“Kisah Aneh Yang Gak Sengaja”


 

“Ngawur! Baca panduannya!” sms dari sang pengepul cerpen yang niatnya mau dibuat antologi. Ternyata cerpenku tidak sesuai dengan yang diminta. Dongkol dikit, sih… Abis, ortu aku aja jarang bilang ngawur sama anak gadisnya yang cantik ini. Hiks…. Bisa dimaklumi banget, kok, gak usah pake gak enak gitu, ya, Akh… Hehehe…. Salah aku juga, sih, yang gak teliti banget baca ketentuan tulisan yang harus dikirim. Sampai-sampai salah bikin wujudnya. Disuruh kisah nyata malah ngarang bebas coba? Pinter banget, kan, aku? Uwwekkk….! Belum jadi penulis beneran aja udah nyusahin editor, apalagi kalo nanti udah terkenal. Ogah! Amit-amit…..!

Ketentuan cerpennya dishare lewat facebook yang harinya sudah tak kuingat. Tulisan di panduannya rapet banget, gak menarik buat dilihat, apalagi dibaca. Sok komen gitu, ya, aku…. Hehehe. Padahal sebenarnya gaya bahasanya bagus buanget gitu…. Hiks. Langsung sadar kalau punya sendiri, ANCUR!.

“Minggu jadi, ya! Syukron!” Sebuah sms masuk. Oh my god!!! Cuman dua hari waktu yang dikasih, dari jum’at malem sampe hari minggu. Gara-gara tulisan yang salah bentuk harus pake turbo kualitas tinggi, nih. Tenang, Ranti! Jangan panik! Ini hanya secuil tanjakan hidup yang pasti seru. Semangat! “Kalo mepet biasanya lancar, kok!” Kukirim sms balesan untuk Akh Mukhlis, si pengepul cerpen. Sebenernya untuk motivasi diri sendiri biar gak tambah stres. Modus biar editornya seneng. Gubrakk!!

Ldk Al-Ishlah rencananya mau bikin antologi cerpen yang temanya “Bertahan dalam Perbedaan”. Penulisnya adalah para kader LDk yang memiliki kemampuan menulis. Penggagasnya adalah Akh Mukhlis yang merangkap jadi pengepul and sekaligus editornya. Iya gak, ya? Kayaknya, sih, gitu. Waduh! Kok, gak yakin, sih? Hadeh…. Mending baca lagi, deh, ketentuannya yang tak copy dari grup facebook LDK. “Assalamu’alaikum…! Apa kabar Generasi Penyemai Cinta?Apakah kalian masih memiliki cinta?” Kalimat pertama pembuka panduan kepenulisan, yang butuh jawaban, “Oh yes, of course I have.” Langsung kujawab setulus hati. Hehehe. Kubaca secara acak setiap bentuk huruf yang rapet-rapet itu. Lho, gak ada tulisan true storynya, tuh? Apa aku kurang teliti atau salah tanggep, ya? Tauk, ah. Pokoknya, kan, yang punya hajat minta cerita yang nyata. Titik!

Gak gampang menulis kisah nyata yang penuh kesan apalagi pengalaman pribadi. Banyak pertimbangan yang wajib hadir dalam sidang pemilihan cerita mana yang nantinya mau diangkat. Apalagi sang waktu larinya gak tanggung-tanggung. Pake lari sprint and gak pake istirahat lagi. Oh, Tuhan, inikah ujian-Mu? Sabar! Di saat-saat seperti ini jurus kepepet dan kecepit harus dimaksimalkan. Dimulai dari mana, ya? Awal masuk LDK atau ini, atau itu, atau yang waktu itu aja? Eh, kayaknya nggak, deh. Gimana kalau cerita yang sama dia? Eh, jangan, jangan! Waduh, pening gila mikirinnya. Setiap kandidat cerita gak ada yang mau cungit buat jadi korban. “Akh Mukhlis, kenapa antum membuat aturan yang membuat hati dan pikiranku beradu pedang untuk menentukan pilihan?” gerutuku dalam hati. Kenapa aku jadi lebay gini, ya? Jangan-jangan aku mulai sters, lagi? Sebentar, satu tambah satu masih dua, kan? Oke, aku masih waras. “Hah….!” aku mendesah. Sepertinya aku memang harus menyerahkan keputusan ini pada jemariku untuk menyanyikan apapun kata-kata yang berharap mau datang sendiri. Kusandarkan kepala dan badan ini ke sandaran kursi, berharap dapat ide. Pikiranku tiba-tiba nyangkut ke sebuah peristiwa waktu aku telat masuk saat mengikuti tes tertulis masuk STAIN Metro.

