“Uler Keket”


Oleh: Mukhlis Ahsya

Aku pernah berpikir kalau aku adalah makhluk paling sial di jagad ini. Dan yang teramat sial, aku sering kalap karena sentuhan. Jangan coba-coba, aku bisa bergelinjang-gelinjang jika jemari sok tak berdosa menyentuhku, aku geli bukan main. Aku sebetulnya heran, kenapa kulitku bisa begitu sensitifnya?

Orang Jawa menamaiku uler Keket. Makhluk yang terkenal kalem itu jago juga memilih nama. Karena aku suka klogat-kloget makanya digelari Keket, sehingga menjadi inspirasi dalam syairnya Didi Kempot “Uler Keket mlakune klogat-kloget, get … ”.

Aku berhutang budi pada orang Jawa, atas nama yang disematkan padaku. Aku juga terpukau dengan perangai mereka, santun merunduk-runduk. Tapi tetap saja, kalau dipajang di terminal mereka jadi beringas. Suka menarik semena-mena tas penumpang, caranya menawari tumpangan juga setengah mengancam. Ini sebenarnya jadi pembelajaran untuk Abah Namrud. Pasalnya, aku suka senewen dengan orang yang banyak cakap itu, yang pidatonya teramat memikat. Tahu kenapa? Aneh, orang yang daun gembelinanya sering kugasak itu begitu bangga dengan keapikan pekertinya. Dia tidak sadar apa, kalau dia itu hanya beruntung? Dia diselamatkan oleh lingkungan. Perangainya baik karena dia ada di tempat yang kondusif, nyaman, tentram, beradab, coba saja taruh di terminal, bejat bukan main.

Hebatnya lagi, cakapnya itu kadang bikin risih, tak sesuai dengan amalnya yang mbruwel. Menyeru orang agar bersedekah, tapi meditnya bukan kepalang. Berpersuasi agar orang ikhlas, qona’ah, tawadu’, tapi jika habis ceramah tak disumpali amplop, gerutunya tiada ujung. Aku yang teramat geli dengan sentuhan, ternyata lebih geli lagi dengan mata si Abah Namrud. Kedipnya bikinku bergelinjang hebat.

Sebagai ulat yang kadang hobi berkelana, aku pernah tersesat, tak tahu arah pulang. Galau bukan main. Bagai butiran debu. Kulihat persemayaman megah, tapi bikin meremang. Kuburan Cina rupanya. Manusia itu paling takut dengan kuburan, sarang setan katanya. Padahal, kadang mereka lebih menakutkan dari pada setan. Aku saksinya. Aku terpekik dan terlonjak kuat saat ada tangan merabaku. Pria muda rupanya. Ia menjerit histeris sejadi-jadinya. Matanya melototiku. Sangat tidak sopan. Seharusnya aku yang menjerit karena dengan tidak senonohnya ia merabaku. Tak tahukah dia jika aku juga pejantan? Dia merontokkan harga diriku. Aku masih normal, tahu .… .

Pria penjerit itu munafik adanya. Ia jijik dengat klogat-klogetku, tapi sejurus kemudian ia malah membuat teman wanitanya klogat-kloget tidak karuan. Mesum. Makhluk yang tidak memiliki konsistensi. Juga tak tahu diri. Pekuburan harusnya buatnya ingat mati, tapi malah dijadikan medan perbuatan hewani. Tak bermoral. Seperti itu menamakan diri sebagai manusia? Durjana!

Bangsaku, bangsa ulat, atau lidah Jawa menyebutnya uler, kadang jauh lebih mulia dari bangsa manusia. Di mata manusia, uler bisa tampak seperti malaikat. Tidak percaya? Itu dialami sendiri oleh sahabat kecilku, uler Kilan. Kilan artinya jengkal, orang Jawa juga yang menamai. Lenggoknya yang menjulur naik-turun terlihat seperti jari yang sedang menjengkali, atau ngilani, sehingga disebut uler Kilan. Dia amat keramat. Jika ada orang yang dirayapi si uler Kilan dari ujung kaki sampai kepala, maka orang tersebut akan sangat yakin bahwa sebentar lagi dia akan mati. Dahsyat tiada tandingan, memang. Temanku yang lucu itu bisa merebut job malaikat Izrail, mencabuti nyawa manusia. Horor, kuno, mitos tak berakal. Begitu mereka menyakini diri sebagai manusia? Kudengar dari burung seberang katanya manusia itu berakal, nyatanya? Bukan main bebalnya. Temanku, uler Kilan, jadi besar kepala karenanya. Ia sering terkekeh melayang ke angkasa. Menempel di ketiak gagak, sambil melambai seolah ia makhluk paling kuat di dunia. Sebenarnya satu yang kukhawatirkan, jika job malaikat Izrail direbut oleh si uler Kilan, kira-kira malaikat mulia itu mau melamar kerja di mana? Miris. Budaya jahiliyah masih saja mengakar.

