“Tolong Aku”


Oleh: Mukhlis Ahsya

Melati masih belum percaya akan kematian Nili, sahabatnya sejak kecil. Tidak pernah terpikirkan oleh Melati jika Nili mati begitu cepat, di usia yang masih sangat muda, 24 tahun.

“Mel, aku ingin seperti kupu-kupu. Terbang di atas bunga-bunga dan menghisapi madu hingga lidahku tak bisa merasakan pahit lagi.” Ucapan Nili sehari sebelum kematian merenggutnya terus terngiang-ngiang di telinga Melati. Lalu menyeruduk gendang telinga dan memaksa menerobos ke hati. Jlebb. Air mata anak perawan itu meleleh secara perlahan, membuat garis sungai di wajah halusnya. Kecantikan Nili terasa menari-nari di hadapannya. Senyum indah tergambar jelas di wajah bulatnya. Jemari lentiknya terayun memberi isyarat agar Melati mendekat.

“Ikut aku, Mel! Ikut aku terbang dan berebut madu bersama kumbang-kumbang.” Melati mengusap air matanya. Gadis berpendidikan itu berusaha meyakinkan dirinya, bahwa dia tidak mungkin mati sperti halnya Nili. Dia akan tetap hidup, hingga memiliki seribu keturunan. Dia ingin bersama pria yang dicintainya hidup dalam balutan madu, hingga dia dapat menjilat manis sepanjang masa. Anak-anaknya akan disuapinya dengan makanan keabadian, dan mereka akan lucu selamanya.

“Tidakkk! Enak saja, aku belum mau mati. Maksudku aku tidak akan mati,” gerutu Melati merutuki bayangan Nili yang tidak juga hengkang dari hadapannya.

“Mati itu indah, Mel. Kau akan dapat terbang nantinya….” Bayang Nili terus menggoda pikiran Melati. Wanita yang banyak digandrungi pria itu semakin kacau. Diacak-acaknya rambut yang setiap minggu dibawanya ke salon itu.

“Aku tidak mau, Nil….. Aku tidak mau…..”

***

“Nil, kamu lihat orang-orang itu? Menurutku mereka begitu membuang-buang waktu. Mereka memuja angan kosong belaka.”

“Aku setuju, Mel, mereka hanya diperbudak dongeng dan halusinasi saja.”

“Mereka pikir kita akan hidup lagi setelah mati. Hahaha. Ada-ada saja pemikiran seperti itu. Aku bahkan sedang berusaha agar tidak bisa mati.” Melati menjilat es krim kesukaan lidahnya. Ia begitu menikmati hidup. Baginya, bahagia itu jika ia sudah lupa dengan kematian. Ia membayangkan suatu saat tak ada lagi ritual-ritual bodoh di dunia ini. Tidak ada lagi penghambaan, kecuali penghambaan pada kebebasan. Kebebasan yang membuat makhluk cerdas sepertinya benar-benar merdeka.

“Mel, aku ingin seperti kupu-kupu. Terbang di atas bunga-bunga dan menghisapi madu hingga lidahku tak bisa merasakan pahit lagi.” Nili riang menatap langit. Senyumnya merekah indah seperti kekuntum mawar. Matanya bersinar menerawang. Terbang bersama kumbang-kumbang yang malu-malu menggodanya.

Melati ikut tersenyum. Seolah ia merasakan keindahan yang menyusup dalam jiwa Nili. Ia semakin yakin, bahwa ia adalah orang paling cerdas dan paling merdeka di dunia ini. Tak ada yang membatasi angannya. Tak ada sekat dalam perilakunya. Tak ada sedikitpun yang berhak mengusik kebahagiannya. Semua ia miliki. Kecantikan, harta, kecerdasan, jabatan, kekasih, dan semuanya. Ia bahagia dengan apa yang ia punya, ia bisa terbang ke mana pun ia mau. Tanpa terbebani oleh aturan-aturan teologi yang dianggapnya primitif.

“Kalau kita mati, kira-kira kita pergi ke mana ya?”

“Bodoh, kita akan hancur bersama tanah. Menjadi zat-zat makanan untuk menyuburkan tanaman.”

“Hahahaha…” Dua gadis muda itu tertawa bersamaan. Membuat irama nyaring menantang langit. Tidak ada sedikitpun gurat takut di hati mereka. Tak ada. Mereka benar-benar melayang dalam dunia yang begitu indah, dunia yang ingin mereka tempati selamanya.

Sebuah kijang putih berhenti di hadapan mereka. Mereka tetap tertawa, meleburkan suara dengan kebisingan taman kota. Seorang pria tampan keluar dari mobil dan gesit menghampiri mereka. Nili tampak terkejut. Yang datang adalah kekasihnya. Kekasih yang baru semalam merengek cinta padanya. Mengemis agar Nili tidak memutuskan cintanya. Pria pemujanya itu benar-benar mabuk kepayang oleh keindahan yang dimilikinya. Tapi Nili tak peduli, apa yang tidak dia sukai lagi berarti harus diganti.

“Nili, ikut aku!” Pria itu menarik tangan Nili. Memaksanya untuk segera masuk ke mobil yang dibawanya. Nili berontak. Wajahnya memerah marah dengan pemaksaan yang dilakukan mantan kekasihnya itu. Es krim tercintanya terpaksa ditimpukkan ke wajah pria yang sudah dianggapnya tiada harganya lagi.

“Hei, orang gila! Kenapa kamu memaksa temanku?” Melati menghardik dengan lantang. Emosinya membuncah melihat sahabatnya diperlaukan dengan kasar, mirip majikan memperlakukan seorang budak.

