan itu salah ketik. Ya, salah percetakannya. Seharusnya Zantika, ditulis Santika. Tapi karena sudak terlanjur cetak banyak, mau apa kagi? Kamu salah sangka rupanya. Hahaha.” Raflan terpingkal. Aku tersenyum. Malu rasanya. Tapi senang juga.
“Siapa Santika, Mas?” tanya isteri Raflan, Zantika.
“Aku Santika.”
Aku kaget bukan kepalang. Suara yang sangat kukenal. Kubalikkan badan. Darahku berdesir seketika. Dari mana datangnya Santika, tiba-tiba sudah berada di belakangku?
“Aku tadi membuntutimu saat kamu ke belakang,” ucap Santika. Aku hanya bengong.
“Rama, kamu sudah terlukis di hatiku, maukah kamu mengambil lukisan itu?” Santika kembali bersuara. Kali ini darahku tidak lagi berdesir, tapi berombak dalam pembuluh darah. Jantungku mau meloncat rasanya. Hatiku, entah apa rasanya, terlalu sulit untuk digambarkan. Raflan mendekatkan bibirnya di telingaku, ia berbisik lirih,“Sekarang cinta datang pada saat yang tepat, tunggu apa lagi?” Aku tersenyum gugup. Tidak menyangka akan ada kejutan hebat seperti ini.
“Iiiiiiii, iya, insyaalah aku akan ambil lukisan itu.”
“Kapan?”
“Eee.. Insyaallah, nanti malam.