Dulu aku pernah terjatuh dari pohon gembelina milik Abah Namrud. Gara-gara samar kudengar suara khas menyebut-menyebut “kepompong” dalam syairnya. Aku bukan terpesona karena indah lagunya, tapi karena syarafku pretel tersentak kata “kepompong”. Peganganku pun terlepas, hingga berdebum di tanah berkerikil, ngilu. Kalau bukan karena diiming-imingi akan jadi kupu-kupu yang dapat melayangi angkasa, aku tak sudi jalani ritual jadi kepompong. Tak terbayang rasanya bertapa dalam gelap, tak ada daun gembelina hijau yang dapat kusantap. Mengerikan. Pucat pasi aku membayangkannya.

Manusia itu kadang asal bicara. Bilang persahabatan bagai kepompong. Seram amat? Kalau persahabatan adalah kepompong, berarti manusia adalah ulat. Aku berani bertaruh atas nama bangsaku, mereka tidak akan sanggup jadi ulat. Apalagi menjelma dalam wujud kepompong, mustahil. Sepupuku sesama Keket geleng-geleng mendengar gerutuanku. Ia menukas tajam, menyakitkan,”Dalam lagunya, kan, ada kata “bagai”, itu artinya mereka mengibaratkan bahwa persahabatan itu mirip kepompong.  Menggambarkan bahwa persahabatan itu sulit. Tapi kalau tabah, sabar, dan telaten, ujungnya indah, bak kupu-kupu, melayang; menenggak madu, sedap. Begini kalau ulat tak punya cita rasa sastra sama sekali. Suka senewen dengan bodohnya.” Lidah setajam silet, setajam rambut yang dibelah jadi tujuh. Sringgg! Rantas sudah hati ini, tercabik. Sakit, perih. Aku ulat senewen yang bodoh?

Entahlah, aku memang kurang suka dengan manusia. Serakah, penjajah. Egois, tak tahu diuntung. Bangsa ulat sering kali ditindas. Tak boleh di sini, tak boleh di situ. Tak boleh makan ini, tak boleh makan itu. Mau menang sendiri. Aku hanya kasihan dengan kerabatku nun jauh di sana, di sawah, di kebun, dan di ladang. Hidup mereka selalu was-was, penuh marabahaya. Mereka harus tergopoh-gopoh menghindari bangsa burung, predator ulung. Menyambar tanpa pri-keburungan. Mencabik-cabik dan menggiling tubuh-tubuh kecil itu di ususnya. Sadis. Juga mereka harus pandai berpayung daun agar tak tersembur cairan sengak beracun, pestisida sakaratul maut. Tragis nasib mereka. Padahal mereka tidak pernah meminta menjadi pemakan daun tanaman pangan, juga bukan karena kutukan. Semua terjadi alamiah, di luar kendali bangsa ulat. Berkali-kali kusarankan agar mereka berganti menu makan, kutawarkan daun gembelina, tapi ditolaknya dengan santun. “Kami tidak bisa melawan takdir,” tuturnya pasrah. “Mereka pantas tinggal di surga,” batinku dramatisasi, sok meramal masa depan. Uler Keket tak tahu diri.

Sebenarnya, aku tak sepenuhnya benci pada manusia. Biar bagaimanapun, mereka adalah pemimpin kami. Makhluk yang dengan tangannya diharap mampu menciptakan keseimbangan di bumi. Melindungi bumi beserta isinya dari petaka. Meski nyatanya, mereka malah menggoda petaka. Menantang langit. Dan memanahi kedamaian.

Tapi, ada juga manusia yang indah pekertinya. Meski hati merasa risih pada kami, bangsa ulat, tapi mereka menjaga sikap. Tak ingin makhluk tak berguna seperti kami tersinggung dan merasa hina. Mereka juga baik pada bangsa flora, dirawat. Jika tak benar-benar butuh tak akan dilukai. Senyum mereka tulus, tak ada sedikitpun modus. Alam benar-benar dijaganya, tak ingin ada yang terkoyak, tak ingin setetes darahpun tumpah, apalagi sampai tercecer di bumi.

Ahh, kurasa ada yang aneh pada diriku. Kepalu mendadak pening tak terkira. Badanku menggigil tiba-tiba. Akhirnya apa yang kutakutkan selama ini datang juga. Aku akan menghilang. Terkurung dalam gelap, menakutkan. Aku akan tergantung seperti kentongan yang pernah kulihat di gardu, digebuki hansip tanpa ampun. Aku akan tirakat sekian lamanya. Meninggalkan gemerlap dunia. Mengabdi penuh pada takdir. Ada satu sisi positifnya, aku tak akan lagi tersentuh tangan manusia, hingga aku tak perlu lagi bergelinjang-gelinjang, berjungkit-jungkit kegelian. Dan untungnya bagi mereka, aku tak akan lagi banyak mengkritik, tak akan lagi membuat mereka risih, jijik tak terkira. Karena setelah masa berat itu kurengkuh, aku akan segera terbang, melayang, mencandai bunga-bunga hingga terbuai, dan perlahan kuhisap madunya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar