“Lukisan Di Hati”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Mutia, temanku saat SMA dulu bilang bahwa cinta adalah tinta, di mana saja, ia akan memberi warna. Ia bisa digoreskan menjadi kalimat-kalimat pembuai kalbu. Ia membuat melayang saat disemburkan ke udara. Cinta adalah pembuat aksara-aksara keindahan di lembaran kehidupan.

“Kamu ingin membuat wanita jatuh cinta? Bacakan puisi! Pasti berhasil,” kata Bu Elfi, guru Kesenian di kelasku semasa SMA. Sepertinya kalimat itu tidak asing bagiku. Aku pernah mendengarnya di film favoritku, Spiderman. Kalau tidak salah Spiderman 2. Kurang lebih seperti itu lah kalimatnya. Tapi ternyata itu hanya bualan. Kalau dilakukan percobaan, aku yakin tingkat keberhasilannya hanya berkisar antara 0-30%. Kenapa? Karena cinta itu bukan hanya persolan kata semata, tapi persoalan hati yang tidak memiliki telinga, juga tidak mengenal tinta. Cinta itu seperti hujan, jatuh di mana saja, di gurun sekalipun. Ia tidak terikat oleh satu hukum. Apalagi terikat puisi, tidak sama sekali. Ia hanya terikat pada sang Maha Cinta.

Aku percaya, satu orang pria bisa mencintai seribu orang wanita dalam satu waktu. Karena apa? Karena pria itu sangat tertarik dengan keindahan wanita. Bahkan ada orang yang tekun beribadah dan rela mati di jalan Tuhan demi mendapatkan bidadari di surga. Wanita itu adalah cobaan berat bagi setiap pria. Dia masuk dalam tiga kategori godaan terberat yang dapat menyungkurkan pria ke tempat yang paling hina. Harta, tahta, dan wanita.

Senin yang indah. Matahari diselimuti awan tipis di angkasa. Membuat sinarnya menjadi jinak dan menghangatkan. Duh, nikmatnya … . Pagi hangat diselingi sepoi angin yang melenakan. Di kelas sudah ada dosen yang mengajar saat aku memasuki ruangan. Aku memang begini, saat suasana di luar begitu mendamaikan, aku akan memperlambat langkah untuk masuk kelas. Jarang-jarang cuaca bersahabat di musim kemarau seperti ini.

Aku mengulas senyum semanis mungkin. Dosen wanita biasanya sangat suka mendapat senyum manis dari mahasiswa prianya. Ini juga hanya teori, karena kenyataannya lebih banyak wanita yang suka duit daripada senyuman. “Emang makan senyum kenyang?” Begitu kira-kira semboyan mereka. Untungnya aku diizinkan masuk. Dan sudah menjadi tradisi di Negeri ini, jika masuk kelas belakangan pasti dapat kursi paling depan. Kursi belakang sudah penuh. Sebenarnya aku juga lebih nyaman duduk di belakang, lebih strategis saat kantuk menyerang.

“Baik, apa ada yang ingin kalian tanyakan pada teman baru kalian?” Bu Evi bicara dengan suara yang bening. Aku melihat ke depan, baru kutahu bahwa di depan ada seorang wanita asing yang berdiri malu-malu. “Tumben anak baru disuruh memperkenalkan diri di depan kelas? Seperti zaman SMA saja,” batinku.

“Sudah punya pacar belum?” celetuk Rudi bersemangat. Disusul suara gaduh kelas karena ulah pria humoris itu. Wanita asing di depan kelas hanya tersenyum. Dan, ya Tuhan…. Senyumnya masis sekali. Dan detik itu juga baru kusadar bahwa wanita yang berdiri di depan kelas sangatlah cantik. Indah.

“Rudi, jangan coba-coba menggoda keponakan saya, ya!” sela Bu Evi bergurau. Tenyata keponakan Bu Evi, makanya ada acara perkenalan segala.

“Kan usaha, Bu.” Rudi terkekeh.

“Oh, iya. Tadi namanya siapa? Saya belum tahu,” serobotku.

“Santika.” Suara lembut menjawabnya. Syahdu.

***

“Stop! Wanita adalah cobaan, berhenti memikirkan Santika!” Aku sedang berperang dengan perasaanku. “Hati-hati, wanita cantik biasanya membosankan!” Pikiranku terus bergulat. Dan hari itu aku tidak berani masuk kelasku, aku memilih mengambil di kelas yang lain.

Bukannya apa-apa, aku hanya bingung dengan diriku. Aku adalah tipe pria yang dingin terhadap wanita. Aku tidak terlalu peduli dengan makhluk yang katanya diciptakan dengan sejuta keindahan itu. Tapi, sejak aku melihat senyuman Santika, tiba-tiba ada yang lain. Aku terus-terusan memikirkannya. “Mending kalau dia juga memikirkanku,” rutukku dalam hati. Ah, bukan. Bukan itu masalahnya. Tapi, kurasa aku tertarik dengannya. Dan ini bahayanya. Aku benar-benar tidak ingin jatuh cinta dalam waktu dekat ini, jatuh cinta hanya akan menguras energiku. Bisa membuat otakku membeku dan tak dapat bekerja maksimal lagi. Jelas itu akan sangat merugikan seorang penuntut ilmu sepertiku. Lagipula, aku sangat anti pacaran. Kalau jatuh cinta tapi belum berani menikah, kan solusinya pacaran. Bisa berabe kalau aku harus pacaran.

“Tidakkkk!” Aku mencoba menepis semua perasaanku. Aku harus menjadi seorang Muslim sejati. Pacaran kan dilarang agama. Tidak boleh, tidak boleh. “Tapi, kalau dipikir-pikir, jatuh cinta kan gak harus pacaran.” Hatiku mencoba melakukan pembelaan. Iya juga. Asal aku bisa mengendalikannya, dan menyimpannya rapat-rapat, aman. “Haha.” Aku tertawa. Akhirnya kutemukan solusinya.

***

“Rama, ini buat kamu.” Sebuah suara memaksaku berhenti mengetik makalah. Makalah sialan. Siang nanti mau dipresentasikan, tapi sudah jam 09.00 belum kelar juga.

“Buat aku? Dalam rangka apa?” Aku kebingungan. Cepat-cepat kubuang pandangan saat kulihat senyum manis Santika merekah. Senyum itu yang bisa membuatku sengsara.

“Hadiah untuk seorang kutu buku.” Santika duduk di sebelahku tanpa meminta izin. “Sudah dua bulan aku di kelas ini, tapi kamu tidak pernah mengajakku ngobrol? Padahal kita memiliki kesamaan. Sama-sama suka membaca buku,” lanjut Santika membuatku terkejut. “Ngobrol? Aku bahkan ingin kamu segera pindah dari kelasku,” ucapku dalam hati.

“Kamu misterius, ya? Kenapa kamu suka buku?”

“Karena aku tidak suka wanita,” jawabku reflek.

“Hah? Jadi kamu homo?” Santika mengerutkan dahi. Astaga! Apa yang aku ucapkan? Aku jadi gugup sendiri dibuatnya.

“Bu.. bu, bu, bu, bu, bukan…” sanggahku sambil menghembuskan nafas dan tersenyum secara bersamaan. Gila. Kenapa jadi seperti ini? “Aku hanya becanda saja. Kamu tidak biasa becanda, ya?” Akhirnya aku menemukan kata yang tepat untuk mengarahkan pikiran Santika. Kucoba sekuat mungkin untuk bersikap biasa saja.

“Biasa, sih. Tapi, kamu tidak terlihat sedang becanda. Hahaha.” Gelak tawa Santika terdengar nyaring. Aku tersenyum. Wanita ayu itu pun bangkit dan meninggalkanku sendiri.

Tak sabar kubuka bungkusan ukuran sedang pemberian  Santika. Kurobek-robek kertas pembungkusnya. Kuperhatikan dengan seksama. Aku benar-benar tidak menyangka. Sebuah gambar dalam bingkai yang indah. Lukisan yang membuat jantungku terlonjak hingga menubruk plafon kelas. Astaga. Seperti mimpi saja. Itu gambarku sedang membaca buku di kursi, kaca mata andalanku juga terukir indah di sana. Untuk apa Santika melukisku? Dan seni seperti apa yang ia kuasai hingga bisa menggambar sebagus ini? Untuk apa juga dia memberikan ini untukku? Apa dia tertarik denganku?

“Huhhhff…” Kusandarkan punggungku pada kursi. “Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?” Bayang Santika terus menggoda. Senyum indahnya tergambar jelas di pelupuk mata. Suara-suara lembut begitu membuai kalbu untuk segera dapatkan cinta. Aku seperti terperosok di bibir jurang dan hanya ada Santika di tepi jurang itu. Dia melambaikan tangan. Dan aku…

“Waw! Lukisannya bagus banget. Kamu terlihat lebih keren dalam lukisan.” Suara Raflan membuatku terlonjak. “Siapa yang ngelukis?” lanjutnya bertanya.

“Santika,” jawabku datar.

“Kamu menyukainya?”

“Apanya?”

“Santika.”

“Entahlah.”

“Wajar. Santika pantas membuat lelaki cerdas sepertimu jatuh cinta. Tapi aku yakin, dia tidak akan mampu membuat keimananmu goyah.” Raflan tersenyum. Pemuda pegiat Qiyamul Lail itu menatapku penuh arti. Aku merasa memiliki kekuatan. Raflan membuatku lebih tenang.

“Jika kamu sudah seyakin itu, aku bisa apa?” tuturku bersemangat. Kami tertawa. Tawaku dan Raflan membuat garis kekuatan baru untuk membentengi cinta yang datang bukan pada waktunya.

***

Entah sudah berapa juta daun yang gugur mengiringi bergulirnya waktu. Dan angin selalu setia mengusik hidup dan mati mereka. Hujan berderai-derai melapukkan mereka hingga melebur dalam wujud yang baru. Dan akar mencaplok wujud baru itu sebagai makanan yang lezat.

Hidup ya seperti itu, berputar-putar. Tapi sayangnya aku bukan daun. Aku lebih perasa rupanya. Perputaran membuatku pening. Kalau saja aku tak mengenal Tuhan, pasti aku sudah tersungkur dan tak dapat merangkak lagi.

Sudah tiga tahun aku meninggalkan dunia kampus. Lulus dan bergelut dengan rutinitas baru yang selalu kucoba untuk menikmatinya. Lalu sekarang aku kembali lagi, bukan kembali pada kampus, tapi kembali pada cinta. Cinta yang pernah menyambarku saat kuliah dulu. Kini Santika kembali menyambarku. Tapi tidak sendiri. Dia menyambarku bersama dengan Raflan, sahabat terbaikku. Baru sekitar dua bulan tidak kudengar kabar mereka, kini nama mereka mendatangiku dalam lembar undangan pernikahan.

Apa ini yang dinamakan takdir? Apa memang Raflan dan Santika memang diciptakan untuk bersama? Apa semua ini sudah tertulis di lauh-mahfudz? Aku benar-benar tidak menyangka. Kenapa harus Raflan? Aku seperti terhianati oleh keyakinanku selama ini, keyakinan bahwa Raflan adalah manusia terbaik yang pernah kutemui. Seharusnya dia tahu, hatiku akan sesakit ini saat melihat kenyataan.

Langkahku gontai. “Hufft .… . Aku harus tegar.” Aku berjalan sebaik mungkin. Memasang wajah seceria-cerianya. Berusaha untuk memberi senyuman terbaik untuk sahabat terbaikku. Aku ambil jalan berbeda dari tamu-tamu lainnya. Aku lewat belakang. Aku sengaja tidak ikut saat akad nikah dijalankan. Tidak terbayang, betapa sakitnya hati ini jika harus menyaksikannya.

“Hei, ada tamu tidak diundang rupanya.” Sebuah suara familiar memaksaku untuk menoleh. Raflan. Dupp. Entahlah, jantungku seperti dipalu saja rasanya. “Kenapa lewat belakang?” Aku tidak pedulikan pertanyaannya. Aku memeluknya erat-arat seolah ingin mengatakan “Jaga Santika baik-baik”. Aku tidak kuat membendung air mata.

“Kamu menangis?”

“Aku terharu, sahabatku sudah menikah rupanya,” jawabku asalan. Raflan mengernyikan dahi.

“Kamu tidak bahagia dengan pernikahanku?”

“Kenapa kamu asal menebak begitu?” Aku berusaha menyeka air mata.

“Mas, lama banget ke kamar mandinya?” Sebuah suara lembut mebuatku dan Raflan menoleh bersamaan. Seorang wanita dengan busana pengantin Islami terlihat gugup. Aku tertegun.

“Siapa dia?”

“Isteriku.”

“Kamu becanda? Bukankah isterimu Santika?”

“Hahaha. Bukan Santika, tapi Zantika,” tegas Raflan. Aku jadi bingung dibuatnya. “Oh, oh. Jadi ini yang membuat si kutu buku terlihat tidak suka dengan pernikahanku? Astaga …. Yang di undangan itu salah ketik. Ya, salah percetakannya. Seharusnya Zantika, ditulis Santika. Tapi karena sudak terlanjur cetak banyak, mau apa kagi? Kamu salah sangka rupanya. Hahaha.” Raflan terpingkal. Aku tersenyum. Malu rasanya. Tapi senang juga.

“Siapa Santika, Mas?” tanya isteri Raflan, Zantika.

“Aku Santika.”

Aku kaget bukan kepalang. Suara yang sangat kukenal. Kubalikkan badan. Darahku berdesir seketika. Dari mana datangnya Santika, tiba-tiba sudah berada di belakangku?

“Aku tadi membuntutimu saat kamu ke belakang,” ucap Santika. Aku hanya bengong.