***

“Aku terlambat!” pekikku. Aku berlari masuk area kampus. Mataku sibuk mencari gedung ruang tes ujian tertulis. Agak sepi, pasti semuanya sudah masuk ruangan dan bahkan mungkin sudah mulai ujian. Aku nyengir di gerbang. Pagi ini hujan membuka hari. Baru lima belas menit lalu hujan reda dan menyisakan genangan air di sana sini. Aku jinjit-jintit menghindari genangan biar sepatunya tidak kotor. Aku bingung, setiap gedung tak ada yang memiliki plang nama di depannya, kecuali gedung rektorat yang tertera plang begitu besar dan jelas terpampang. Kudekati salah satu orang yang sedang sibuk membaca koran di depan gedung rektorat. Cuma pengen nanya, gak pake kenalan. Tenang aja! “Maaf, Mas, gedung tes ujian tertulis di mana, ya?” Aku mencoba bertanya sesopan mungkin, meski panik. Tapi gak carmuk, lho….

“Oh, di sana Mbak, yang samping masjid warna pink.” Dia menunjuk sebuah gedung depan parkir motor. “Terimakasih, Mas!” Aku langsung berjalan cepat menuju gedung itu. Ada daftar nama dan nomor urut pendaftaran yang tertempel di kaca. Langsung kuteliti setiap deret nama yang tertera, tapi namaku tidak ada. Aku takut semakin telat dan waktu untuk mengerjakan soal ujian menjadi berkurang. Apalagi kalau yang minta diitung. Itu super gawat.

“Assalamu’alaikum, Dik! Kenapa? Lagi cari kelasnya, ya?” Seorang wanita dengan jeket hitam dan jilbab besar tiba-tiba menyapaku. Nampaknya dia membaca tingkah lakuku yang seperti orang bingung. Bukan “seperti”, tapi asli bingung plus panik. “Walaikumsalam. Iya, Mbak. Aku terlambat! Belum tahu kelasnya di mana,” jawabku penuh harap bahwa wanita itu mau membantu.

“Nomornya berapa, Dik?” tanya mbak itu. Suaranya alus banget. Seperti belum sarapan. Hehehe.

“Dua ratus dua puluh lima. Ini kertasnya.” Kusodorkan kartu tanda peserta milikku.

“Ya sudah, ayo kita cari!” serunya. Melayang rasanya, ada malaikat yang baik hati banget mau nemenin mencari ruanganku. “Tapi kalau bisa jangan ikut bingung ya mbk,” candaku dalam hati. Haru… Aku mengikutinya berjalan dari kelas ke kelas, membaca setiap daftar nama peserta ujian yang ditempel di kaca masing-masing ruangan. Namun, belum juga kutemukan namaku di sana. Aku mulai gelisah. Perasaan takut tak terdaftar dan tak bisa masuk ke STAIN muncul.

“Mbak, gimana ini? Namaku gak ada!” Mataku mulai berkaca-kaca. Tapi aku tetap berusaha untuk tegar. Meski hati ini paniknya bukan main.

“Jangan nyerah, Dik! Ayo, kita cari lagi!” Kata-katanya cukup membuatku tenang. Ada perasaan damai dan merasuk secercah semangat baru. “Terimakasih, Tuhan! Kau mempertemukanku dengan wanita ini. Aku benar-benar beruntung dan terharu, ada orang yang sama sekali belum kukenal tapi begitu menggebu mambantuku. Aku saja belum tentu bisa seperti Mbak itu.” Aku berucap syukur dalam hati.

Kami bolak-balik ke gedung M dan N, dari lantai satu ke lantai dua, membaca daftar nama peserta ujian.

“Semoga tadi ada yang terlewat! Kalau beneran gak ada gimana, dong?. Hiks!” pikirku yang tidak-tidak. “Tuhan, kuharapkan pertolongan-Mu!” Dengan langkah yang mulai lemah aku kembali ke lantai dua, berjalan menuju ruangan di pojok sebelah kanan. Aku sudah ketiga kalinya ke sini. Harapan yang tipis membuat aku ingin menyerah saja rasanya. Dengan semangat yang meredup, kueja lagi setiap deret nama yang tertera. Tiba-tiba telunjukku berhenti ke deretan huruf yang kucari-cari. “Ini Mbak, ada!” teriakku kegirangan. Energi yang luar biasa tiba-tiba menjalar ke tubuhku. Gak pake permisi.

“Ya Allah, Dik. Tadi, kan, Adik sudah ke sini.” Wanita bagai malaikat itu nampaknya juga ikut lega, tapi pastinya juga dongkol karena keteledoranku memeriksa nama-nama. Aku merasa bersalah karena saking paniknya. “Iya, Mbak, maaf! Mungkin tadi karena buru-buru, jadi kurang teliti.” Aku benar-benar merasa bersalah pada mbak yang sangat baik itu.

“Ya sudah, Dik. Mbak pergi, ya!” pamitnya.

“Iya, Mbak. Maksih, ya!” ucapku takjub.

Kutengok ruang kelas. Nampaknya belum ada dosen dan belum ada kegiatan. Aku jadi ingat sesuatu. Aku lupa menanyakan nama wanita berjilbab lebar berhati embun itu. Tapi aku sempat membaca tulisan yang tertera di jaket hitamnya, “LDK”.