“Jangan ikut campur!” Ancam si pria. Telunjuknya lurus mengacung ke wajah Melati. Tapi Melati tidak peduli. Ia melepas sepatunya dan secepat kilat menghantam kepala si pria. Hak lancipnya telak mengenai pelipis si pria hingga darah membancir di wajahnya. Nili tampak terkejut. Cengkeraman di tangannya lepas seketika. Ia menutup mulut. Si pria meraung kesakitan sambil menahan darah keluar dari pelipisnya. Orang-orang di taman pun terpaku dengan pemandangan itu. Mereka berkerumun menunggu apa yang terjadi selanjutnya, tanpa ada yang berinisiatif melerai. Mata orang-orang di taman dipaksa untuk mendelik saat pria kasar yang menyatroni Nili menghunus sebuah pisau. Matanya tajam menyambar Melati yang tampak panik seketika.

Si pria berjalan dengan gesit menyerang Melati. Harga dirinya seakan diinjak oleh Melati yang berani membuat pelipisnya bocor. Namun secepat kilat pula Nili menghadangnya dengan memukulkan tas cangklongnya berkali-kali ke tubuh si pria hingga pisaunya terjatuh. Dengan sigap Melati meraih pisau yang yang terhempas di ubin taman. Sedangkan Nili sudah balik diserang oleh si pria. Lehernya dicekik dengan kuat. Ia mencoba meronta tapi tangan pria itu terlalu perkasa untuk membuatnya terbebas dengan cepat.

Dengan gugup Melati mendekat. Dihunusnya pisau yang tampak berkilau di tangannya. Ia terus mendekat. Dan dengan tangan bergetar ia tikamkan pisau tajam itu ke arah pria yang mencekik Nili. Tapi sialnya, Melati terlalu gugup. Hingga pisaunya meleset dan mengenai punggung Nili hingga tembus ke jantung. Nili terpekik. Gadis bak bidadari itu merintih kesakitan. Darah segar membanjir di baju putihnya. Tubuh indahnya tersungkur tak berdaya. Semua terpana. Si pria pun bukan kepalang terkejutnya. Melati menggeleng tidak percaya. Ia telah menikam sahabatnya sendiri. Ia seperti sedang bermimpi. Semua terjadi begitu cepat.

***

“Apakah aku akan benar-benar menjadi pupuk, Mel? Aku tidak mau. Aku ingin menjadi kupu-kupu yang dapat terbang dan merayu bunga-bunga bermadu.” Bayang Nili semakin jelas di pelupuk mata Melati. Kadang ia terlihat murung, kadang tertawa riang sambil terbang mengelilingi ruang bui yang mengerikan.

“Seperti apa rasanya mati, Nil?” Lirih bibir Melati berucap. Tatapannya kosong.

“Entahlah, Mel. Sulit digambarkan. Tapi rasanya sakit sekali saat kutahu kamulah yang membunuhku.” Melati melotot seketika. Ia tertohok oleh perkataan shabatnya itu.

“Aku tidak membunuhmu, Nil. Aku gugup. Aku, aku…. Ah…….. Persetan denganmu, Nil. Aaaah…. Aku tidak peduli. Pergi! Pergi…..!”

“Hei, hei, hei….! Ada apa denganmu?” Hardik seorang petugas. Nafas Melati memburu. Ia menatap ke segala arah. Mencari sesuatu yang sekejap hilang. Nili tak ada lagi. Tapi tiba-tiba muncul sosok makhluk dengan tampang mengerikan. Ia membawa palu sebesar paha gajah. Matanya menyala. Taringnya menyeringai tajam.

“Hah!” Melati tersentak. Tubuhnya dingin seketika. Matanya mendelik. Ia merasa begitu takut. Rasanya ia ingin meloncat menembus atap ruang tahanan. Dan terbang melayang ke angkasa. Tapi ia tidak dapat berbuat banyak. Baru kali ini ia merasa benar-benar tidak berdaya. Ia seolah cacing kecil yang terkurung dalam botol, menggeliatpun percuma.

“Siapa kamu? Siapa kamu? Kamu mau apa? Kamu maaaau u.. u.. uang? Aku beri. Tapi kumohon pergi! Jangan mendekat!” Melati semakin kalut. Makhluk mengerikan itu semakin dekat. Matanya menyala tajam. Palunya terayun dengan tenang.

“Kurasa gadis ini sudah gila!” rutuk si petugas.

Melati benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Ia lunglai dalam kepasrahan utuh. Matanya sayu. Bibirnya bergetar. Ia meringkuk dengan memeluk kedua lututnya. Sedangkan si makhluk menyeramkan sudah tepat berada di depannya. Ia benar-benar menakutkan. Ia seakan ingin mencabik-cabik tubuh Melati.

Gadis dalam kondisi berantakan itu sudah berada pada puncak ketakutan. Ia takut mati mengenaskan. Ia membayangkan saat tubuhnya diremukkan oleh palu si makhluk misterius. Ia tidak berani menatapnya. Ia melihat lantai yang tampak compang-camping di bawahnya. Air matanya menetes deras menyapu wajah cantik yang sangat dibanggakannya. Dalam cengkeraman kematian yang seolah merontokkan sendi-sendi tubuhnya, terucap lirih dari bibir mungilnya,”Tuhan, tolong aku!” Bui hening seketika. Sepoi angin membawa syair-syair tak bernada. Merayapi tembok berkarat darah. Dan menyusup ke luar jeruji. Sekejap tedengar sayup jeritan pilu, rintih-rintihan melodi dari lembah kehinaan. Angan kosong, dongeng, dan halusinasi itu kini terlihat nyata.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar