Misinah

Ukiran Tinta : Tinta Tumpah_Sedamai

7035df644a533e4f30bba7379302f075

Cukuplah memperjuangkan apa yang diyakini kebenarannya, sebagai petarung!
***
Siapa bilang, petarung hanya milik Buya Raden Intan dan Imba? Sosok pahlawan asal tanoh ladow yang bertarung melawan VOC, Belanda di tahun 1825-1860. Kita semua adalah petarung, bahkan jauh sebelum kita lahir dan menjejakkan diri di mayapada ini. Berjuta-juta sel bakal calon janin berebut untuk menjadi manusia, dan hanya satu sel terkuatlah yang memenangkan pencalonan tersebut. Jadi, pantaslah jika kita memang berpunya jiwa petarung. Terlebih untuk sebuah cita-cita mulia; menjadi seorang guru.
1979

Tersebutlah, di sebuah desa bernama Banjarrejo. Di kejauhan berkilo-kilo dari gunung anak krakatau. Sebuah gunung, yang memiliki legenda tak sembarang legenda. Pada mulanya Pulau Krakatau besar yang biasa disebut dengan nama Gunung Krakatau adalah sebuah Gunung Krakatau purba yang memiliki ketinggian sekitar 2000 mdpl dengan lingkaran pantainya sekitar 11 km dan radius sekitar 9 km2.

Namun ledakan dahsyat yang terjadi sekitar 416 M ini telah menghancurkan tiga perempat tubuh gunung tersebut dan menyisakan tiga pulau besar, yaitu Pulau Sertung, Pulau Rakata, dan Pulau Panjang, serta sebuah kaldera di tengah ketiga pulau tersebut. Sebelum tahun 1883 muncullah dua buah gugusan gunung yang bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuatan yang kemudian lama-kelamaan bersatu dengan Pulau Rakata dan biasa disebut dengan Gunung Krakatau saja.

Pada tahun 1880, yang disebut masa strombolian, aktivitas vulkanis berlangsung selama beberapa bulan, dan Gunung Perbuatan aktif mengeluarkan lava. Setelah periode itu, tidak ada aktivitas vulkanis hingga akhirnya muncul tanda akan adanya letusan pada bulan Mei 1883.

Lalu pada tanggal 27 Agustus 1883 Gunung Krakatau meletus. Menurut catatan sejarah yang hingga kini selalu dipromosikan jajaran pariwisata Lampung, Gunung Krakatau meletus sangat dahsyat, menggemparkan dunia. Semburan lahar dan abunya mencapai ketinggian 80 km. Sementara abunya mengelilingi bumi selama beberapa tahun. Dilihat dari Amerika Utara dan Eropa, saat itu cahaya matahari tampak berwarna biru dan bulan tampak jingga (oranye).

Letusan gunung ini menghasilkan debu hebat yang mampu menembus jarak hingga 90 km. Letusan itu pun berdampak terjadinya gelombang laut sampai 40 m vertikal dan telah memakan korban sekitar 36.000 jiwa pada 165 desa baik di Lampung Selatan ataupun pada barat Jawa Barat. Dan karena letusannya itu telah melenyapkan Gunung Danan dan Perbuatan dari muka bumi dan menyisakan tiga pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Sertung, dan Pulau Rakata besar, serta sebuah kaldera yang terletak di tengah ketiga pulau tersebut yang berdiameter 7 km.

Empat puluh tahun kemudian lahir keajaiban baru. Sekitar tahun 1927 para nelayan yang tengah melaut di Selat Sunda tiba-tiba terkejut. Kepulan asap hitam di permukaan laut menyembul seketika di antara tiga pulau yang ada, yaitu di kaldera bekas letusan sebelumnya yang dahsyat itu. Kemudian pada tanggal 29 desember 1929 sebuah dinding kawah muncul ke permukaan laut yang juga sebagai sumber erupsi. Hanya dua tahun setelah misteri kepulan asap di laut itu, kemudian muncullah benda aneh. “Wajah” asli benda aneh itu makin hari makin jelas dan ternyata itulah yang belakangan disebut Gunung Anak Krakatau.

Tapi misteri Gunung Anak Krakatau tidak sampai di situ. Gunung ini memiliki keunikan tersendiri, sebab gunung ini selalu menambahkan ketinggiannya sekitar satu senti tiap harinya. Gunung Anak Krakatau yang semula hanya beberapa meter saja, sekarang sudah dapat mencapai 230 mdpl dan sejak munculnya pada tahun 1927. Gunung ini tercatat telah meletus sekitar 16 kali sejak Desember 1927 sampai Agustus 1930 dan 43 kali sejak 1931-1960 dan 13 kali sejak 1961-tahun 2000.

Di sebuah desa bernapas Jawa, tinggalah keluarga sederhana. Keluarga itu terdiri dari suami, istri, dan ketiga anak yang kesemuanya adalah perempuan. Pada masa itu, seperti banyak ditemukan di pelosok-pelosok. Perempuan hanyalah seonggok manusia yang selalu terikat dengan urusan 3R. Sumur, dapur, dan kasur. Tahun itu memang masih terselimuti tudung penjajah yang menggilas wanita, seperti sesuatu yang tak begitu berharga.

Salah satu dari ketiga putri keluarga sederhana itu, dan mungkin hanya dialah yang paling nyeleneh diantara penduduk sana. Dialah, yang bercita-cita untuk sekolah dan melanjutkan sampai ke perguruan tinggi. Ia ingin sekali menjadi guru. Misinah namanya. Nama yang sederhana, sesederhana kehidupan keluargaanya. Ia seorang anak dari keluarga Jawa yang turut bertransmigrasi ke tanoh ladow. Bapaknya hanya seorang petani buta huruf, yang selalu terpanggang sinaran teja. Sedang, ibunya, hanyalah seorang ibu rumah tangga yang setia menemani si suami pergi mengani-ani padi di sawah. Namun, ibunya selalu berpesan padanya,”Nak, meski orangtuamu buta huruf, cita-cita tak boleh hanya sekedar hidup dan bisa makan! Kucing pun tahu hal itu! Masalahnya, kamu itu manusia!”

“Tapi, aku anake wong ora nduwe, buk’e. Aku hanya seorang wanita.” ucap Mis suatu hari.

“Kalau wanita, memangnya kenapa?”

“Menikah saja sepertinya sudah cukup. Ndak perlu tinggi-tinggi. Ujung-ujungnya nanti ngurusi dapur.”

Lewat remang malam yang dikerlipi gemintang. Cahaya langit saat itu sangat benderang, dengan dewi malam yang sempurna bercahaya. Tiada tertandingi cahayanya, dengan suatu apapun. Rumah-rumah penduduk saat itu hanya dicerahi lampu ublik yang asapnya hitam mengepul, menyesapi sawang-sawang di langit-langit bambu.
Ibunya tersenyum. Senyum ibunya, bak senyum rembulan yang purnama. Nyala cahaya pada senyuman ibunya lebih menerangi hatinya.

“Nak, bercita-citalah setinggi langit! Walau kita miskin, kau harus punya cita-cita. Karena dialah satu-satunya harta berharga kita. Bukannya, dulu kamu pernah bilang tho, mau jadi guru. Katamu, guru itu seperti malaikat Jibril yang mendatangi Rosul dan mengajari Rosul berbagai hal dengan IlmuNya. Kamu pengen tho jadi malaikat, meski tak bersayap?”

“Inggih Buk’e. Mis, pengen banget jadi guru. Beratusan tahun kita dijajah Londo. Kita sangat tertinggal dengan negara-negara luar. Mis, pengen ngajari orang-orang supaya bisa baca tulis. Biar mereka setidaknya tidak mudah dibodohi. Mis juga, pengen … ibu sama bapak, bisa … membaca.” ucap Mis berat.

“Tapi ….” Mis jadi putus asa. Ia teringat senyum kecut para tetangga yang sering mencibirnya ketika berangkat atau pulang dari sekolah.
Mis hanya bisa mendesah. Semoga desahannya didengarkan bayu. Disampaikan kepada orang-orang yang sering menganggapnya, percuma seorang wanita bercita-cita tinggi.
1982

“Mau ke mana, Mis?” ucap Kiyah saat berpapasan di jalan. Jalanan saat itu masih berupa tanah dan batu. Jika hujan tiba, maka tanah kemerahan akan menjadi lembek dan lengket dinjak. Menempel di alas sepatu atau sandal. Transportasi saat itu masihlah jarang, motor di daerahnya hanya beberapa saja, apalagi berupa mobil. Ada kereta sapi, karena yang menarik kereta tersebut adalah sapi. Atau lebih tepatnya gerobak sapi. Karena hanya sebuah papan-papan yang di desain untuk mengangkut barang. Sepeda bisa dihitung dengan buku-buku jari. Hari masih redup, suasana masih pekat dan gelap meski sudah pukul 06.15 Wib. Ia bertemu kawan SD-nya yang sedang membantu mendorong gerobak bapaknya menuju ke sawah.