***

Oh, iya, ngomong-ngomong ceritaku melenceng dari tema nggak, ya? Dua hari yang harusnya dipake fokus bikin cerpen, malah nubruk sampek ambruk ke kegiatan lain yang gak ngajuin surat izin prektek, alias gak direncanain dulu sebelumnya. Mulai dari teman-teman satu liqo’an yang malem sabtunya sms kalau besok mau silaturahmi, sampai tentang ibu yang ngajak diskusi berkepanjangan buat nyiapin hidangan apa yang mau disuguhin nanti. Dan dalam keadaan mati lampu pula. Terus, paginya repot bikin empek-empek sama ager. Sampek teman-teman sudah pulang, di rumah gak selesai-selesai beberesnya. Abisnya langsung ditinggal ibu kondangan ke Pekalongan, sih. Badan rasanya remuk karena capek, tapi aku seneng, jarang-jarang temenku main ke rumah. Malam minggunya sudah siap-siap star mau ngetik, eh, ada om yang minta dibikinin daftar buat acara di desa.

Karena tidurnya kemalaman, paginya badan kurang enak alias masuk angin. Sorenya sudah lumayan ngetik dikit-dikit, tapi Mario Teguh nongol. Nah lho, apa gak double gubrak, tuh, namanya. Tapi selalu mencoba untuk sabar. Meski gak pengen nonton, tapi akhirnya nonton juga sampai habis. Keterlaluan banget, ya?

Drettt…drettt…..! “Ada yang kirim sms jam sebelas malem gini?” Rada males mau nengok hp yang terkapar di atas meja. Tiba-tiba ada perasaan gak enak, langsung kucomot hp jadulku, dan… Jebrettt! “Assalamu’alaikum! Anda pasti tahu tujuan saya mengirim sms ini. Ok, ditunggu!” Sms dari si penagih cerpen. Gubrak! Kedebukkk! Jlebbbb! Lemes langsung. “Waduh, mau jawab apai ini?” Penderitaanku lengkap; badan meriang, hidung mampet, perut laper, terus malem jadi semakin dingin. Ditambah Akh Mukhlis yang pastinya lagi mantengin facebook dari tadi sambil mikir,“Ke mana lagi orang ini? Kok, gak ngirim-ngirim?” Gak bisa apa-apa lagi, ngomong jujur biasanya selalu menjadi penyelamat segala kondisi. Berharap Akh Mukhlis mau bermurah hati ngasih dispen lagi.

“Maaf, belum bisa kirim hari ini. aku lagi sakit, ini aja baru mulai ketik tadi sore. Mungkin besok sore. Kalau masih diterima terimakasih, tapi kalau tidak gak apa-apa. Salah aku juga!” balasku. Aku cemas menunggu balasannya. Berdo’a supaya Akh Mukhlis gak kejam-kejam amat.

“Berarti besok udah jadi. Ok, ditunggu! Semangat!” sms balasan dari Akh Mukhlis. Rasanya lega dan yang pasti aku bisa langsung istirahat tidur. Badan bener-bener menuntut haknya.

Haduh, mereka itu baik-baik banget, ya. Tapi aku malah suka ngerjain mereka. Maafin aku yang ceroboh ini, ya! Ada hikmah dan kelemahan yang aku sadari dari cerita nyari ruang ujian dan alasan kenapa aku harus ganti cerpenku ini. Intinya aku ini kurang teliti. Jadi, aku harus diteliti dan disemangati. Dan di LDK-lah tempatnya orang baik yang peduli dengan orang lain, mau meneliti dan menyemangati. Hehehe….! Hikmahnya maksa banget, ya? Hehehe, biar, deh. Aku mau ngucapin terimakasih buat Mbak itu. Mbak berjilbab lebar yang dengan tulus membantuku. Entah siapapun dia dan di mana dia sekarang, semoga Allah selau mencintainya. Hingga kelak Allah akan mempertemukan kami dengan caranya yang indah. Di suatu tempat, entah itu di dunia ataupun di akhirat-Nya kelak. Ada banyak koleksi cerita yang sebenarnya memberi banyak pelajaran yang bisa kupetik. Tapi terkadang tak pernah kusadari dan malah mengacuhkannya. LDK banyak memberi kisah yang seru dan inspiratif, selain bisa untuk menambah referensi cerita hidup yang mungkin bisa jadi bahan tulisan. Heee, itu bonusnya, lho. Kalau ditanya masih mau bertahan? Aku akan jawab “Siap!”. Siap menjadi tokoh dalam ceritaku sendiri dan cerita orang lain. Siap menjadi salah satu warna dalam pelangi dakwah ini. Warna yang indah, yang mampu membuat perbedaan menjadi elok dipandang mata. Warna yang kuat, sekuat keinginan hati ini untuk tetap istiqomah di jalan dakwah ini.

 

Tinggalkan komentar