“Rama, kamu sudah terlukis di hatiku, maukah kamu mengambil lukisan itu?” Santika kembali bersuara. Kali ini darahku tidak lagi berdesir, tapi berombak dalam pembuluh darah. Jantungku mau meloncat rasanya. Hatiku, entah apa rasanya, terlalu sulit untuk digambarkan. Raflan mendekatkan bibirnya di telingaku, ia berbisik lirih,“Sekarang cinta datang pada saat yang tepat, tunggu apa lagi?” Aku tersenyum gugup. Tidak menyangka akan ada kejutan hebat seperti ini.

“Iiiiiiii, iya, insyaalah aku akan ambil lukisan itu.”

“Kapan?”

“Eee.. Insyaallah, nanti malam.

“Koper Hitam”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Tanah tempatku berpijak dijuluki “Bumi Petani”.  Di sini aku lahir, menghirup udara dan melanjutkan wasiat orang tua. Wasiat yang tidak ditulis, tidak pula diucapkan. Sudah mengakar. Mati jika tak sudi menggenggamnya.

Bapakku sudah sirna. Lebur di lambung bumi. Mungkin saja ia sudah terbawa air, dan ditenggak akar kamboja. Sudah lama, sejak usiaku dua puluh tahun. Sejak itu wasiat harus digenggam. Walau tangan harus berkapal-kapal, robek, perih, tapi tidak akan kulepas. Aku tak tahu apa-apa tentang dunia, bapak hanya mengajariku cara menggenggam cangkul, golok, dan arit. Itulah wasiat darinya. Cita rasa seni yang kumiliki hanya seni bercocok tanam. Mungkin hanya aku yang menganggap bertani adalah seni. Aku punya alasan yang kuat. Karena di tanah lahirku ini, jika tak kuanggap bertani adalah seni, maka tak akan bisa kurasakan indahnya bekerja. Terpanggang matahari tentu bukan hal yang sepele. Keringat yang harus terkuras sepanjang hari, otot yang tak sempat mengendur lagi, juga luka yang teramat sulit dihindari, nyaris tak bisa dielakkan. Tapi saat kutuai hasinya, tak ada harganya. Aku bisa apa? Aku tidak tahu tentang dunia. Jadi, kuangap saja bertani itu seni, seniman tak terlalu mempedulikan uang, tapi lebih terpukau nilai-nilai estetika perjuangannya.

Di Bumi Petani hujan adalah sumber kehidupan. Gemah ripah loh jinawi, itu yang kami impikan saat langit menangis. Singkong yang tak sungkan-sungkan tumbuh gemulai, padi yang serempak menghijau, dan pohon karet yang tak pelit akan getah, membuat harap berjejalan di dada. Tergambar masa yang indah, saat anak-anak kami tak lagi menangis karena lapar, mereka tumbuh dengan sehatnya, matanya berbinar cerah. Masa kering, masanya tirakat. Terik panjang merenggut segalanya. Membuat anak-anak kurus_ceking,  dan banyak berdiam diri di rumah. Matanya sayu menatap heran, kenapa bapak tidak lagi ke ladang?

Di Bumi Petani, setiap lima tahun sekali kami mengadakan ritual. Kami menyebutnya “Pesta Bumi”. Ini karena bumi akan menyongsong babak barunya. Ia akan memiliki sosok baru yang berkuasa di atasnya. Sosok idealis yang menjadi menara harapan umat. Yang terpancang tegak, dan menjadi tempat berpegang saat beliung kehidupan datang menjajah. Di Pesta Bumi itulah kita dapat melihat orang-orang aneh bermunculan. Berduyun-duyun menenteng koper hitam.

“Dalam koper ini berisi ini, ini, dan ini.” Nyanyian rutin yang sudah mengurat-akar. Mereka menawarkan isi koper, dan bermaksud agar kami mau menukarnya dengan suara.

Sayangnya kami harus melongo berulang-ulang. Mengelus dada setiap harinya. Kami hanya dibuali. Ditipu secara rutin. Mereka seperti penjual yang tak berpekerti. Memberi janji-janji agar pundi-pundi suara kami dapat mereka kantongi. Setelah itu, mereka menjarah segalanya. Dan yang paling tak bermoral, mereka menjarah harapan yang telah kami kumpulkan dengan susah payah.

Aku masih ingat dengan kelakuan si Udin, pengusa Bumi Petani yang dalam hitungan hari akan kadaluarsa itu. Ia dulu naik ke atas panggung, menyejajari dua pesaingnya, Kadir dan Johan. Ia letakkan koper hitam di atas meja, dan dengan sangat berwibawa berujar,”Aku punya rahasia besar. Dalam koper ini ada lumpur ajaib, jika disiramkan ke jalan akan membuatnya hitam seketika. Halus dan kokoh tiada tanding. Bisa dilewati truk raksasa dengan muatan seratus ton. Dan mampu bertahan hingga satu abad.” Kami takjub bukan main. Terbayang jelas di pelupuk mata, jalan Bumi Petani yang berlubang-lubang, berlumpur, yang sangat sulit dilewati saat hujan datang, akan berubah seketika oleh lumpur ajaib dalam koper hitam itu. Jalan akan menjadi hitam, halus, dan kokoh hingga seabad. Pastinya hasil bertani kami akan mudah dijual di negeri seberang, dengan harga yang meninggikan hidup kami. Dan harga barang-barang industri akan turun karena biaya transportasi yang lebih murah. Duuuh, indahnya … .

Apa yang ada dalam koper hitam Udin jauh lebih berharga dari milik Kadir dan Johan.  Kadir hanya menawarkan air sakti yang bisa menyembuhkan kusta, sebenarnya cukup menggiurkan. Sedangkan Johan menawarkan ramuan dari Cina yang bisa membuat anak-anak kami menjadi pintar, juga sangat menarik. Tapi, Udin seolah menawarkan hujan saat kami tercekam kemarau panjang. Kami bosan dengan jalanan yang ancur-ancuran. Kami ingin seperti yang lain, dapat berkendara tanpa mengalami retak tulang, seperti naik pesawat terbang, alus. Juga dapat mengusung hasil panen dengan mudah. Udin benar-benar tahu harapan petani. Aku bahkan menangis haru dengan apa yang dijanjikan Udin, aku terpesona habis-habisan.

Tapi … .

Tetanggaku bilang Udin itu pembohong. Hingga masa kekuasaannya akan habis, jalanan masih saja begini. Tubuh terseok-seok saat melewatinya, kadang terjungkal. Tak hanya retak tulang, tapi remuk tulangnya. Lumpur ajaib itu ternyata lumpur sungguhan. Ya, jalan kami benar-benar berlumpur. Kutatapi setiap hari, tapi tak kunjung juga menghitam. Malah harapan dan suara kami yang jadi hitam, hangus oleh mitosnya si Udin.

Dulu, sebelum si tukang tipu yang bernama Udin berhasil memperdayai kami, sebenarnya kami juga sudah kena tipu yang menyakitkan. Tertipu oleh Pak Muzar dan isi koper hitamnya. Pak Muzar yang terpandang itu bilang jika di dalam kopernya ada tongkat. Tongkat yang ia dapat saat kuliah di London. Ia bilang, dengan tongkat antiknya, getah karet yang kami kumpulkan dari kebun bisa disulap jadi berbagai komoditi layak jual. Bisa jadi ban, ember, sepatu, sandal, dan lain-lain. Dengan begitu, getah karet kami akan melonjak harganya. Kata Pak Muzar,”Harga karet akan naik seratus kali lipat.”

Takjub tak terkira yang kami rasakan. Kami bisa sejahtera berkat tongkat antik dalam koper itu. Bahkan aku menebak, Pak Odon yang kebun karetnya berhektare-hektare, bisa jadi orang paling kaya di dunia. Kami menukar suara kami dengan janji Pak Muzar, dan berharap kami bisa untung berlipat-lipat. Tapi, entah apa yang terjadi. Abra Kadabra, tongkat itu benar-benar sakti tak tertandingi. Harga karet turun drastis, dari Rp. 23.000 menjadi Rp. 5.000 per kilonya. Ya ampun, tongkat dari London benar-benar membawa aura sihir yang menakutkan, seperti kutukan.

“Sudahlah, setidaknya Pak Muzar bisa membuat pertunjukan sulap yang hebat. Itung-itung untuk hiburan,” kekeh Mbah Karsan, sesepuh kampung yang terkenal keikhlasannya.

Kata Adnan, teman baikku, sebenarnya pemimpin itu kerjanya gampang. Sumber devisa begitu banyak dan ada di depan mata, tinggal pintar-pintar membuat anggaran. Aku jadi teringat dengan Aminah, isteriku yang begitu lembut. Dia tidak pernah makan bangku sekolah, menjilatpun tidak. Tapi, beras sepuluh kilo dan uang Rp. 100.000 bisa cukup untuk satu bulan, tanpa ada kas bon sama sekali. Padahal kami memiliki tiga anak dalam fase kemaruk. Di sini poinnya. Artinya, isteriku itu jago dalam membuat anggaran, keadaan telah menempanya hingga menjadi seorang manager keuangan adiluwih. Juga kemampuannya mempengaruhi kami, agar hidup jangan berlebih-lebihan, syukur harus meroket. Timbulah pikiran nakalku. Bagaimana kalau isteriku aku calonkan jadi pemimpin Bumi Petani? Jelas ia pakar soal anggaran. Tapi mana bisa? Pendidikan formal adalah syarat mutlak jika ingin jadi penguasa Bumi Petani, minimal sarjana. Lagi pula, biayanya terlampau mahal. Bisa habis trilyunan untuk kampanye dan urusan administratif lainnya. Ongkos dari mana?

Ngomong-ngomong soal minimnya anggaran dalam keluargaku, itu karena “Pesta Bumi”. Aku yang digigit trauma atas janji-janji para penguasa, akhirnya mengambil langkah ekstrim. Hasil panen kujual semua guna membayar orang pintar untuk mengajari anak sulungku hal yang luar biasa. Kuminta para orang pintar itu untuk mengajari anakku ilmu mempertajam mata. Agar anakku bisa melihat benda-benda yang tersembunyi, di balik tembok sekalipun. Tujuannya jelas, yaitu agar anakku bisa melihat isi koper hitam yang ditenteng para calon penguasa. Biar kutahu pasti, mana yang kopernya benar-benar berisi.

***

Penduduk Bumi Petani tampak kuyu saat beranjak dari rumah masing-masing. Dengan malasnya mereka berbondong–bondong ke TPS (Tempat Penjualan Suara). Mata mereka memancarkan sorot traumatik yang mendalam, sama persis dengan mataku. Kami takut rugi lagi dalam transaksi ini. Suara hanya terbuang sia-sia, janji tak kunjung juga menunjukkan buahnya. Tapi, jiwa petani adalah jiwa yang penuh dengan harapan. Bahkan, harapanlah yang membuat kami bertahan hidup. Walau dikhianati beribu kali, kami akan tetap berharap. Berharap pada koper hitam musiman yang ditenteng orang-orang aneh. Berharap kali ini koper hitam itu benar-benar berisi keajaiban.

Kali ini ada tujuh makhluk yang meneteng koper hitam. Jumlah yang fantastis. Pakaian mereka hampir serupa. Celana hitam, kemeja merah, dasi kuning, dan jas pink. Hanya alas kaki yang berbeda. Dengan berwibawa naik ke atas panggung. Menatap tajam. Seolah ingin meyakinkan kami, bahwa mereka adalah wakil Tuhan. Koper hitam diletakkan di atas meja masing-masing. Hitam pekat. Seolah habis menyerap dosa-dosa seluruh penduduk bumi. Aku coba menebak-nebak, sepertinya kali ini akan ada yang menawarkan kacang ajaib, sekali telan kenyang selamanya.

Anak sulungku sudah bersiap siaga, konsentrasi penuh. Nafasnya teratur. Matanya tajam mengancam koper-koper hitam di atas meja. Kuamati baik-baik tingkah anak itu. Sekejap tubuhnya menggigil. Matanya terbelalak. Lalu terduduk pucat pasi. Semua berlangsung begitu cepat. Aku panik dibuatnya.

Anak sulungku mengalihkan pandangan. Ia menatapku ketakutan. Kucoba membuang rasa panik jauh-jauh. Kucengkeram kedua pundaknya kuat-kuat.

“Bagaimana, ada isinya tidak?”

“Koper-koper itu…” Suara anakku tercekat. Aku berdebar penasaran. “Kopernya… berisi tuyul semua, Yah. Hati-hati! Mereka akan mencuri uang kita.”

Dummmm. Kepalaku seperti ketiban palu. Pening, berat teramat sangat. Bocah-bocah botak berkain popok tiba-tiba berlarian mengelilingiku sambil mengibas-ibaskan uang. Dan, gelap … .

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Hidup”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Banyak orang yang bingung mengartikan hidup. Adikku, Nabilla, selalu meprotes saat aku katakan,”Hidup itu kebahagiaan.”

“Kalau hidup itu kebahagiaan, mana mungkin Tuhan menciptakan rasa pedih?” bantahnya.

Benar apa yang dikatakan Pak Nuha,”Hidup itu sesuai dengan keyakinan kita. Dan keyakinan kita berasal dari apa yang kita rasakan.” Aku yakin marah itu ada, karena aku pernah merasa marah. Aku percaya benci itu ada, karena aku pernah membenci. Lalu, apakah Tuhan itu ada, sedangkan aku tidak pernah merasakan keberadaan Tuhan di dunia ini? Dua tahun yang lalu, pamanku dan juga keluarganya meregang nyawa dengan sangat mengenaskan. Rumah mereka disatroni perampok dan mereka dibunuh tanpa ampun. Ke mana Tuhan? Kenapa Tuhan tidak menolong mereka? Bukankah paman adalah seorang imam masjid yang begitu taat kepada-Nya. Uji, anak sulung paman juga adalah seorang hafidz sejak usia 17 tahun. Tapi kenapa Tuhan membiarkan dia ikut dibantai?