“Mau kemana, Mis? Sudah rapi benar sepagi ini.”

“Alhamdulillaah, aku masuk kuliah. Hari ini mau ke kampus.”

“Kampus? Tempat apa itu, Mis?”

“Tempat kuliah. Aku mau jadi guru, Yah!” Mis sumringah.

“Haduh Mis, Mis, buat apa kamu sekolah terus? Bapakmu itu cuma wong cilik. Mending kamu bantu ibumu ke pasar, jualin hasil tani bapakmu.”

“Saya ini juga sedang membantu orang tua, Yah.”

“Bantu apa maksud kamu?”

“Sekolah.”

Kiyah tersenyum kecut.

“Jangan sampai, sampeyan jadi perawan tua, Mis. Lihat teman-teman kita sudah menikah. Akupun sudah dilamar Wardi. Sedang sampeyan, entahlah ….” Kiyah menggelengkan kepala.

Lalu Mis mencoba tersenyum, dan bersegera menapakkan kakinya mendahului mereka. Setiap hari Mis dan beberapa yang lain berjalan kaki menuju tempat perkuliahannya. Dalam perjalanan menuju tempat perkuliahan, kebanyakan orang-orang yang berjalan bersama Mis, adalah kaum laki-laki. Hanya tiga orang perempuan saja yang terlihat. Di sana, ada anak tani yang kaya raya. Ia sudah memiliki motor. Motor buatan 1980an, berjenis Honda. Di masa itu, motor seperti itu sudah amatlah mentereng.

“Bareng saya, Mis?”

“Ndak usah.” ucap Mis lembut dengan sebuah simpul senyum. Lelaki itu pun kemudian menaiki motornya dengan perlahan mengikut di belakang rombongan, dengan kepulan asap motor.

Malamnya, Mis pergi ke surau saat bedug maghrib mulai dipukul. Ia dan beberapa orang pergi ke surau dengan mengikat daun kelapa kering, lalu memberinya api. Terkadang jika malam tiba, mereka juga sering mendengar ada cerita-cerita tempat angker. Seperti sebuah lahan yang akan mereka lewati. Di sana ada sebuah pohon sirsak. Desas-desusnya, ada lelaki gila dan tak berbaju sempurna, tiba-tiba muncul di pohon itu, dan mengejar pejalan kaki yang melintas. Saat mendekati lahan itu, mereka berbisik-bisik, menyebut asma Allah agar tenang. Tapi, mereka masih merasa ngeri. Lalu mereka tanpa dikomando, berlarian secepat kilat menuju surau sesegera mungkin. Dengan napas tersengal, mereka mencoba berlarian sekuat tenaga, belum lagi obor dari daun kelapa habis sebelum tiba ke surau. Mereka sebenarnya membawa dua. Namun, yang satu untuk mereka pulang. Biasanya mereka hanya menghidupkan beberapa saja, yang lain hanya menumpang. Namun, karena mereka ketakutan, mereka semua menghabiskan obor mereka. Sehingga tak ada persediaan obor untuk ke surau.

“Tamatlah kita ini, malam-malam begini ….” ucap Jum, teman satu kampung dari Sleman, Yogyakarta yang turut pindah ke Lampung.

“Ssst, diamlah. Coba tenanglah. Meski kita merasakan kegelapan, tapi remang-remang cahaya rembulan mulai nampak menyinari. Dunia tak segelap yang kita bayangkan, selalu, masih ada cahaya yang menyinari. Marilah kita melangkah! “ ucap Mis kemudian.

Kemudian, merekapun ikut melangkah seraya mengucap basmallah.

“Aku melihat gemintang di langit sana!”

“Subhanallah, indahnya. Bintang itu ibarat sebuah impian kita. Membuat hati menjadi cerah dan bersemangat. Aku melihat diriku di langit sana, tersenyum, telah diwisuda menjadi seorang guru.” ucap Mis.

“Benar, Mis. Aku juga melihat diriku, tengah mengembangkan senyuman, menjadi seorang insinyur muda. Dari keluarga pengampas kelapa.” ucap Jum. Merekapun tersenyum melihat bintang impian mereka masing-masing.

Teruntuk inspirator tulisanku, ibuku sendiri.
Lampung, 09/09/2013