Aku heran, kenapa di dunia ini seringkali terjadi pertumpahan darah yang mengatasnamakan agama. Semua mengklaim bahwa mereka bertarung untuk Tuhan. Dan semua mengharapkan surga setelah gugur dalam pertempuran itu. Sebenarnya apa mau Tuhan? Kalau Tuhan benar-benar ada, kenapa Dia tidak menciptakan perdamaian di dunia ini? Menciptakan kehidupan yang tentram dan aman dalam kerukunan umat. Hidup dalam kasih-sayang yang kekal. Bukankah itu lebih sesuai dengan  sifat Tuhan? Ya Rahim.

Dulu, saat masih kecil, aku begitu rajin pergi ke mushola. Bersama anak-anak tetangga aku belajar mengeja huruf hijaiyah. Aku begitu semangat mendengar kisah Nabi Isa bertarung dengan Dajjal. Lalu ketakutan saat membayangkan betapa tajamnya jembatan Siratal Mustakim. Juga terpana dengan perjalanan Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Aku benar-benar menikmati semua itu.

Kini, aku terasing. Dalam jeruji besi aku hanya tertunduk lesu. Membayangkan tentang kehidupan seperti apa lagi yang akan aku hadapi. Aku di sini karena sebuah kebenaran. Setidak-tidaknya, aku merasa tindakanku benar. Walau aku seorang pembunuh, tapi aku membunuh demi harga diri adikku. Kakak mana yang terima jika adiknya dicemari? Nabilla adalah anak yang baik, cerdas, dan juga rajin ibadahnya. Tapi, seseorang yang sangat kuhormati dengan biadab memperkosanya. Di mana Tuhan? Bukankah Nabilla seorang muslimah yang begitu menjaga auratnya? Jilbabnya lebar dan pakaiannya begitu tertutup, sama sekali tidak menampakkan lekuk tubuh. Bukankah Tuhan menyuruh muslimah menjulurkan jilbab agar mereka mudah dikenali dan tidak diganggu? Tetapi kenapa Nabilla malah diperlakukan dengan amoral? Di mana sebenarnya Tuhan?

“Makan dulu, Dik!” Pak Nafas menegurku. Pak Nafas adalah salah seorang pejabat Negara yang harus mendekam dalam bui karena fitnah. Sebuah makar dahsyat akhirnya berhasil memperosokkannya di kurungan para pecundang. Padahal dia adalah seorang ustadz, yang begitu santun dan derma terhadap sesama. Pak Nafas begitu peduli denganku, ia banyak bercerita tentang dirinya, dan juga kehidupan keluarganya yang begitu harmonis. Mungkin jika tidak ada dia aku sudah nekad bunuh diri. Apa saja akan aku gunakan sebagai media untuk mengakhiri hidup. Tapi Pak Nafas dengan kalem menohok kesadaranku,”Apa kamu yakin kamu tidak akan hidup lagi setelah mati? Bukankah kamu sudah merasakan sendiri bahwa kamu dulu tidak hidup, kemudian dihidupkan? Nah, kalau ternyata kamu nanti hidup lagi bagaimana? Dan ternyata kamu hidup di dunia yang lebih mengerikan dari pada bumi ini?”  Otot-otot tubuhku terasa nyeri rasanya. Aku tiba-tiba begitu takut dengan kehidupan.

Pak Nafas yang begitu telaten merawatku. Mungkin orang-orang yang lain mulai menganggapku tidak waras, tapi Pak Nafas begitu yakin bahwa aku hanya terpukul. Cepat atau lambat akan sembuh rasa sakitnya. Ia memperlakukanku seperti keluarganya sendiri, walau aku sama sekali tidak mau berbicara padanya, pada siapapun. Aku hanya merasa takut akan hidup ini. Aku ngeri sepanjang hari. Aku merasa bahwa aku hanyalah makanan empuk kehidupan, yang jika lengah akan terlahap dan terkunyah-kunyah.

***

Aku melihat adikku menangis. Gadis yang baru mengenyam bangku kuliah itu begitu ketakutan, badannya gemetar.

“Aku diperkosa, Kak,” lirihnya.

“Hah! Biadab! Siapa yang melakukannya?” Emosiku meluap menembus ubun-ubun. Nabilla hanya menangis sesenggukan.

“Katakan, Billa! Katakan siapa yang melakukannya!” Kugoncang-goncang pundak adikku satu-satunya itu. Aku benar-benar tidak terima atas perlakuan yang diterima adikku.

Aku melompat setelah mendengar ucapan Billa. Dengan gesit kusambar pisau di dapur. Dengan cepat aku melejit ke rumah Pak Ma’ruf.

“Dasar dosen bajingan!” makiku setelah kuterobos masuk ke dalam rumah dosen yang juga pernah mengajarku itu. Kudapati pria berjenggot itu sedang makan malam bersama isteri dan dua orang anaknya. Tanpa banyak bicara langsung kuhujamkan pisau dapur ke dadanya berkali-kali. Hingga pria yang tampak terkejut dengan kedatanganku itu sempoyongan bersimbah darah, dan akhirnya kelojotan di lantai diiringi jerit tangis isteri dan kedua anaknya yang masih kecil. Ruang makan sekejap menjadi sangat mencekam. Tatapan memelas memancar pada mata isteri dosen amoral itu. Jantungku berdetak tidak beraturan. Aku baru sadar apa yang aku lakukan, aku telah menghilangkan nyawa dosen yang dulu pernah menjadi dosen favoritku. Tapi apa salahku? Dia hanya seorang pemerkosa. Nafasku sesak. Aku berlari ke luar rumah dan terus berlari. Berlari hingga aku megap-megap tidak kuat lagi. Syarafku terasa terpreteli satu per satu. Hingga kurasa detik selanjutnya pria-pria berseragam menyeretku. “Tidakkkkk………..!” teriakku. Aku begitu ketakutan. Kurasakan dunia begitu mengerikan. Para tuyul berlarian menertawakanku. “Tidakkkkk…………..!”

“Tenang, Dik! Tenang! Bangunlah! Kamu mimpi buruk rupanya.” Aku menatap sekeliling. Tembok dengan warna berantakan dan pagar besi yang kulihat. Pak Nafas dengan wajah teduhnya menatapku dengan panik. Hingga kurasa wajah teduh itu perlahan buram. Dan akhirnya hilang seketika.

***

“Di mana Tuhan? Di mana? Kenapa Dia membiarkan adikku dijamah pria sialan itu? Kenapa paman dan keluarganya tidak ditolong saat para penjahat membunuhnya? Kenapa Tuhan membiarkanku dipenjara seperti ini? Kenapa, Pak? Kenapa?” Aku mengamuk saat Pak Nafas menemuiku. Pria berwajah lembut itu sudah keluar dari tahanan. Aku tidak tahu sudah berapa tahun aku terkurung dalam ruang penderitaan itu. Bergelut dengan tembok kotor yang terus-terusan tersenyum kecut kepadaku. Apalagi setelah Pak Nafas sudah tidak ada lagi, aku semakin ketakutan. Aku rindu wajah teduhnya yang sedikit bisa mengurangi rasa takutku.

Dua orang petugas memegang tanganku kuat-kuat. Mereka khawatir aku akan memporak-porandakan ruang besuk itu. Tapi Pak Nafas memberi isyarat agar aku dilepaskan. Aku terduduk di hadapan pria yang pernah satu jeruji denganku. Air mataku meleleh. Mungkin aku memang benar-benar sudah gila. Tapi aku sadar aku tidak gila. Aku hanya merasa takut, sangat takut.

Dari lobang jendela kulihat orang-orang yang sangat aku kenal. Mereka adalah ayah, bunda, dan adikku Nabilla. Nabilla terlihat sangat dewasa. Dia sangat cantik dan anggun. Deraian air mata terus-terusan membanjir di wajah mereka. Mereka menatapku. Ya, menatapku di balik derasnya air mata.

“Besok kamu bebas, Dik. Bersiap-siaplah! Kita jalani hidup yang lebih baik.” Aku tertegun. Aku akan bebas? Akhirnya aku akan keluar dari tempat mengerikan ini. Tapi, bukankah kehidupan sama saja? Di mana pun tempatnya hidup hanyalah gambaran apa yang pernah aku rasakan, menakutkan.

“Apa kamu masih percaya Tuhan, Dik?” Pak Nafas menatapku serius. Aku menggeleng.

“Sama, aku juga tidak percaya Tuhan.” Aku tertegun. Mana mungkin Pak Nafas tidak percaya Tuhan? Selama di penjara hari-harinya hanya untuk ibadah, dzikir hampir-hampir tak pernah berhenti dari mulutnya. Sekarang dia mengatakan bahwa dia juga tidak percaya Tuhan? Apa-apaan ini?

“Tapi percaya atau tidak percaya akan Tuhan, tetap saja Tuhan itu ada. Sehingga mau tidak mau aku akhirnya percaya pada Tuhan. Kamu tidak percaya Tuhan karena kamu tidak merasakan keberadaannya, kan? Bagimu bukti yang ada di semesta dan juga firman-Nya hanya bualan semata, dan Tuhan tidak pernah menunjukkan keberadaannya. Itu masuk akal. Tapi ingat, Tuhan bukan makhluk, Tuhan bukan ciptaan. Tuhan bukan amarah, yang walaupun tidak berbentuk tapi bisa kamu rasakan. Tuhan lebih dari segalanya. Gunakan hatimu untuk merasakannya. Luangkan waktu, cari tempat yang tenang untuk bertafakur, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad di gua Hira. Gunakan pengetahuanmu untuk membantu. Lalu rasakan betapa Tuhan itu ada.” Aku mengikuti arah pembicaraan Pak Nafas. Benarkah apa yang dikatakannya? Sebenarnya akalku membenarkan keberadaan Tuhan, tapi hatiku tidak.

“Bisa saja Tuhan memberikan tempat yang lebih baik untuk pamanmu dan keluarganya. Tuhan tahu yang terbaik untuk makhluknya. Toh, ada atau tidak adanya kejadian itu, pamanmu dan juga keluarganya juga akan mati, benar kan? Juga adikmu, jika ia bersabar atas musibah yang menimpanya, tentu Tuhan akan meninggikan derajatnya di atas orang-orang pada umumnya. Semakin taat seeorang pada Tuhannya, maka ujian keimanannya akan semakin berat. Adikmu beruntung mendapat ujian yang berat, itu artinya ia memiliki kesempatan untuk lebih dekat pada Tuhan jika dia mengerti maksud Tuhan.” Pak Nafas memberi pengertian padaku. Aku merunduk, merasakan kebimbangan yang teramat sangat. Perlahan kutatap wajah pria setengah abad itu.

“Lalu bagaimana denganku?” lirihku. Pak Nafas tersenyum.

“Jika akhirnya nanti kamu dapat merasakan keberadaan Tuhan, maka keimananmu tidak akan ada duanya.” Tatapan Pak Nafas begitu tajam. Ia menukik dalam jantungku. Dan aku menyadari sesuatu, aku rasa ada Tuhan di sisiku. Ya, Tuhan yang telah menggerakkan hati Pak Nafas untuk menguatkan hatiku. Tuhan yang telah membuat pria mantan narapidana itu masih saja peduli denganku.

***

Udara terasa begitu sejuk walau matahari bertengger dengan gagah di langit Timur. Daun beringin melayang meninggalkan ranting diterpa angin. Burung gereja mencicit berkejar-kejaran, tampak bangga dengan sayapnya. Langit, oh langit. Betapa aku sudah lupa cara mendakinya. Padahal dulu aku ada di sana, menggantungkan setiap impianku pada bintang-bintang yang bersinar terang. Berharap suatu saat akan kembali lagi untuk memetiknya.

Dua ekor cicak terlihat saling serang di cabang pohon yang besar. Mengingatkanku pada protesku akan peperangan. Tapi kini aku sadar, perang dan segala macam kerusuhan di dunia ini, itu karena manusia sendiri. Ya, manusia diberi kekuasaan untuk berbuat, hak untuk memilih. Baik atau jahat seseorang itu karena dia memilihnya. Karena banyak manusia yang memilih menjadi jahat, maka harus ada orang-orang yang memilih menjadi baik. Dan akhirnya dua kekuatan besar itu dipertemukan di medan laga, untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat. Yang baik bertarung untuk kebenaran, untuk Tuhan, dan yang jahat bertarung untuk nafsu, untuk syetan.

Kuhirup udara sekuat-kuatnya, dan kuhembuskan perlahan. Kurasakan betapa nikmatnya karunia ini. Hidup adalah keyakinan, sama seperti yang dikatan Pak Nuha dulu. Dan aku yakin aku akan hidup dengan lebih baik setelah ini. Karena aku pernah merasakan kebaikan hidup saat masih kecil dulu. Dengan membuang semua keyakinan buruk, dan menggantinya dengan keyakinan yang indah, maka aku akan menjadi sosok yang baru. Ayah, bunda, dan Pak Nafas adalah orang-orang yang telah membuktikannya, bahwa mereka mampu menjalani hidup sampai saat ini, sampai menginjak usia yang tidak muda lagi. Nabilla, dia sudah menikah sekarang. Dengan Fahri, temanku sendiri. Pria jenius dan baik perilakunya. Kulihat seorang gadis kecil menggenggam erat-erat tangan Nabilla. Sangat cantik, seperti Nabilla saat kecil. Benar kata Pak Nafas, Tuhan punya rencana di balik semua kejadian. Hanya tinggal bagaimana kita menyikapinya.

“Dik, ini anak Bapak.” Pak Nafas menunjukkan seorang wanita berkulit bersih, berjilbab dengan anggun, sangat indah. Dia tersenyum ramah dan menganggukkan kepala. Aku mencoba ikut tersenyum.

“Maukah kamu menikahinya?” tanya Pak Nafas mengejutkanku.

Aku tertegun. Gugup. Jantungku mau copot rasanya.

“Gurat Bidadari”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Aku hanya bisa termenung memandangi hamparan sawah yang menguning. Terhuyung-huyung dihempas angin sore yang beraroma matahari. Burung-burung hinggap dengan takut-takut di atas bulir-bulir padi yang menggoda. Mematuk si bernas dalam bayang-bayang orang-orangan sawah. Di depan sana langit lepas terpampang mempesona. Memaksa batin untuk takjub pada Sang Pencipta. Awan yang berarak menutup cahaya membuat lukisan indah di gerbang senja. Disambut debu yang menari-nari diiringi  gemercik air yang berirama bersama daun yang saling bersinggungan. Nyanyian alam yang melenakan insan dalam buai kesejukan. Meneteskan tinta dalam lembaran kisah cinta yang tak terperikan. Inilah hidup, dalam buai bayang bidadari yang mengangkasa.

“Hamid Sandrea, benar?” Tanya sosok wanita di depan pintu rumah.

“Iya, benar. Siapa, ya?” aku sedikit terkejut. Wanita itu tersenyum. Tercetak garis indah di sudut bibirnya.

“Hemmm, aku adalah aku. Aku hamparan tanpa ukiran. Aku bagai lembaran kosong yang menunggu cahaya jatuh. Untuk menerangiku, agar cinta dapat menemukan jalannya di lembaran kosongku.”

Aku takjub. Aku tahu siapa wanita di depanku. Bibirku pun melantun dengan pasti,”Dan cinta dapat memasuki titik di mana hatiku bersemayam. Lalu cinta melekat di sana. Menjadikan merah darah seelok warna pelangi.”

“Hahahaha…..” Kami tertawa bersama. Tidak kusangka, Hafsa hadir di hadapanku. Dia adalah melodi yang mengiringi kisah hijauku, saat kami bersama-sama merajut persahabatan yang lugu. Entah berapa tahun lamanya aku tidak melihatnya. Setelah ia pindah dan menghilang dari kehidupanku. Kini Hafsa sulit untuk dikenali. Hanya saat ia tertawa, yang mengingatkanku pada Hafsa berpuluh tahun yang lalu. Seorang gadis periang, yang kecantikannya sulit untuk digambarkan. Dan kini, keyakinanku tetap sama, kecantikan Hafsa memang sulit untuk diterjemahkan dengan kata-kata. Ada gurat bidadari di rona wajahnya. Walau bukan bidadari sungguhan, namun saat melihatnya aku dapat menerka-nerka seperti apa bentuk bidadari. Hafsa, dia adalah wajah purnama yang hampir setiap hari menemani masa beliaku. Yang dengan setia menjadi pembaca syair-syair hasil tarian jemariku. Bahkan, ia melekatkannya di ingatan. Hafsa, dia lukisan di rapat senja. Karya artistik keagungan tangan Tuhan.

Aku menatap Hafsa. Ada ngilu merayap di ulu hati. Ada keganjilan yang sekejap menderaku. Kehadiran Hafsa memunculkan benih sesal. Sesal karena seminggu lagi aku akan menikah dengan Nadia. Wanita berkerudung yang bersedia merajut cinta bersamaku setelah melalui proses ta’aruf. Hatiku goyah. Hafsa adalah nada-nada yang ingin kudengar sepanjang masa. Yang kucari-cari sampai ke sarang lebah. Kukira ia diculik kawanan tawon karena disangka madu.

“Astagfirlah..!” Komitmenku diuji. Hatiku berdesis-desis berlumuran bisa.

***

Dering Handphone mengusik lamunanku. Kuraih. “Hasfsa….?” Aku terperanjat. Dengan ragu kuangkat telepon.

“Assalamualakum!” sapaku.

“Walaikumsalam.” Terdengar sahutan lembut. “Di mana, Mid?”

“Eee, aku. Aku sedang tidak di rumah.”

“Terus, di mana?”

“Aku di sawah tempat kita dulu sering mencari keong.”

“Oh. Aku ke sana, ya…!”

“Eh, jangan, jangan! Aku ke rumahmu saja. Ibumu ada di rumah, kan?” Tidak terbayangkan jika harus berduaan dengan Hafsa di pematang sawah seperti ini. Aku sadar sekali, kami bukan anak kecil lagi. Tidak bisa sembarangan berduaan. Hanya akan menimbulkan dosa dan fitnah.

“Iya, ada. Ya sudah,  aku tunggu. Assalamualaikum!”

“Walaikumsalam…..” Telfon dimatikan. Ada kebimbangan yang kurasakan. Entah perasaan apa yang kumiliki untuk Hafsa. Sayang? Cinta? Rindu? Apa ini? Jika mengeluh bukanlah hal yang dibenci Tuhan, tentu aku akan mengeluhkan sketsa cerita ini. Tentang kehadiran Hafsa menjelang acara pernikahanku.

“Mid, Hafsa itu sering nangis jika rindu sama kamu. Katanya kamu itu seolah bagian dari dirinya. Saat jauh, ya, terasa sulit. Kangen katanya,” ucap ibu Hafsa sambil melirik ke arah anak semata wayangnya itu.

“Iiiiih, Ibu ini apaan, sih? Ngarang cerita,” protes Hafsa.

“Ngarang bagaimana? Lha wong kenyataannya seperti itu, kok,” ibu Hafsa kembali menimpali. Membuat wajah Hafsa yang bagai bidadari memerah indah. Aku hanya mengulas senyum tipis. Ada tanya yang bertambah mengusik kalbuku. “Apakah Hafsa juga memiliki perasaan sama sepertiku?” Ahh, semoga saja tidak.

Lusa adalah hari pernikahanku, tapi aku belum memberitahukannya pada Hafsa. Aku benar-benar tidak berani mengungkapkan itu. Hafsa telah melekat di hatiku sejak kecil dulu. Dan itu semua menggoreskan kesan yang sulit untuk digambarkan. Yang pasti aku ingin seperti saat kecil dulu, selalu bersama Hafsa.

***

Dengan ragu kuketik sms, “Sa, maaf jika baru memberi kabar. Besok insyaallah aku akan menikah. Maaf juga karena tidak memberimu undangan. Anggap saja sms ini sebagai undangan spesial untukmu. Mohon do’anya, ya!”. Kutarik nafas dalam-dalam. Hatiku seperti dihimpit gunung, sesak. Air mataku jatuh saat kutekan tombol kirim di handphone.

Lama menunggu. Akhirnya ada pesan masuk dari Hafsa.  Aku membacanya dengan penuh keraguan. “Aku terkejut. Dan aku juga senang mendengarnya. Selamat, ya! Semoga menjadi keluarga yang bahagia! Aamiiin!”.

Aku mengawang. Tak tahu harus senang atau pilu. Balasan pesan Hafsa mencipratkan dua rasa sekaligus. Gula dan garam.

***

Mentari pagi tersenyum begitu cerah. Angin lembut menyapa pori-pori tubuh ini. Dingin yang bercampur kehangatan melebur dalam tubuh yang penuh keraguan. Gerombolan burung terbang rendah menyapa dunia. Melewati kuning padi yang melambai pada sang surya. Gemercik air tetap menjadi nada-nada setia yang menghiasi kesunyian. Menemani para petani yang mulai menyabetkan aritnya. Memapas tangkai-tangkai padi dengan begitu lincahnya.

Aku berdiri mematung di pematang sawah. Memandang keindahan alam dan menikmati aroma khas persawahan. Mataku terus berkeliling, meniti setiap jengkal objek yang ada di sekelilingku. Berharap ada bekas-bekas masa laluku bersama Hafsa yang bisa kutemukan.

Aku melangkah. Pulang, dan mempersiapkan diri untuk menikah. Berusaha menguatkan hati, dan percaya bahwa inilah yang terbaik. Tidak perlu lagi mencari bayang Hafsa di pematang sawah, karena ada Nadia, yang bukan hanya sekedar bayangan. Ya, Nadia adalah calon istriku. Yang akan menjadi nada-nada baru di lorong hidupku.

***

Kini, Nadia telah resmi menjadi istriku. Orang baru dalam hidupku, yang harus kucintai dengan ketulusan. Aku memandangi Nadia yang sedang sibuk membongkar isi kado. Nadia begitu anggun dengan jilbab lebarnya. Ada sedikit rasa canggung, malu, dan segala macam perasaan aneh lainnya. Tiba-tiba aku teringat Hafsa. Dan aku pun segera menepisnya. Tapi gagal. Tadi Hafsa tidak hadir di pernikahanku. Ke mana dia? Sakit, kah? Atau….. “Ah, mungkin tadi dia datang, hanya saja aku tidak melihatnya,” bisikku dalam hati.

“Mas, ini ada surat dari dalam kado,” ucap Nadia yang membuyarkan lamunanku. “Kita baca sama-sama, yuk!” serunya. Aku melihat bungkus kado di atas pangkuan Nadia. Aku ambil, dan….. “Hafsa?”

“Ee, eeeee…. Kurasa surat itu untukku. Biar aku saja yang baca, ya!” tuturku. Kulihat ekspresi datar dari Nadia. Ia menyerahkan surat yang ditemukannya sambil mengulas senyum yang dipaksa. Aku jadi serba salah.

“Nadia, nanti akan kuceritakan padamu isi surat ini. Percayalah, Nadia! Aku suamimu.” Aku mencoba tersenyum lebar. Berharap Nadia dapat mengerti.

“Baca, lah, Mas! Nanti aku juga ada cerita untukmu.” Wanita cantik itu tersenyum sambil menyodorkan surat ke arahku. Aku langsung mengambilnya dan mencari posisi agak menjauh.

 

Hamid Sandrea

Sahabat Kecilku

Dari masa lalu kubawa rembulan pemberianmu. Cahaya teduh yang selama ini menyinari hatiku. Kalbu memang sering kali berubah, tapi tidak untuk kalbu yang bertabur cinta yang kuat. Dalam aroma sawah yang tak akan kulupakan, seorang anak belia terus berlari-lari dalam benakku. Hingga ia dewasa, hingga kusadari aku mencintainya.

Mid, aku menangis seharian saat kau kirim sms itu. Kau tahu, aku seakan kehilangan sebagian dari hidupku. Apa yang dikatakan Ibuku adalah apa adanya. Aku memang selalu merindukanmu.

Aku ingin dalam setiap hariku, kau selalu tuliskan puisi untukku. Aku berharap kita masih bisa terus memandangi hamparan sawah yang indah. Berlari-lari di pematang sawah, sambil lafazkan puisi-puisi indah darimu. Aku ingin sebelum tidurku, kau ucapkan kalimat lugumu yang dulu, “Aku akan menjadi pelangi dalam gulitamu”.

Biarlah harap terus jalani perannya. Dan biarlah takdir tentukan arahnya. Dan biarlah aku terus lafazkan puisi-puisi tentangmu. Kini aku sadar, bahwa kau tetap bagian hidupku. Ya, bagian dari perjalanan masa laluku. Kini aku akan berjalan sendiri, menyusuri pematang sawah, dan syairkan kata-kata indah. Aku akan sendiri, dalam buaian kisah masa lalu.

Selamat, ya, Mid!

Hafsa

 

Kurasa ada butir hangat yang merayapi pipiku. Jalan cerita ini sulit untuk dipahami. Apalagi untuk diterima. Sang bidadari terus melayang dalam pikiran. Ia bergelanyut dalam hati. Tetes air matanya membuat nyeri di kalbu.

“Mas, aku tahu apa yang kamu rasakan.” Suara Nadia berhasil menyentakku. Aku terkejut. Apa maksud Nadia?

“Kemarin ada wanita sangat cantik menemuiku. Namanya Hafsa. Ia bercerita banyak padaku.” Nadia menghela nafas. “Aku sempat cemburu saat ia banyak memujimu. Aku merasa kerdil, karena belum banyak yang kutahu tentangmu. Sebelum pergi ia memelukku. Dan dia menangis.”

“Nadia, ini….”

“Husssstttt!” Nadia memotong. “Hafsa berpesan agar aku selalu setia mencintaimu,” lanjutnya.

“Maksudmu?” Aku heran. Nadia mengusap pipiku yang dibasahi air mata. Ia tersenyum dengan lembut.

“Mas, walau aku tidak seperti bidadari layaknya Hafsa, dan aku tidak selembut Ibumu, tapi aku berjanji, aku akan berusaha untuk menjadi wanita yang terbaik untukmu, suamiku.” Tatapan Nadia begitu teduh. Secepat listrik ia menyengat kebekuan darahku. Mengusir gundah dan keraguan yang memenuhi rongga hati.

“Oh, Nadia…. Kau lah bidadariku.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Tuhan Menanti dengan Cinta-Nya”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Aku terjebak di gang sempit. Rasa takut mulai menderaku. Kurasa sebentar lagi sang malaikat maut akan datang untuk mencabut nyawaku. Tubuhku mulai terasa dingin. Sendi-sendi terasa  mau lepas. Dengkul bergetar tidak berdaya. Aku berusaha untuk tenang, dan mencoba mengumpulkan keberanian. Sejenak kutepis bayang-bayang malaikat maut yang terasa begitu dekat. Kutarik nafas dalam-dalam dan kupacu kencang-kencang kaki ini untuk ke luar dari gang. Dan semua seperti mimpi. Aku bagai menggadaikan nyawa. Kurasakan peluru-peluru mendesing di sekitar tubuhku. Aku seolah menanti untuk merasakan saat-saat ketika peluru-peluru itu menembus tubuhku. Namun entah, tak kunjung juga ada peluru yang menghujamku. Malah kurasa suara tembakan semakin berkurang. Tidak kusia-siakan kesempatan itu untuk terus berlari sekuat tenaga.

Aku takjub, saat kulihat di hadapanku batu-batu terbang mengangkasa dari arah yang berlawanan. Ratusan manusia tanpa rasa takut terus melemparkan batu-batu. Kudengar suara takbir bergemuruh. Tiada henti. Menggema di angkasa bersama batu-batu yang terus beterbangan. Tanpa sadar lidahku pun ikut bertakbir,”Allahuakbar!” Kutengok ke arah belakang. Astaga! Pasukan Yahudi semakin bertambah banyak. Tiga tank baja merambat semakin dekat. Batu-batu yang menghujaninya terlihat seperti kapas yang berhamburan. Dan peluru-peluru kembali bermuntahan ke arahku. Aku berlari, dan terus berlari di bawah desingan peluru-peluru yang meredupkan suara takbir. Sempat kulihat tubuh-tubuh pelempar batu itu tumbang satu persatu. Kusaksikan darah membanjiri jalanan.

Kurasakan tubuhku oleng dan menabrak tong sampah di pinggir jalan. Aku tersungkur dan tegeletak tak berdaya. Tubuhku mengigil. Dada kurasa begitu sesak hampir tak dapat bernafas. Pandangan mata menjadi kabur. Masih kulihat samar-samar saat anak-anak kecil lari berhamburan menyerbu pasukan Yahudi. Batu-batu masih saja beterbangan bersama deru peluru yang terdengar begitu menakutkan.

Aku semakin lemah. Pandanganku semakin kabur. Sayu kudengar aluran suara musik. Semakin lama alunan itu semakin kuat.Dan sepertinya aku pernah mendengar nada-nada itu. Dalam ketidakberdayaan aku mencoba terus mengingat. Dan, suara itu memang tidak asing. Aku tahu, itu syair nasyid “Selamat Malam Cinta” miliknya Amole Voice. Setengah sadar aku mencari sumber suara. Ternyata dari handphoneku. Kulihat ada panggilan masuk dari murobbiku. “Astagfirlah! Aku hanya mimpi,” seruku tak percaya. Kuraih handphone dan langsung kupencet tombol terima.

“Assalamualaikum!” Terdengar suara yang sudah tidak asing bagiku. Suara kak Andi, murobbiku.

“Walaikumsalam,” jawabku yang belum sepenuhnya sadar.

Ahki, udah qiyamul lail belum?” tanya kak Andi.

“Belum, Kak. Ini baru bangun tidur.”

“Ya udah, buruan wudhu, terus qiyamul lail!”

“Iya, Kak. Terimakasih udah diingetin!”

“Siiiip. Ya sudah, assalamualaikum!” tutupnya.

“Walaikumsalam..” Aku melihat jam di handphoneku, tepat pukul 02.00. Aku beruntung memiliki murobbi yang begitu peduli. Yang sudi membangunkan anak-anak binaannya hanya untuk mengingatkan agar sholat Tahajjud. Subhanallah! Inilah ukhuwah.

Aku teringat kembali dengan mimpiku barusan. Seperti nyata. Aku kagum dengan keberanian para mujahid Palestina yang tak gentar menghadapi kekuatan Yahudi. Mereka seolah tidak takut dengan kematian. Tidak sepertiku, yang begitu ketakutan saat kurasa peluru-peluru melayang di atas kepalaku. Aku yang sering mengeluh. Seperti halnya siang tadi, saat berulang-ulang kali aku menggerutu karena harus berjalan berkilo-kilo saat penggalangan dana untuk Palestina bersama KNRP. Aku merasa sangat kerdil. Imanku begitu tipis.

Aku bangkit dan menuju kamar mandi. Kubasuh diriku dengan air wudhu. Masih sempat terbayang ceceran darah rakyat Palestina di ingatanku. Masih terngiang-ngiang gema takbir yang mengangkasa. “Allahuakbar, Allahuakbar!” Aku berjalan menuju tempat sujud. Akan kujadikan ini sebagai qiyamul lail terindah dalam hidupku. Akan aku doakan saudara-saudaraku di Palestina. Semoga mereka syahid dalam ridho Allah.

Batu, debu, darah, peluru, semangat, dan keberanian itu akan menjadi saksi bahwa perjuangan layak untuk dibeli dengan nyawa. Karena Tuhan, sedang menanti dengan cinta-Nya.

“Wisuda Itu, Hakku”

Oleh: Muklis Ahsya

Kupandangi lekat-lekat bangunan yang terlihat paling gagah di kampus ini. Walau belum lama dibangun, tapi warnanya sudah memudar di sana-sini. Beberapa orang kulihat sedang duduk di tangga di depan pintu utama. Mereka mengulas senyum ketika seorang dosen wanita berjalan melewati duduk mereka. Dosen bertubuh subur itu terlihat kepayahan menapaki satu persatu anak tangga yang memang begitu terjal.

Kuhirup nafas dalam-dalam. Ada gambaran rindu yang tiba-tiba menggelanyut di relung kalbu. Suatu saat, aku akan sangat merindukan tempat ini. Kampus yang menyimpan berkontainer-kontainer kenangan yang begitu berharga. Kampus yang telah menyadarkanku akan makna persahabatan. Kampus yang telah membuatku percaya, bahwa harapan adalah kunci utama agar seseorang tidak mengubur begitu saja mimpi-mimpinya.

Sudah memasuki tahun ke tujuh aku mendiami kampus damai ini. Saat dulu kuingat, satu persatu teman-temanku melengang dari tempat ini menuju tempat barunya. Mereka begitu cepat mengenakan toga. Dan menatap kasihan ke arahku yang tak kunjung lulus juga. Pelukan demi pelukan haru kudapat dari mereka setiap tahunnya. Hingga kini kusadar, saat aku mengenakan toga ini, tak ada teman yang bisa kupeluk. Juga tidak ada yang perlu kutatap dengan kasihan. Karena, mungkin akulah yang paling akhir. Saat kutengok kanan-kiri, wajah- wajah yang cukup asing tampak mendominasi. Mereka terlihat masih sangat muda dengan pesona kebahagiaan terpancar indah dari wajahnya. Mereka tidak sungkan berbagi kebahagiaan. Saling sapa, saling jabat tangan, saling peluk, juga saling menepuk bahu sebagai wujud rasa bangga. Duh… Andai aku wisuda seusia mereka, tentu teman-teman seperjuanganku ada di sini. Mereka akan memelukku dengan bangga dan dengan lembut berbisik di telingaku,”Perjuangan belum berakhir, teman.”

Masih kuingat masa-masa awal masuk di kampus tercinta ini. Kami saling berkenalan satu sama lain. Bertanya nama, asal, suku, hobi, juga hal-hal konyol sampai tertanyakan. Di kelas, keakraban begitu cepat tercipta. Kami bagai satu keluarga yang enggan untuk berpisah. Walau perseteruan juga pernah terjadi, tapi semangat ukhuwah meleburkan segala benci yang ada. Hingga tahun demi tahun berlalu, wisuda demi wisuda terlewati. Dan, hanya aku sendiri yang tertinggal di kampus ini. Semua jelas salahku. Aku yang malas, yang tidak pernah serius mengikuti mata kuliah, tidak tepat waktu mengumpul tugas, kuliah terlambat, presentasi yang kacau, dan ujian yang dipenuhi nuansa kecurangan, nyontek. Akhirnya, aku tidak lulus di beberapa mata kuliah dan harus mengulangnya di tahun berikutnya.

Bohong jika aku tidak frustasi dengan keadaan yang aku alami. Rasa putus asa berkali-kali mendera. Pikiran untuk berhenti kuliah terus menghampiri. Lelah, bosan, takut, khawatir, malu, teraduk dalam hati dan menjadi jus beracun yang membuatku terkapar dengan keputus asaan. Hanya satu yang membuatku kembali memiliki harapan. Ucapan ibu. Ya, ucapan ibu. “Lulus itu hakmu, Nak. Jangan berhenti! Maju, dan selesaikan kuliahmu!” Kata-kata itu terasa begitu lembut menelusuri hati. Seperti dentuman irama musik yang terlalu merdu untuk didengar. Indah…. sekali. Membasahkan jiwa yang telah lama kerontang. Ibu memang luar biasa. Ia tidak marah dan menghujatku yang tidak kunjung lulus juga. Ia masih saja percaya dengan kemampuanku. Kasih sayang dan kalimat cintanya membangkitkan kembali harapan itu. Harapan yang akhirnya membawaku pada puncak pencapaian yang diidamkan setiap mahasiswa, wisuda.

Kurasa ada cairan hangat yang mengaliri pipiku. Butir-butir bening perlahan berjatuhan. Kulihat ibu berjalan dengan kerepotan menghampiriku. Di sebelahnya, Santi berjalan berusaha menyejajari. Ia adikku, yang juga tiada henti memberi semangat padaku. Ia sering menunjukkan prestasi-prestasinya padaku sambil berucap,”Santi, kan, adiknya Kakak. Kalau Santi bisa, pasti Kakak jauh lebih bisa.” Adikku itu memang tidak pernah bersombong diri. Ia begitu santun pada kakaknya yang bodoh ini. Ayah, ayah jelas tidak ada di sini. Ia sudah berada di alam lain. Dan beliau pasti bangga pada ibu, istri yang menjalankan amanahnya dengan begitu indah, menjalankan amanah dengan cintanya.

Saat ibu sudah dekat, langsung kusambar tubuhnya. Kudekap ibu dengan hamburan air mata. Air mata terimakasih atas segala kebaikannya selama ini. Ibu tua yang begitu berharga, yang mengantarkanku pada pencapaian ini. Aku tidak peduli dengan mata-mata yang menatap heran ke arahku. Aku tidak peduli. Mereka tidak tahu bahwa orang yang kudekap itu adalah seorang ibu yang pantas untuk mendapatkan gelar pahlawan sekalipun. Air mataku terus berhamburan. Kurasakan kedamaian yang begitu mendalam. “Ibu, terimakasih atas segala jasa dan kasih sayangmu!”

Kulihat Santi juga ikut menangis. Adikku yang cantik dan pintar ini ternyata sudah besar sekarang. Dia sudah kelas dua SMA. Dan prestasinya selalu membanggakan. Kutarik tangan adikku agar mendekat. Kurengkuh kedua wanita yang paling berarti dalam hidupku. Mereka adalah bagian dari darahku, dan aku adalah bagian dari darah mereka.

Saat acara wisuda selesai, kusalami beberapa wisudawan yang kukenal. Mereka adalah adik-adik tingkatku. Juga kujabat erat-erat beberapa wisudawan yang tidak kukenal. Dalam suasana bahagia seperti ini, keakraban dengan sangat mudah tercipta. Rasa sungkan tersapu begitu saja.

Aku melongo saat memutar tubuh ke belakang dan menyaksikan sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Ini kejutan yang sangat indah. Mereka, teman-teman sekelasku yang sudah sejak lama wisuda, kini berdiri berjajar di hadapanku. Bunga berwarna-warni dengan anggun berada di genggaman mereka. Senyum khas yang bertahun-tahun tak pernah kulihat lagi, senyum yang dulu memenuhi isi ruang kelas, senyum yang hampir saja kulupa ulasannya, kini merekah dengan indah di depan mataku. “Oh, Tuhan….. Kau datangkan mereka pada saat yang tepat,” gemuruh hatiku.

“Wanita di Pelabuhan”

Oleh: Mukhlis Ahsya

 

Wanita itu terus menatap ke laut lepas. Angin laut mengombang-ambingkan kerudungnya yang terlihat lusuh. Jantungnya terus berdebar manakala ada kapal yang mendekat untuk berlabuh. Ada harap yang menggelora. Ada rindu yang meminta untuk segera ditumpahkan.

Sepuluh tahun yang lalu ia masih hidup bersama anaknya tercinta, Rasyid. Ia menumpukan semua harapannya pada anak semata wayangnya itu. Ia ingin Rasyid dapat menjadi orang besar. Namun, itu sepuluh tahun yang lalu, karena sekarang Rasyid tidak diketahui lagi di mana keberadaannya. Kapal besar telah membawanya pergi, meninggalkan kampung halaman tuk berlabuh di pulau orang. Rasyid melanjutkan pendidikan di Jawa setelah lulus SMA. Ia menjadi salah satu dari lima siswa dari Lampung yang berhasil mendapatkan beasiswa ke Yogyakarta.

“Bu, doakan aku! Nanti aku akan sering-sering ngasih kabar ke Ibu,” ucap Rasyid sebelum ia menaiki kapal di Pelabuhan Bakauheni. Sang Ibu hanya bisa menganguk sambil meneteskan air mata.

Hingga tahun pertama terlewati, Rasyid belum pernah memberi kabar. Sang Ibu ditemani suaminya pernah menyusul ke Jogja. Tapi sayang, Jogja cukup luas untuk mencari keberadaan Rasyid yang tidak memberi tahu di Universitas mana ia kuliah. Hingga sang ibu hanya dapat pasrah menanti kepulangan buah hatinya. Tetes demi tetes air mata terus berjatuhan setiap masa liburan semester tiba. Sang ibu tak kunjung juga mendapati Rasyid pulang ke rumah. Kerinduan begitu kuat menyayat-nyayat hati si ibu.

Angin masih setia menerpa tubuh wanita di pelabuhan itu. Baju dan kerudungnya mengepak-ngepak bagai sayap burung Pelikan. Matanya nanar memandang ke tengah laut. Hatinya terus memanggil-manggil buah hati yang terus dinantinya sejak sepuluh tahun yang lalu.

***

Rasyid dilarikan ke rumah sakit. Darah terus membanjir membasahi tubuhnya. Beberapa luka tusukan mebuat Rasyid sekarat bersimbah darah. Dan keahlian dokter, serta kecanggihan teknologi tidak mampu menahan nyawa Rasyid ke luar dari jasadnya. Pria berkulit putih itu menghembuskan nafas terakhirnya dengan tragis.

***

Wanita berkerudung itu masih setia dengan penantiannya. Setiap libur semester tiba, ia kembali mendatangi Pelabuhan Bakauheni untuk menyambut kedatangan anaknya. Meski, yang ditunngu tak pernah menampakkan wujudnya. Ia bagai menunggu bayangan. Bayangan yang akan dipeluknya saat turun dari kapal.

Saat ia lelah berdiri, ia duduk. Ia juga berjalan ke sana ke mari untuk terus mencari bayang buah hatinya. Ia menyambar apa saja yang bisa memudarkan jenuhnya, dan menemaninya menanti sang permata hati dari seberang bahari. Kertas-kertas bacaan bekas yang berserakan dipungutinya. Di baca satu persatu. Sambil sebentar-sebentar melirik ke tengah laut. Takut-takut jika anaknya datang, dan luput dari pandangannya.

Sang wanita yang mulai letih itu sangat terkejut saat melihat gambar anaknya di koran bekas yang ia baca. Ia hampir tak percaya. Itu Rasyid. Ia yakin itu Rasyid. Walau sepuluh tahun lebih tak bertemu, tapi ia sangat hafal dengan fisik anaknya. Ia kucek-kucek matanya. Dan ia meyakini itu benar-benar Rasyid. Anak semata wayangnya yang selalu dinantinya.

Ibu bermata teduh itu memandang ke tengah laut. Ia tersenyum. Ada haru, bahagia, dan kecewa yang menyelimuti perasaannya. Akhirnya ia dapat melihat wajah anaknya walau hanya sekedar foto. Tapi setidaknya itu dapat sedikit mengobati rasa rindunya. Namun ia terus bertanya-tanya, kenapa anak yang begitu disayanginya itu tidak pernah pulang ke rumah? Kenapa ia harus melihat anaknya dalam keadaan tak bernyawa? Kenapa? Kenapa? Air mata si wanita tua itu mengalir di sepanjang kerutan pipinya.

Koran pun lepas dari genggamannya. Kertas pembawa berita itu melayang dan terjun ke dalam air. Foto Rasyid dan tulisan “Seorang Pengusaha Tewas Ditikam Rekan Bisnisnya” di koran itu mulai basah. Ombak kecil mulai melumatnya. Mengombang-ambingnya hingga terus terseret ke tengah laut.

Angin terus mengayunkan kerudung dan gaun yang dikenakan ibu penanti itu. Menarik-narikya untuk segera meninggalkan pelabuhan. Namun ia tak bergeming. Rindunya semakin menggebu. Ingatannya menceracau ke mana-mana. Tergambar olehnya, saat pertama kali ia pakaikan seragam sekolah pada permata hatinya itu.

“Titisan Cinta dan Perjuanganmu”

Oleh: Mukhlis Ahsya
Entah mengapa aku begitu bersemangat ingin menyaksikan puteriku berlomba. Walau sebenarnya aku sadar, mungkin perlombaannya sudah selesai. Karena seperti yang disampaikan puteriku, perlombaannya dimulai pukul 08.00, dan sekarang sudah pukul 13.45. Tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk memenuhi permintaan puteri tercintaku. Kasihan dia, pasti hanya dia sendiri yang orang tuanya belum hadir di sekolahan.
Kucari sela untuk memarkirkan motorku. Setelah selesai, aku langsung menuju tempat perlombaan. Ramai sekali. Banyak sekali manusia di tempat ini. Seperti sedang menonton konser boys band saja. Tapi nyaliku mulai menciut saat kusadari akan sesuatu. Ternyata yang ada di tempat ini kebanyakan perempuan, atau mungkin semuanya perempuan. Karena tak kulihat wajah laki-laki kecuali wajah dua orang satpam dan lima oarang guru laki-laki. Berarti tamu undangan yang bergender laki-laki hanya aku sendiri. Bagaimana ini? Ah, masa bodoh. Aku datang ke sini untuk puteriku, bukan untuk mendata jenis kelamin para tamu.
Aku terus maju ke depan. Kucari keberadaan putriku di antara kerumunan anak-anak kecil berjilbab. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata. Kumpulan bidadari-bidadari cilik yang menjaga kehormatannya. Andai semua muslimah berhijab seperti bocah-bocah kecil itu, tentu negeri ini akan terlihat lebih asri. Tak kutemukan puteriku di sela-sela mereka. “Di mana keberadaan bidadari kecilku?” bisikku dalam hati.
“Kepada Ibu Halimah Cahyani, dipersilahkan untuk menyerahkan hadiah kepada juara ketiga lomba Tilawatil Qu’an!” Terdengar suara wanita dari atas panggung. Kurasa wanita itu adalah pembawa acara Tilawatil Qur’an ini. Kulihat seorang ibu berjilbab besar naik ke atas panggung. Dengan penuh keakraban ia langsung mencium gadis kecil di atas panggung dan kemudian memeluknya. Ia terlihat begitu bangga dengan gadis kecil itu. Lalu seseorang menyodorkan sebuah piala besar kepada Ibu itu. Ibu itu lalu mengambilnya dan menyerahkan kepada si gadis kecil secara formal dan diikuti beberapa kali jepretan kamera. Ibu yang berjilbab besar itupun kemudian turun dari panggung. Kulihat sekeliling, para hadirin tampak takjub dengan pemandangan itu.
“Dan selanjutnya, kepada Ibu Fatmawati, dipesilahkan untuk menyerahkan hadiah kepada juara kedua!” Seru pembawa acara. Mataku tertuju ke panggung lagi. Pemandangan yang sangat mirip dengan pemandangan pertama. Tapi ada yang sedikit berbeda, ternyata putriku juga ada di atas panggung. Sedang apa dia? Juarakah? Tiba-tiba hatiku brgemuruh. Ada harapan besar yang menggebu-gebu dalam hati.
“Baik, selanjutnya, kepada Bapak Haris Fuadi, selaku kepala sekolah, dipersilahkan untuk menyerahkan hadiah kepada juara pertama!” Terdengar kembali suara pembawa acara. Kali ini terdengar lebih lantang dan bersemangat. Jantungku berdetak tak beraturan. Ada rasa harap dan cemas yang beradu. Rasanya jantungku mau meloncat saja saat kulihat bidadari kecilku maju beberapa langkah. Sepertinya ia memang juaranya.
Kali ini bukan jantungku yang mau meloncat, tapi air mataku yang secara perlahan meleleh membasahi pipi. Benar saja, puteri cantikku yang menjadi juara. Bapak kepala sekolah menyalaminya, dan memberikan piala besar dan mewah untuknya. “Subhanallah! Ini kejutan dari-Mu, ya Allah. Dia anakku.” Gemuruh hatiku.
“Kepada sang juara pertama, Qamraa Al-Birr, dipersilahkan untuk menyampaikan beberapa patah kata. Silahkan, sayang!” ucap si pembawa acara sambil mencium puteriku. Wanita berkulit putih itu lalu memberikan mikrofon kepada anakku, Qamraa Al-Birr. Aku terpaku memandangnya. Dia gadis kecil yang sangat cerdas. Dia adalah titipan Allah yang sangat berharga untukku.
“Eeem… eeeem, eee…” Anakku terlihat gugup. “Ayo, bicaralah, Nak! Ayah bersamamu,” gumamku dalam hati. Ia menatap ke arahku. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia menundukkan kepalanya. Kurasa memang dia seperti aku. Merasa gugup jika bicara di hadapan orang banyak. Tapi bicaralah, Nak! Sedikit saja. Suasana menjadi sangat menegangkan. Tak ada satupun hadirin yang bersuara. Semua menunggu, menunggu puteri tujuh tahunku itu bicara.
“Lihatlah, pria berkemeja biru itu adalah ayahku!” tutur Qamraa tiba-tiba sambil menunjuk ke arahku. Dengan secepat kilat, ratusan pasang mata langsung tertuju padaku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Tapi sungguh, ada rasa bangga saat puteriku berucap seperti itu.
“Saat kulihat teman-temanku hadir di sini ditemani Bunda mereka, aku bertanya, di mana Bundaku? Aku sangat rindu pada Bunda. Kata Ayah, insya Allah Bunda ada di tempat yang baik, karena Bunda adalah pejuang.” Dupppp! Seperti meledak rasanya jantungku. Air mataku berhamburan dengan derasnya. Badanku menggigil dan darahku seoah berombak-ombak dalam pembuluh. Aku bukan takjub dengan kalimat puteri kecilku, tapi aku takjub dengan kata ‘bunda’ yang barusan ia sebutkan. “Sayang, Bundamu lebih dari sekedar pejuang.”
“Saya tak akan menggugurkan kandunganku, Dok. Itu sama saja membunuh anakku yang tak berdosa,” tutur isteriku, Tiana Hanifah.
“Tapi, Bu, Anda terkena kanker rahim yang akut. Rahim Anda tidak bisa untuk ditempati janin. Itu sangat berbahaya,” terang sang dokter yang beberapa kali telah memeriksa kandungan isteriku.
“Saya pasrahkan semuanya pada Allah, Dok. Permisi, assalamualaikum!” ucap isteriku dengan penuh keyakinan, dia tidak mau mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari bu dokter. Ia lalu menyambar tanganku dan mengajakku keluar dari ruangan.
Pikiranku agak kalut menghadapi masalah rawan ini. Aku tak dapat berbuat banyak kecuali pasrah pada takdir Allah. Tapi aku akan mencoba berdiskusi sedikit dengan isteriku. Setidaknya aku akan mendapat keyakinan yang kuat setelahnya.
“Sayang, ku harap kamu jangan tersinggung. Aku sangat menyayangimu, dan jujur, aku sangat menghawatirkanmu,” tuturku saat kudapati isteriku siuman dari pingsannya. Ia pingsan di dapur saat memasak, dan mengalami pendarahan.
“Apakah kamu tidak percaya dengan pertolongan Allah, Mas?” Pertanyaan yang sangat memojokkanku. Aku tak mampu menahan air mataku. Kugenggam erat tangannya.
“Mas, anak dalam rahimku adalah titipan dari Allah, dan kita harus menjaganya. Aku ridho mempertaruhkan nyawaku demi anak kita. Janganlah kita ragu pada Allah! Allah telah memberikan yang terbaik untuk kita.” Aku kagum pada keteguhanmu, sayang. Aku merasa sangat miskin keimanan jika dibanding denganmu. Kau teguh bagai karang. Kau lembut bagai sutera. Kau tak pernah berprasangka buruk pada Alah. Kau mutiara yang mengindahkan hidupku, meninggikan martabatku.
Sembilan bulan terasa begitu lama. Namun isteriku begitu tegar menghadapinya. Beberapa kali ia harus dirawat di rumah sakit. Sering sekali ia harus berguling menahan kesakitan. Hampir-hampir, ia tak pernah tidur demi mempertahankan bayi dalam kandungannya. Beberapa kali dokter menyarankan untuk melakukan pengguguran karena kondisi rahim isteriku sangat tidak memungkinkan. Bukan hanya keselamatan isteriku yang dikhawatirkan, tapi juga keselamatan bayi yang dikandungnya. Para dokter yang sudah sangat ahli itu, takut jika perjuangan isteriku sia-sia. Tapi itulah isteriku, dia sangat yakin akan pertolongan Allah. Dia hanya percaya pada kekuatan Allah, bukan pada vonis dokter.
“Jika memang ini adalah cara Allah mencintaiku, aku ingin penderitaan yang lebih dari ini. Dan demi Allah, aku akan menjaga titipan Allah ini dengan ketulusan cintaku. Tak ada satu halpun yang sia-sia jika kita melakukannya karena Allah.” Subhanallah! Dia memang wanita pilihan. “Berjuanglah, sayang! Insya Allah aku akan selalu bersamamu.”
Suatu keajaiban terjadi saat usia kandungan isteriku menginjak sembilan bulan tiga hari. Jika saat-saat sebelumnya hari-harinya dipenuhi dengan derita dan sakit-sakitan, tapi sekarang ia tampak bugar dan sangat sehat. Aku sangat bahagia mendapati kondisi isteriku yang membaik.
“Perjuanganmu akan segera usai, sayang,” bisikku di telinganya sebelum ia dibawa masuk ke ruang bersalin. Aku berusaha untuk terlihat tegar. Dia tersenyum sangat manis. Tak pernah kulihat senyum semanis itu sebelumnya. Ia menggenggam erat tanganku. Dan berbisik lembut di telingaku. “Mas, aku sangat mencintaimu.”
Aku menunggu dengan sangat cemas. Aku terus berdoa agar Allah memberikan keselamatan pada isteri dan anakku. Semua keluarga yang ikut menunggu juga mengalami kepanikan sama sepertiku. Kami saling diam. Kami sibuk dengan doa masing-masing.
“Pak, silahkan masuk! Anak anda sudah lahir,” ucap seorang perawat kepadaku. “Allahuakbar!” Suara takbir langsung menggema dari mulut-mulut yang penuh kecemasan. Aku langsung masuk ke dalam ruangan dan diikuti anggota keluarga lainnya. Kulihat bayi mungil di dalam keranjang bayi. Lucu sekali. Ia sangat cantik seperti Ibunya. Aku angkat bayi mungil itu. Dan dengan ragu-ragu kukumandangkan adzan lirih di telinga kanannya, dan iqamat di telinga kirinya. Lalu kuserahkan bayi mungil itu pada neneknya yang sudah tidak sabar untuk menggendongnya.
Kulihat isteriku terbaring lesu. Kukecup keningnya. Ia menggenggam erat tanganku. Ia berusaha untuk bangun dan memeluk tubuhku. Kusambut tubuhnya dengan pelukan erat. “Betapa kuat dirimu, sayang,” batinku.
“Aku mencintaimu, Mas. Aku mencintaimu,” ucap isteriku.
Lidahku kelu mendengar ucapannya. Aku sangat beruntung dicintai oleh wanita sepertinya. Lidahku tak mampu membalas ucapan cintanya. Hanya dalam hati,”Aku juga mencintaimu, Dik!”
Kudengar sayup suara isteriku. Tidak jelas, tapi kalimat itu tidak asing bagiku. Astagfirlah! Dia mengucap dua kalimat syahadat. Kulepaskan pelukanku. Dan inilah akhir. Ia syahid dengan senyum seindah cahaya bulan. Meneduhkan.
“Ayah, ayo pulang! Dari tadi bengong aja.” Aku kaget bukan main. Puteriku sudah berada di hadapanku. Kutengok kanan-kiri, orang-orang sudah mulai sepi. Kutatap wajah bidadari kecilku. Tak sanggup kubendung air mataku. Kupeluk puteri titisan bidadari ini. Terngiang sepotong kalimat dari isteriku,“Tak ada satu halpun yang sia-sia jika kita melakukannya karena Allah.” Ya, tak sia-sia kau lahirkan permata hati ini. Ia sangat cerdas dan santun,soleha, ceria, cantik, dan senyumnya seperti senyummu, layaknya cahaya bulan, meneduhkan.

“Si Dekil”

Oleh: Muklis Saputra

 

Hari ini hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang kenaikan kelas. Sebagai peringkat kesebelas, aku cukup bangga menyambut kenaikan kelas. Sekarang sudah kelas tiga, saatnya menjadi penguasa di SMA.

Pagi yang sejuk dengan awan hitam bergelanyut di angkasa, membuat pagi ini terasa seakan masih subuh. Kulangkahkan kaki menuju ruang kelas. Astaga! Ternyata sudah ada guru di kelas.

“Assalamualaikum!” sapaku sambil melongokkan kepala ke dalam ruangan.

“Walaikumsalam. Silahkan masuk!” sambut bu Endang seorang guru matematika yang menurutku sangat cantik dan masih muda. Aku menuju bangku paling belakang yang masih kosong dan menempatinya.

“Assalamualaikum!”

“Walaikumsalam. Lho, Pak Anwar. Silahkan masuk!” sahut bu Endang sedikit terkejut. Pak Anwar memasuki ruang kelas diikuti seorang siswa di belakangnya. Terjadi perbincangan sebentar antara pak Anwar dan ibu Endang. Entah membicarakan apa. Suaranya terlalu pelan. Sejurus kemudian pak Anwar keluar dari kelas setelah sebelumnya menepuk-nepuk bahu siswa yang bersamanya. Siswa itu hanya diam. Tatapannya aneh dan sebentar-sebentar tersenyum. Rambutnya ikal, pakaiannya bersih dan rapi. Tapi sayang, kulitnya dekil sekali, seperti sebulan lebih tidak pernah mandi.

“Anak-anak, kita kedatangan siswa baru dari Bandung,” Bu Endang membuka pembicaraan.

“Wah, orang Bandung ternyata ada yang dekil juga. Selama tinggal di Lampung, aku belum pernah menemui orang sedekil itu,” bisikku dalam hati.

“Bandung sebelah mana, Bu? Mungkin yang Ibu maksud, anak ini berasal dari hutan di Bandung,” celetuk Imam yang disambut dengan tawa anak satu kelas.

“Tidak boleh begitu, Imam!” tegur bu Endang. Guru yang cantik itu berjalan mendekati siswa baru yang dekil itu. “Silahkan perkenalkan dirimu!” suruh bu Endang padanya.

“Hai, teman-teman! Namaku Akri Samsudin. Aku berasal dari Ba….”

“Cukup!” potongku. “Sudah, mendingan kamu langsung duduk saja. Kami tidak butuh berkenalan denganmu,” lanjutku dengan gaya merendahkan. Sebenarnya aku tidak sejahat ini. Tapi beginilah budaya di sekolahku. Kami tidak akan membiarkan anak baru masuk sekolahan kami dengan mudah.  Kami akan buat hidupnya tidak nyaman. Atau setidak-tidaknya dia harus berjuang dulu untuk brsosialisasi dengan kami. Dan kurasa bu Endang maklum dengan kebiasaan kami.

“Baik, Akri. Lebih baik sekarang kamu duduk saja. Kursi di sebelah Hery masih kosong, kamu boleh duduk di sana,” ucap bu Endang sambil menunjuk ke arah kursi di sebelahku. Wah, mimpi apa aku semalam? Bisa sial seperti ini. Dan lebih sial, keadaan ini menjadi bahan tertawaan teman-teman satu kelas.

“Ini pertama kali dalam sejarah, Harry Potter duduk sebangku dengan Tarzan,” seru Reni yang membuat ruang kelas seakan bergetar oleh tawa-tawa yang menyebalkan.  Mulut perempuan satu ini memang rombeng.

Waktu memang tidak pernah mau berhenti. Ia berjalan sesuai fitrahnya. Merenda pelangi dalam kehidupan. Menyematkan cinta dan derita. Menjejali hidup dengan masalah. Ya, seperti masalahku saat ini. Si Dekil ternyata sangat pandai. Ia dapat menghafal dengan cepat, berhitung seperti kilat, berbicara dengan sangat mempesona. Ia benar-benar membuat hidupku penuh cidera. Bagaimana tidak? Makhluk dekil itu mengusai kelasku dengan mudah. Para bidadari-bidadari cantik tiap hari mengerumuninya untuk diajari matematika, teman-teman yang dekat denganku kini lebih suka dekat-dekat dengan si dekil agar mendapat contekan. “Dasar penjilat,” makiku dalam hati. Dan yang lebih parah lagi, sejak makhluk dekil itu ada di kelasku, teman-teman semakin menjadi-jadi mengolok-olokku dengan sebutan ‘Harry Potter’. Aku menjadi terasing. Hanya kebencian yang menemaniku. Aku lebih senang berteman dengan buku-buku yang dulu tidak kusenangi. Rumus-rumus matematika banyak yang melekat dalam otakku, pembahasan Biologi kuhafal seperti menghafal puisi, Fisika, Kimia, Sastra, dan semua pelajaran mulai aku kuasai. Ini semua kulakukan demi menyaingi si manusia dekil. Aku begitu mandiri karena terlalu gengsi jika harus mencontek dengan si Dekil.

Hatiku benar-benar dongkol saat pembagian rapor semester ganjil. Dalam suasana yang menegangkan, wali kelas kami menyebutkan Akri Samsudin sebagai juara pertama di kelas kami. “Dasar penjajah! Mana si Ervita yang dari dulu selalu juara satu? Kenapa begitu mudah digeser oleh si Dekil? Alien satu ini memang sangat menyebalkan,” gumamku dengan geram.

“Juara kedua, diraih oleh Hery Admawijaya,” tutur bapak wali kelas sambil tersenyum cerah. Jantungku benar-benar mau copot rasanya. Sejenak kutengok Akri yang duduk di sebelahku, ia tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku. Teman-teman satu kelas gaduh dan berhambur ke arahku. Ada yang menyalami, menepuk-nepuk pundak, kepala, dan ada yang menarik-narik bajuku. Aku hanya terpaku tidak percaya, tesenyumpun tidak sanggup. Tiba-tiba kurasakan pening di kepalaku, semua terasa gelap. Hanya samar-samar suara cempreng Reni yang masih dapat kudengar,”Ini pertama kali dalam sejarah, Harry Potter dapat juara dua.”

Saat kubuka mata, ternyata aku berada di ruang UKS. Ada si Dekil, Ervita, dan Imam yang menungguiku. Aku bangun dari pembaringan. Rasanya seperti baru bangun tidur. Makhluk dekil terlihat mendekatiku.

“Hai, Harry Potter! Sudah siuman ternyata. Selamat, ya!” ucap Akri sambil mengulurkan tangannya. Aku tidak menyambut uluran tangannya. Bahkan kutampik tangannya dari hadapanku.

“Pergilah kalian! Aku tidak suka dipanggil Harry Potter.”

“Kenapa? Harry Potter hebat,” Tanya Akri. Makhluk dekil ini tambah membuatku merasa muak.

“Harry Potter itu hebat karena dia ditakdirkan untuk menjadi hebat. Dia adalah orang hebat pilihan Tuhan. Aku tidak mau seperti Harry Potter, aku ingin hebat karena usahaku. Aku ingin hebat bukan sebagai manusia yang ditunjuk Tuhan untuk hebat,” tegasku.

“Nanti kamu akan sadar, bahwa ternyata hebat karena dipilih Tuhan itu adalah rahmat. Dan hebat karena usaha saja itu palsu. Orang hebat yang dipilih Tuhan tidak secara praktis mendapatkan kehebatannya, ia harus mengikuti hokum alam, ia harus melakukan ikhtiar dan perjuangan. Dan pilihan Tuhan itu adalah bentuk keridhoan-Nya.” Akri terlihat serius. Biasanya ia bicara sambil tersenyum, tapi kali ini tidak. Aku hanya diam. Karena sebenarnya aku belum paham dengan apa yang dia katakan.

“Mungkin lain kali kita bicarakan lagi. Sekarang aku harus pergi dulu.” Si dekil berjalan meninggalkan ruangan. Tinggal Ervita dan Imam yang menatapku penuh kesungkanan.

Hari-hariku penuh dengan kebencian. Aku sama sekali tidak rela dengan kehadiran si Dekil. Ia membuat semuanya berubah menjadi buruk di mataku. Hampir setahun kami duduk sebangku, namun tidak pernah sekali pun aku mengajaknya bicara.  Jika ia mencoba membuka pembicaraan, aku berusaha menghindar. Aku tidak perduli, aku bahkan ingin sekali tidak mendengar suaranya. Sebenarnya Akri sangat baik, ia pintar, ia sangat disukai oleh teman-teman satu kelas. Ia sangat murah senyum, suaranya bagus, dan ekspresi bicaranya menawan. Hanya satu kelemahannya, ia sangat dekil. Mungkin ia tidak pernah mandi, atau mungkin ia memang benar-benar keturunan alien. Entahlah, aku tidak berminat untuk mencari tahu. Yang pasti, aku benar-benar tidak menyukai makluk dekil itu.

Ini adalah hari yang sangat mendebarkan namun sangat aku tunggu. Karena ini adalah gerbang bagiku untuk segera meninggalkan sekolah ini. Meninggalkan si Dekil dan menghapusnya dari kehidupan ini. Suasana begitu mencekam pada detik-detik pengumuman kelulusan ini.

Aku masuk dalam kerumunan siswa untuk melihat daftar kelulusan. Terasa bergetar tangan ini. Ingin rasanya menutup mata saja, dan berharap ada yang berbisik di telingaku,”Kamu lulus.” Terus kucari namaku dalam daftar yang ditempel di mading. Dari satu lembar daftar tidak kutemukan namaku, lalu aku pindah ke daftar yang lain. Namun setelah beberapa lembar terlewati, tidak kutemukan juga namaku. Hati ini mulai cemas. “Habis juara dua, kok, tidak lulus,” protesku dalam hati. Astagfirlah! Kenapa aku jadi sombong begini?”. Tinggal satu lembar lagi daftar yang belum kubaca. Aku bergeser ke lembar yang paling kiri. Rasa cemas, takut, dan deg-degan bercampur dan membuat kaki ini mau roboh saja rasanya. Dan sepertinya aku memang benar-benar akan roboh. Namaku. Namaku ada di urutan paling atas. Itu artinya aku lulus, dan menjadi lulusan terbaik dengan nilai tertinggi. Di urutan nomor dua tertera nama ‘Akri Samsudin’. “Aku bisa mengalahkan si Dekil? Tidak mungkin. Ini pasti mimpi.”

Kulihat si Dekil duduk di taman sekolah bersama dengan Reni. Kuhampiri mereka. Aku sadar, aku bisa mendapatkan prestasi ini berkat kehadiran si Dekil. Tanpa dia pasti aku akan tetap bertahan dengan peringkat kesebelasku, dan untuk masuk ke sepuluh besar saja susah. Tapi kehadiran si Dekil telah mengubah semuanya. Sekarang aku bisa meraih sesuatu yang sebelumnya untuk membayangkannya saja aku tidak berani.  Tiba-tiba rasa benciku pada si Dekil sirna begitu saja.

“H..h..hai!” sapaku dengan penuh rasa canggung.

“Hery. Selamat,ya! Kamu memang hebat,” ucap si Dekil sambil menyalamiku. Reni langsung mendekatiku. “Harry Potter luar biasa. Selamat, ya!” Reni menepuk-nepuk pundakku. Gadis ini kadang terlihat sangat manis jika tidak sedang banyak bicara.

Aku bingung harus bicara apa. Semua serba canggung. Kuberanikan menatap mata Akri. Mata yang penuh sorot keoptimisan. Wajahnya tidak banyak berubah dari awal aku melihatnya, masih saja dekil. Dia periang. Dia penuh inspirasi dan sangat menginspirasi. Rambut ikalnya terlihat kering dan acak-acakan.  Anak ini memang benar-benar semrawut, tapi kepandaiannya tersusun rapi dalam batok kepalanya. Ingin rasanya kupeluk tubuh kurusnya dan kutumpahkan air mata keharuan ini. Dia sangat berjasa dalam hidupku. Dia telah mengantarkanku ke dunia yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Akri pasti akan menjadi orang besar nantinya. Dia pasti akan sukses dengan kelebihan-kelebihan yang dia miliki. Aku memang lulusan terbaik, namun aku tidak pernah merasa lebih hebat dari si Dekil. Dengan rasa yang  berat, kuurungkan niatku untuk memeluknya. Aku berlalu dengan hati yang gulana. Ada sesuatu yang tidak mampu kusentuh dalam hati ini.

Kurang dari enam tahun aku berhasil menyelesaikan studi S1 dan S2 di Yogyakarta. Saat menjalani masa kuliah, aku selalu membayangkan si Dekil ada di sampingku. Dengan begitu, semangat belajarku terus terpacu karena aku tidak ingin kalah dari si Dekil. Si Dekil menjadi penyemangat tersendiri untukku. Dia begitu lekat di hati dan pikiranku.

Tidak berselang lama aku langsung ditawari jabatan penting di sebuah perusahaan besar di Jogja. Dan keberuntungan seolah terus menghujaniku. Lamaranku pada Shintia, perempuan soleha berjilbab yang kukenal dari seorang ustadz, akhirnya diterima setelah aku menunggu hampir tiga bulanan. Aku tidak sabar ingin pulang ke Lampung, bertemu dengan si Dekil dan mengabarkan ini semua. Aku juga ingin melihat seberapa sukses bocah ajaib itu.

Degggg! Rasanya seperti dipalu jantung ini. Ucapan Imam yang saat ini berada di hadapanku, terus terngiang-ngiang di kepala ini. “Akri gila, Her. Ia gila setelah dipukuli warga saat kedapatan mencuri uang bu Inah. Mungkin ia mengalami gegar otak setelah kepalanya dihujani balok kayu berkali-kali.” Tidak. Tidak mungkin Akri mencuri. Dan Aku tidak percaya Akri gila. Imam pasti bercanda.

“Biar kuantar ke tempatnya, jika kamu ingin bertemu dengannya,” tutur Imam seolah ingin meyakinkanku.

Imam membawaku ke sebuah rumah tua di pinggiran kota. Rumah kayu yang terlihat sudah tidak kuat menopang tubuhnya. Bolong sana-sini. Kotor dan terkesan sangat misterius. Imam mengajakku masuk ke dalam rumah yang ternyata cukup terang karena atapnya sebagian menganga.

“Itu Akri,” bisik Imam sambil menunjuk ke pojok ruangan. Seorang pemuda sedang menatap kosong ke arah kami. Rambut dan pakaiannya sangat berantakan. Kulitnya penuh debu. Wajahnya sangat memelas, dekil sekali. Matanya. Ya, matanya sangat kukenali. Itu mata yang kutatap di taman sekolah sekitar enam tahun yang lalu. Mata yang dulu penuh pancaran keoptimisan.

Tidak mampu kubendung air mata ini. Aku berlari dan menubruknya. Kupeluk erat tubuh yang terasa seperti tulang. Aku meraung dalam kepahitan. Betapa baru kali ini kurasakan kepedihan yang begitu menyayat. Si Dekil benar, memang lebih baik hebat karena dipilih Tuhan daripada hebat karena usaha saja. Karena nyata di mataku, Akri yang hebat kini kosong dalam kehampaan karena tidak dipilih Tuhan. Alangkah sombongnya aku selama ini.

Aku bertambah erat memeluknya. Si Dekil hanya diam. Dia tidak sadar dengan apa yang terjadi. Kurasa ia tidak dapat merasakan pelukan tulus dariku ini. Andai mampu kuputar waktu, aku ingin kembali ke taman sekolah. Akan kupeluk erat si Dekil. Di saat terakhir pertemuan itu, di saat ia masih bisa merasakan hangatnya pelukanku.

“Sekat dalam Beda”

Oleh: Mukhlis Saputra

Aku berlari-lari kecil memasuki area terminal Mulyo Jati. Sesekali kuinjak genangan air yang tampak berserakan di seputaran terminal. Kilatan-kilatan di langit terasa begitu dekat. Awan pun terlihat semakin menghitam. Gerimis telah berhasil membasahi sebagian pakaian yang kukenakan, membuat aroma dingin semakin terasa menggigit kulit. Kuangkat kakiku saat akan menerobos masuk pintu bis. Entah bis jurusan mana aku tak peduli. Yang pasti aku harus segera menjauh dari kota kecil ini, kota  yang telah tampak kelabu di mataku.

***

Mas, boleh aku duduk di sini?” Sebuah suara berhasil membuyarkan lamunanku. Aku menoleh. Seorang pemuda berkemeja ungu terlihat sedang tersenyum sambil membungkukkan badannya.

“Boleh. Silakan!” jawabku singkat. Aku kembali menghadap ke jendela. Melihat rintik hujan yang tersapu angin dari balik kaca tebal. Sejenak terasa sepi. Makhluk-makhluk dalam bis seperti sedang menikmati irama-irama aneh dari benturan hujan ke badan bis. Hingga benturan-benturan semakin kencang, berbaur dengan suara bis yang perlahan bergerak meninggalkan terminal.

“Mau ke mana, Mas?” Lagi-lagi, suara pria berambut panjang itu mengusikku. Dengan sebisa mungkin mengulas senyum, tak kujawab pertanyaannya. Bagaimana mau menjawab pertanyaan itu, sedangkan aku sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Bahkan, aku baru tahu kalau bis yang aku tumpangi adalah bis jurusan Rajabasa setelah aku membaca tulisan merah di kepala bis.

“Aku mahasiswa Unila, Mas. Tadi habis berkunjung ke rumah teman di Metro Timur,” jelasnya walau tak kuminta. Aku menoleh dan melempar senyum. Aku tidak tertarik untuk sekedar berbasa-basi dengannya. Karena lidahku telah kelu oleh bayangan Nala yang terasa begitu lekat di pelupuk mataku. Aku juga agak sensitif dengan istilah “mahasiswa”. Istilah itu seperti bayang-bayang mengerikan yang telah lama membelengguku. Kalau kata “mahsiswa” keluar, di kepalaku langsung dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang menyebalkan. Kapan skripsi? Kapan wisuda? Bahkan hingga pertanyaan yang gak nyambung sama sekali, kapan nikah? Aku bisa pingsan saat menyadari bahwa aku sudah semester dua belas. Dan ternyata aku baru mau ujian skripsi. Aku seperti menodai citra anak-anak organisasi. Ya, seolah berorganisasi itu dapat memperlambat kelulusan. Padahal ini mutlak karena kekurangseriusanku.

Si pria gondrong tampak tak peduli lagi. Sepertinya ia menyerah setelah beberapa kali hanya mendapat senyuman dariku. Dan sekejap kurasa suasana menjadi senyap. Tetes-tetes air hujan terlihat seperti melambat. Dan aku melihat ada bayang Nala di setiap butir tetes hujan. Bayang itu semakin kuat, hingga membuat hatiku terasa terhimpit gunung.

***

“Fik, orang tuaku menyuruhku untuk segera menikah,” tutur Nala. Suaranya yang lembut seakan tertelan kebisingan Taman Kota.

“Lalu, kamu mau segera menikah?” tanyaku sedikit bimbang. Ada seberkas ketakutan yang tiba-tiba menyambangi diriku.

“Iya, Fik. Orang tuaku yang menginginkannya. Banyak lelaki yang mencoba mendekatiku, tapi orang tuaku tidak berkenan dengan mereka. Tapi saat Alex datang, kurasa orang tuaku menyukainya, terutama Ibu.”

“Oh…. Begitu,” ucapku datar. Aku benar-benar bimbang. Nala, sahabat yang sangat kukagumi, yang kusadari bahwa aku mencintainya, kini akan menikah dengan orang lain. Bagaimana ini? Haruskah kukatakan padanya bahwa aku mencintainya dan aku akan segera menikahiya? Atau aku pasrah dan merelakan Nala bersama laki-laki lain?

“Bagaimana kalau kamu menikah denganku saja?” Kalimat konyol tiba-tiba mengalir dari lidahku. Kulihat Nala terkejut. Ia menoleh ke arahku. Ia begitu cantik. Rambutnya yang hitam membuat wajahnya yang putih tampak seperti purnama  dalam gulita. Indah, indah sekali. “Astagfirlah…!” batinku. Aku buru-buru membuang pandangan.

“Maksudmu apa, Fik?”

“Ee… Eh. Tidak. Aku ngelantur aja,” jawabku gugup. Aku bingung. Aku ingin jujur akan perasaanku. Aku ingin menikah dengan Nala. Tapi aku sadar, kejujuran perasaanku tidak akan ada gunanya. Seandainya Nala juga mencintaiku, itu tetap percuma. Aku seorang Muslim, dan dia bukan. Kutarik nafas dalam-dalam. Dan kulihat Nala mengalihkan pandangannya.

Angin berhembus membawa sajak kegersangan. Membuat hati kerontang saat tetes cinta tak lagi menyapanya. Semua tinggal kegaduhan, saat jeritan hati membaur dengan suara-suara bising yang memenuhi Taman Kota. Kebisingan yang tak bisa mengusik kebisuanku bersama Nala di bawah mentari sore.

***

Ada panggilan masuk dari Nala. Kusambar handphoneku dan aku mencari posisi yang nyaman di dalam kamarku yang cukup sempit.

“Halo….!” sapaku. Tidak ada jawaban. “Hallo…!” ulangku lebih keras lagi. Terdengar seperti ada suara isak tangis dari seberang sana. Aku penasaran dan sedikit panik.

“Nal, Nala.. Kamu tidak apa-apa?” kejarku.

“Aku mencintaimu, Fik! Aku mencintaimu!” Kudengar seruan serak Nala dari handphone. Aku terkejut. “Sejak dulu aku mengagumimu, Fik. Sejak dulu. Kamu begitu lain di mataku. Dan kamu memang lain dari yang lain. Kamu begitu menjaga pandanganmu saat denganku, kamu begitu menghargaiku sebagai seorang wanita. Kamu tidak seperti laki-laki lain, yang terlihat begitu rakus saat memandangku. Kamu beda, Fik. Dan… Dan aku benar-benar mencintaimu. Bukan Alex yang kuharapkan menjadi suamiku, tapi kamu, Fik, kamu…. Fikri Firmansyah!” lanjut Nala dengan suara yang semakin parau. Aku hanya terdiam. Berjuta kebimbangan mengambangkanku pada kenyataan bahwa aku kacau. Tapi segera kuingat Allah. Dan terbayang-bayang istikharahku tempo malam. Menjauhi Nala adalah pilihan. Walau secara manusiawi, hatiku terasa begitu sakit.

“Fik, aku tahu kamu juga mencintaiku. Dan ucapanmu saat itu adalah kejujuran dari hatimu. Aku yakin itu, Fik. Nikahi aku, Fik! Nikahi aku … !” Nala meneruskan perkataannya. Air mata kurasa mulai mengaliri pipiku. Hatiku seolah tertusuk ribuan jarum es yang membekukan sisi indah dalam kalbu.

“Aku gak bisa, Nal..!” Tutttt. Handphone kumatikan. Kudengar suara azan berkumandang mendayu-dayu. Membuat hatiku semakin terasa teriris. Kulangkahkan kakiku menyambut seruan-Nya. Akan kupasrahkan semua perasaan ini pada sang penggenggam cinta.

***

Karena sibuk mempersiapkan diri untuk ujian skripsi, aku jadi sering pulang ke rumah larut malam. Banyak hal yang harus kuurus. Tapi semua terasa menyenangkan. Akhirnya aku akan lulus juga.

Mataku tertuju pada sebuah kertas merah di atas meja. Kuambil, dan ternyata surat undangan. Aku terkejut karena kudapati nama Alexander Markus dan Nala Marlina di dalam undangan. “Nala….?” Batinku bergemuruh.

***

Kulihat Nala begitu anggun dengan gaun pengantinnya. Walau dari jarak jauh, tapi kurasa dia benar-benar cantik. Alex berdiri di sampingnya. Mereka terlihat begitu menikmati pesta pernikahan mereka. Dan aku, mematung di kegelapan. Memegang kado yang berisi boneka kecil. Boneka yang kuharap dapat menemani Nala di sepanjang harinya.

Perlahan kakiku melangkah menjauh dari rumah Nala. Kuurungkan niatku untuk sekedar mengucapkan kata selamat untuk Nala dan Alex. Dari jauh saja kurasakan hatiku begitu terpukul, air mataku perlahan berderai. Aku sadar. Aku merasa kehilangan Nala dari hidupku. Seorang wanita yang tak mampu kumiliki karena perbedaan. Tapi hatiku selalu yakin,”Inilah yang terbaik.” Kota Metro kurasa menjadi kelabu. Sekelabu hatiku yang telah kehilangan setitik cahaya yang sempat meneranginya.

***

Mas, kok nangis?” Sebuah suara berhasil mengejutkanku. Bayangan Nala pun sekejap buyar. Aku gelagapan sambil secepat mungkin menyeka air mata yang telah membanjir di pipiku. Pria yang mengaku mahsiswa Unila itu terheran-heran melihatku.

Mas gak kenapa-napa, kan?”

“Oh.. Gak kok. Aku gak kenapa-napa,” jawabku sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela bis. Kendaraan ber-AC itu memasuki area SPBU dan berhenti untuk mengisi bahan bakar.

Kupandangi seputaran SPBU. Hujan telah reda. Hanya tersisa angin yang menggelindingkan plastik-plastik bekas makanan kesana-kemari. Dan juga mengayun-ayunkan daun-daun di ranting. Ada pemandangan yang membuatku terpaku. Aku benar-benar tak menyangka. Aku melihat Nala di dekat tempat pengisian bahan bakar. Ia memakai jilbab merah dan terlihat begitu anggun. Aku tak percaya. Kukucek berkali-kali mataku. Namun, tetap Nala yang kulihat. Aku melejit secepat mungkin dan ke luar dari bis.

“Nala…!” seruku setelah jarakku tinggal satu meter dari  si wanita berjilbab merah. Dia menoleh dan menatapku dengan heran. Dia bukan Nala. Ya, bukan Nala. Seorang pria berkulit bersih tiba-tiba datang menyapaku,”Ada apa ya, Mas?”

“Ah, tidak.. Tidak apa-apa…” jawabku gelagapan.

“Oh, ya sudah,” ucap si pria yang sejurus kemudian mengajak wanita yang kukira Nala menjauh dariku. Aku hanya menatap mereka dari belakang.

“Sepertinya aku mulai gila, mana mungkin Nala memakai jilbab?” batinku.

Kuamati keadaan sekitar. Aku tahu ini di Natar, salah satu kecamatan yang ada di Lampung Selatan. Dan tiba-tiba ada sesuatu yang merasuk ke ingatanku. Aku mencoba memperjelas ingatan itu.

“Hah … ? Hari ini jadwalku ujian skripsi … ”